Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Cassian berusaha tersenyum sopan di tengah dansanya bersama Meriel, tapi matanya terus melirik ke arah lain. Setiap kali langkah Corvina dan Theon berputar, napasnya terasa makin berat, meski irama musik tetap lembut.
Meriel yang berada di pelukannya menyadari hal itu, dan tersenyum samar, senyum yang penuh kebencian.
“Yang Mulia tampak… tidak fokus,” suara lembut Meriel terdengar, manja dan penuh kepura-puraan.
Cassian tidak menoleh. Tatapannya terpaku pada satu arah yaitu pada Corvina yang sedang berdansa di pelukan Grand Duke Theon.
“Fokuslah pada dansanya, Meriel,” katanya dingin.
Meriel tersenyum kecil. “Tentu saja, Yang Mulia,” balasnya, tapi sorot matanya menyipit. Ia tahu betul siapa yang benar-benