NovelToon NovelToon
Heaven'S Flawed Judgment

Heaven'S Flawed Judgment

Status: sedang berlangsung
Genre:Ahli Bela Diri Kuno / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Reinkarnasi / Fantasi Timur / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lumo Vs Jenderal Iblis

Dua kilometer dari kerumunan iblis yang sedang berpesta darah di bawah langit merah, ruang di udara tiba-tiba bergoyang. Suara berdengung lirih terdengar, seperti kaca pecah di balik dimensi. Dari dalam celah spasial yang berputar, dua sosok perlahan melangkah keluar, kaki mereka mendarat lembut di tanah yang retak dan berdebu hitam.

Lumo berdiri diam sejenak, matanya menyipit menembus kabut merah yang menutupi pandangan. Dengan kesadaran tingkat Core Formation tengah, pandangannya menjangkau jauh melampaui jarak mata biasa. Ia melihat ratusan iblis berkumpul di kejauhan, sebagian berbaring di atas batu hitam, sebagian lagi tertawa serak sambil meneguk darah kental dari cawan tulang. Bau amis menguar sampai ke tempatnya berdiri.

Ia menoleh perlahan ke arah Qingwan yang berada di sisinya. “Tunggu di sini,” katanya dengan suara tenang tapi mengandung tekanan yang tak bisa dibantah. “Aku akan melenyapkan halangan di depan. Saat pemurnian Petir Neraka dimulai, aku tidak ingin ada gangguan.”

Qingwan terdiam. Matanya memandang wajah Lumo yang diterpa cahaya merah dari langit, lalu menunduk ragu. “Tapi… senior,” ucapnya pelan. “Nona Linzhi bilang ada ratusan iblis, dan satu jenderal iblis setara Nascent Soul awal. Bagaimana cara senior mengalahkan mereka semua seorang diri?”

Nada suaranya lembut, tapi getar khawatiran jelas terasa. Lumo hanya tersenyum tipis, matanya memantulkan dinginnya api biru yang berputar di dalam tubuhnya. “Justru karena itu,” katanya lirih, “aku ingin tahu sejauh mana batas kekuatanku sekarang. Jika aku tidak mencobanya, bagaimana aku tahu sampai di mana aku bisa melangkah?”

Qingwan menatapnya lama. Ujung jarinya tanpa sadar menggenggam kain gaun birunya. “Tapi senior… jika terjadi sesuatu pada senior, Wan’er tidak akan—”

Belum sempat ia melanjutkan, Lumo mengangkat tangannya perlahan, menghentikan kata-katanya. “Kau tidak perlu khawatir,” ucapnya datar. “Aku tidak akan mati hanya karena iblis rendahan seperti mereka.”

Qingwan menatapnya terpaku. Dalam hatinya, ia mengulang kata-kata itu, iblis rendahan. Baginya, makhluk di tingkat Nascent Soul sudah seperti dewa, sesuatu yang tak terjangkau bahkan oleh generasi termulia di Negara Gizo. Tapi di hadapan senior Lumo, semua itu terdengar seperti debu yang tidak berarti.

Ia akhirnya menunduk, bibirnya bergetar tipis. “Baik, senior,” katanya lembut. “Wan’er akan mematuhi perintah senior.”

Lumo menatapnya sejenak, lalu menunjuk ke arah batu besar di dekat situ. “Sembunyilah di sana. Gunakan jimat pelindung yang kuberikan. Itu akan menutupi auramu dan melindungimu dari serangan.”

“Baik, senior,” jawab Qingwan perlahan, kemudian berjalan menuju batu besar itu. Ia berlutut, mengeluarkan selembar jimat hijau dari cincin penyimpanannya, kemudian mengaktifkan nya. Seketika area sekitar nya diselimuti lapisan cahaya lembut, menutupi kehadirannya dari pengindraan makhluk lain.

Sementara itu, Lumo melangkah maju. Setiap langkahnya meninggalkan jejak energi biru di tanah, yang perlahan menguap ke udara. Begitu ia berada cukup jauh, tubuhnya bergetar halus, lalu melesat cepat ke udara, meninggalkan bayangan tipis di belakang.

Dari kejauhan, seratus lebih iblis yang sedang minum darah segera menoleh bersamaan. Suara kepakan sayap dan derap langkah bergema ketika aura asing tertangkap oleh indra mereka. “Ada sesuatu datang,” gumam salah satu iblis bersayap, matanya menyipit.

Jenderal iblis yang sejak tadi berdiri di dekat Kolam petir neraka, langsung memandang ke arah langit. Dengan satu tatapan, kesadarannya menjangkau beberapa kilometer, menembus kabut merah pekat. Ia melihat sosok manusia berpakaian putih terbang menuju mereka. Ekspresi dingin muncul di wajahnya. Manusia? pikirnya. Sudah berabad-abad tidak ada manusia yang berani menjejakkan kaki di dunia bawah.

Ia menurunkan pandangannya ke arah kolam Petir Neraka yang berjarak ratusan kilometer di depannya, lalu mendengus ringan. “Core Formation tengah,” katanya datar. “Tidak perlu aku yang turun tangan.”

Di udara, Lumo berhenti tepat di atas mereka. Matanya menatap ke bawah, dingin seperti bilah pedang yang diselubungi kabut. Ia mendarat perlahan, debu hitam berputar mengelilinginya. “Sudah lama,” pikirnya dalam hati, “aku tidak menggunakan lebih dari dua puluh persen kekuatanku. Mari kita lihat sejauh mana tubuh ini bisa menahan kehendakku.”

Salah satu iblis maju, tubuhnya tinggi besar dengan kulit merah legam dan taring panjang. “Manusia rendahan!” serunya lantang. “Berani sekali kau datang ke dunia bawah! Kau benar-benar mencari mati.”

Tawa bergemuruh pecah di antara para iblis lainnya. Suara mereka menggema, menggetarkan udara. Beberapa menjilat bibir, membayangkan rasa daging manusia yang langka di tempat ini.

Lumo tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap dengan mata yang datar seperti danau beku. Iblis yang berbicara tadi menegang, merasakan sesuatu yang aneh dalam keheningan itu. “Hmph, ketakutan rupanya,” katanya dengan tawa sinis. “Kalau begitu aku akan membunuhmu cepat, supaya kau tidak sempat menyesal.”

Tubuhnya berubah, membesar, ototnya menggembung seperti baja cair. Ia melompat maju, cakar hitamnya menebas ke arah Lumo dengan kecepatan kilat.

Lumo mengangkat tangannya. Sebuah pedang hitam pekat muncul dari cincin penyimpanannya. Ia mengayunkannya perlahan, nyaris tanpa suara.

“Pedang Sunyi,” katanya lirih.

Cahaya hitam membelah udara. Dalam sekejap, tangan iblis itu terpotong menjadi serpihan kecil. Darah hitam pekat menyembur, menetes di tanah yang langsung meleleh oleh panas Qi yang menyertai tebasan itu.

Seluruh iblis di sekitarnya terdiam sejenak, mata mereka melebar.

Lumo menatap tubuh yang merintih di depannya, lalu mengayunkan pedang sekali lagi, lembut seperti membelai angin. Tubuh iblis itu terbelah menjadi potongan kecil, kemudian menguap dalam api biru yang tiba-tiba muncul dari luka-lukanya.

Raungan marah bergema. “Serang dia!” teriak salah satu iblis bersayap. Ratusan iblis bergerak serentak, aura gelap memenuhi udara.

Sebelum mereka sempat mendekat, Lumo mengangkat pedangnya ke depan, membiarkan api biru menyelimuti bilahnya.

“Pembakaran Pensucian,” ucapnya pelan.

Energi spiritual di tubuhnya berdenyut. Satu tebasan dilepaskan, dan dari pedangnya keluar gelombang api biru bercampur aura petir halus. Api itu menyapu ke depan, membakar udara menjadi gelombang panas yang mematikan.

Jeritan menggema. Tubuh-tubuh iblis terbakar satu per satu, kulit mereka meleleh, taring mereka berubah menjadi abu sebelum sempat berteriak lagi. Dalam hitungan detik, ratusan makhluk yang tadi tertawa kini menjadi debu hitam yang melayang di udara.

Lumo menurunkan pedangnya perlahan, matanya beralih ke arah jenderal iblis yang berbalik diam dan memperhatikan. “Mereka mengecewakan,” kata Lumo datar. “Semoga Nascent Soul awal sepertimu bisa sedikit menghiburku.”

Jenderal iblis itu menyipitkan matanya. Aura Nascent Soul-nya menyebar, berat dan menekan, seperti gunung yang hendak runtuh. Tekanan itu melanda Lumo, membuat tanah di bawahnya retak. Namun Lumo hanya menggeleng pelan, seolah menolak tunduk pada kekuatan yang lebih tinggi.

Iblis itu melangkah maju, setiap langkahnya mengguncang udara. “Siapa sebenarnya kau, manusia?” suaranya dalam dan berat. “Apa yang kau cari di dunia bawah?”

Lumo berjalan maju juga, jarak mereka kian dekat. “Aku datang,” katanya santai, “karena aku ingin datang.”

Jenderal iblis itu mencabut pedang besar di tangannya. Bilahnya berkilau merah, dikelilingi rune hitam yang bergerak seperti ular hidup. Seketika tekanan spiritual meningkat, udara bergetar.

Mereka hanya berjarak sepuluh meter sekarang.

Jenderal itu memandang api biru yang masih berkobar di tempat iblis-iblis terbakar. “Aku rasa apimu lebih mengerikan daripada pedangmu,” katanya datar.

Lumo menatapnya. “Kau ingin tahu?” suaranya dingin, nyaris berbisik.

Alis iblis itu berkerut. Sebelum ia sempat menjawab, tubuh Lumo bergerak seperti kilat.

“Kalau begitu,” kata Lumo lirih, “hibur aku.”

Jenderal iblis itupun langsung mengayunkan pedang nya. Suara ledakan udara menggema. Dua pedang bertemu dalam cahaya menyilaukan.

Tebasan Lumo menghantam pedang iblis itu, menghasilkan gelombang kejut yang mengguncang langit. Jenderal iblis terlempar ke udara, tubuhnya memutar beberapa kali sebelum berhasil menyeimbangkan diri.

Dalam sekejap, Lumo sudah di depannya, pedangnya menebas cepat bagaikan hujan cahaya.

Benturan demi benturan memenuhi langit. Petir merah dari langit dunia bawah menyambar bersamaan dengan api biru dari pedang Lumo. Setiap kali bilah mereka beradu, tanah di bawah hancur, udara bergetar, dan bayangan iblis-iblis yang tersisa melarikan diri sejauh mungkin.

Di langit merah itu, dua kekuatan berbeda saling berhadapan, satu dari neraka, satu dari kehendak yang menolak tunduk. Dan di tengahnya, Lumo tersenyum tipis. Dunia bawah, untuk pertama kalinya setelah berabad-abad, menyaksikan manusia yang menantang kegelapan dengan langkah tenang dan mata yang tidak mengenal takut.

Sepuluh menit telah berlalu sejak dua bayangan itu saling berbenturan di udara. Kilatan pedang telah reda, dan hawa pembunuhan perlahan surut seperti ombak yang baru saja menelan kapal karam. Di langit yang merah gelap itu, Lumo berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tapi matanya tetap jernih dan dingin seperti danau musim dingin. Di seberangnya, jenderal iblis yang tubuhnya kekar menatapnya dengan sorot mata penuh kekaguman dan kemarahan yang sama besarnya. Uap hitam mengepul dari luka-lukanya, namun tubuhnya tetap tegak, menolak jatuh.

"Aku tidak pernah melihat manusia sekuat dirimu di tingkat Core Formation tengah," katanya dengan suara berat, menahan rasa nyeri yang merambat di seluruh tubuhnya. "Dan aku sangat yakin tidak ada yang sepertimu di dunia tengah."

Lumo menatap bilah pedang hitam di tangannya yang masih bergetar halus, memantulkan cahaya merah dari langit. Senyum tipis menghiasi bibirnya, samar tapi penuh arti. "Aku tidak suka basa-basi," katanya tenang, suaranya seperti embun yang jatuh di atas batu dingin. "Mari kita lanjutkan."

Tawa jenderal iblis pecah, menggema keras, membuat debu di bawah kaki mereka bergetar. "Baiklah, manusia. Jika itu yang kau inginkan." Ia kembali menggenggam pedangnya, kedua matanya menyala merah.

"Maju."

Lumo melangkah ringan ke depan, seperti bayangan yang menyelinap di antara hembusan angin. Tangannya terangkat pelan, pedang hitamnya bergetar lembut.

"Pedang Sunyi," gumamnya lirih.

Satu tebasan keluar begitu tenang, namun udara seakan berhenti bergerak. Jenderal iblis bahkan belum sempat mengayunkan pedangnya ketika tubuhnya tiba-tiba terkoyak dari dada hingga pinggang, darah hitam memancar seperti tinta gelap di udara. Namun luka itu tidak dibiarkan lama. Dagingnya bergetar, kemudian menutup sendiri dalam sekejap, meninggalkan bekas samar yang langsung memudar.

"Ohh, menarik," ujarnya datar, menyentuh bekas luka itu dengan jarinya. "Tubuhmu memang terlihat lemah, dan aku terlalu meremehkan kekuatan berpedang mu... Dan pedangmu punya kehendak yang tidak seharusnya dimiliki manusia tingkat Core Formation."

Lumo menyipitkan mata, dalam pikirannya berkelebat ingatan tentang pertempuran dua abad lalu. "Pemulihan tubuh seperti itu..." batinnya. "Hanya iblis tingkat Soul Formation yang bisa melakukannya. Tapi ini... hanya Nascent Soul awal."

Melihat ekspresi dingin dan sedikit keterkejutan di wajah Lumo, jenderal iblis tersenyum puas. "Manusia, tidak perlu terkejut," katanya santai. "Kau ingin bermain, bukan? Maka mari kita main sampai satu dari kita hancur menjadi debu."

Lumo menggelengkan kepalanya. "Ini tidak lagi menarik." katanya datar.

Kemudian api biru muncul di sekitar bilah pedang Lumo. Nyala itu bukan sekadar panas, tapi aura pemurnian yang membuat udara bergetar. Lumo mengangkat pedangnya, lalu mengayunkannya perlahan.

"Pembakaran Pensucian."

Gelombang energi pedang yang bercampur dengan api biru langsung melesat, membakar udara dengan suara mendesis. Jenderal iblis mendengus dingin, tangannya melingkupi tubuhnya dengan lapisan energi spiritual merah pekat, membentuk pelindung berbentuk perisai besar.

Tubrukan terjadi, menggetarkan seluruh lembah. Api biru dan energi merah saling memakan, dan sesaat kemudian suara retakan terdengar, pelindung iblis itu hancur, namun Lumo juga terdorong mundur beberapa langkah di udara.

Jenderal iblis tertawa. "Api mu kuat untuk iblis rendahan," katanya sombong. "Tapi tidak untukku." Ia menebas udara dengan pedangnya, menebas energi pedang Lumo hingga pecah menjadi serpihan cahaya.

Lumo tetap tenang. "Kalau begitu," katanya dingin. "Terima lebih banyak."

Ia menebas sekali lagi, tapi kali ini tebasannya berlipat-lipat, membentuk hujan pedang yang menyala biru, seolah langit sendiri ikut terbakar, di dalamnya sekitar delapan puluh persen kekuatan kultivasinya ia kerahkan.

"Pembakaran Iblis."

Seratus energi pedang melesat serentak. Tanah di bawahnya terbelah, udara menggeliat seperti makhluk hidup yang tak tahan panas.

"Bocah," seru jenderal iblis, masih tertawa. "Kau tidak tahu diri." Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu menebas ke depan. Satu sabetan energi merah sebesar bukit menelan seratus pedang Lumo sekaligus.

Namun saat dua kekuatan itu bertabrakan, api biru menelan energi merah iblis itu bagaikan air suci melahap racun. Dalam sekejap, gelombang merah itu meledak, dan api biru terus melesat cepat, dan akhirnya menembus dada jenderal iblis, membakar tubuhnya dari dalam.

Jeritannya menggema, suara rendah namun panjang, memecah keheningan neraka. "Bagaimana bisa..." suaranya terputus-putus di antara raungan. "Api ini... kenapa bisa menghancurkan hidupku... Hukum apa yang kau gunakan, manusia..."

Tubuhnya retak, lalu pecah menjadi abu yang berhamburan terbawa angin merah.

Lumo menatap sisa abu itu tanpa emosi, lalu menggeleng perlahan. "Nascent Soul, tapi jalanmu cacat," gumamnya. "Jalur iblis penuh celah... dan mereka para iblis bahkan tidak menyadarinya."

Ia memasukan pedangnya kedalam cincin penyimpanan, lalu berbalik. Di kejauhan, batu besar tempat Qingwan bersembunyi berdiri tenang. Lumo melangkah tanpa tergesa, langkahnya ringan seolah tidak pernah melalui pertempuran hidup dan mati barusan.

Beberapa saat kemudian, ia sampai di hadapan batu besar itu. "Aku sudah selesai," katanya tenang. "Sekarang kita bisa menuju Kolam Petir Neraka."

Dari balik batu, Qingwan muncul perlahan. Aura hijau dari jimat pelindungnya masih bergetar lembut. Begitu melihat Lumo, matanya langsung bersinar lega. "Senior," katanya lembut, "apakah semua iblis sudah dihabisi?"

Lumo mengangguk ringan. "Tentu saja. Itu bukan hal yang sulit."

Wajah Qingwan tampak berseri. Di matanya, terpancar rasa kagum yang tak bisa disembunyikan. Senior sendirian... melawan jenderal iblis dan ratusan iblis Core Formation... batinnya. Berapa dalam sebenarnya kekuatan Senior...

Qingwan mendekat, setelah dekat ia menatap tubuh Lumo dari kepala hingga kaki, memastikan tidak ada luka. "Apakah senior terluka?" tanyanya lembut. "Jika iya, izinkan Wan’er mengoleskan ramuan."

Lumo menggeleng. "Tidak ada dan tidak perlu." Ia berbalik, tatapannya mengarah pada langit merah di kejauhan. "Ayo ke Kolam Petir Neraka."

Qingwan sempat tertegun, tapi kemudian mengangguk. "Baik, senior." Mereka pun melesat ke udara, meninggalkan tanah penuh abu iblis di belakang mereka.

Beberapa menit kemudian, mereka mendarat di tebing batu yang menghadap langsung ke kolam. Cahaya merah berputar di atas air yang bukan air, melainkan lautan petir cair. Setiap percikan memancarkan hukum Dao yang menindas, membuat bahkan udara pun bergetar takut.

Lumo maju beberapa langkah, menatap permukaan kolam itu. "Tunggulah di sini," katanya pelan. "Aku ingin melihat seberapa dekat kita bisa mendekat."

Qingwan menatapnya dengan wajah khawatir. "Tapi senior—"

Sebelum kalimat itu selesai, Lumo menoleh, pandangannya tajam. Qingwan langsung menunduk. "Hati-hati, senior," katanya akhirnya.

Lumo mengangguk pelan, lalu melangkah maju. Setiap langkah mendekati kolam membuat tekanan meningkat berkali lipat. Suara petir menggema di sekitarnya, dan serpihan energi liar menari di kulitnya seperti ular listrik. Namun ia terus berjalan, tubuhnya stabil, auranya kokoh.

Ketika jarak tinggal sepuluh meter dari kolam, ia berhenti. Tekanan di titik itu sudah cukup untuk menghancurkan tubuh kultivator Nascent Soul menengah, tapi Lumo tetap berdiri. Ia berbalik dan kembali menjemput Qingwan.

Setelah tiba di hadapan Qingwan, ia menatap mata gadis itu lama. "Menurut perhitunganku, kau bisa bertahan sejauh empat puluh meter dari kolam ini dengan kultivasi Pendirian Fondasi menengahmu. Aku hanya bisa sampai sepuluh meter."

Qingwan menatapnya, lalu menunduk lembut. "Tidak apa-apa, senior. Lagipula... Wan’er tidak tahu apa tujuan senior membawaku ke sini, jadi Wan’er hanya bisa mengikuti perintah."

Lumo menghela napas ringan. "Aku akan memberitahumu, jika kau telah mencapai Core Formation."

Qingwan terdiam, lalu mengangguk. "Baik, senior."

Lumo berjalan lagi ke arah kolam, dan Qingwan mengikuti di belakang. Saat mencapai empat puluh meter, tekanan mulai menghantam tubuhnya. Keringat membasahi dahinya, dan napasnya menjadi berat.

"Meditasilah di sini," kata Lumo. "Gunakan jimat pelindung. Fokus memurnikan esensi Petir Neraka untuk terobosanmu. Jangan menyerap terlalu banyak."

"Baik, senior." Qingwan duduk bersila, mengaktifkan jimat pelindung yang membentuk lapisan hijau berputar di sekelilingnya.

Lumo melanjutkan langkahnya, dan berhenti sepuluh meter dari kolam. Ia duduk bersila di tepi jurang, menatap petir merah yang terus menyambar di hadapannya. Cahaya petir memantul di wajahnya, seperti menyalakan api biru di dalam matanya.

Memurnikan esensi Petir Neraka dari sini sudah cukup untuk menembus batas, pikirnya. Ketika aku mencapai Core Formation akhir... aku akan masuk ke kolam itu sendiri.

Suara petir meledak, mengguncang langit neraka. Namun Lumo tetap tenang, mata tertutup, tubuhnya dikelilingi cahaya biru lembut yang menandai dimulainya meditasi panjang di bawah hujan api dan guntur.

1
Didit Nur
YUKARO 🤗😘😘😘
Didit Nur
YUKARO sangat cerdas 😘
YAKARO: Terimakasih 🙏
total 1 replies
Doddy kun
Lumo sangat cerdik. menggunakan kesempatan untuk memperkuat diri 💪
YAKARO: Yoi. terimakasih🙏
total 1 replies
Doddy kun
proses pengobatan yang sangat sulit
Doddy kun
mantap lumo
Doddy kun
Ceritanya bagus, cukup memuaskan sejauh ini. perkembangan MC juga cepat, jadi GK ngebosenin. bintang lima thor 🤟
WaViPu
Up banyak thor
WaViPu
Mantap Lumo, kau paling best
Doddy kun
semakin menarik
WaViPu
Hahaa tetua nya aneh banget, Tiba-tiba pingin menjadi murid Lumo
Doddy kun
mantap lanjutkan
Don Pablo
Oke, Lumo mencoba bermain dengan api 🔥
Doddy kun
mantap thor. perkembangan nya cepat 💪
Doddy kun
wkwkwk. ngopo kui wedok an aneh 🤣
Doddy kun
mantap thor, gass terus
Adrian Koto
cerita kolosal ada nuansa misterinya 🙂👍
HUOKIO
Disturbing banget Thor 😁
Don Pablo
untuk awal bagus, tapi kalau menurun kualitas nya, ku turun kan bintang nya😛
Don Pablo
melepaskan anak panah🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!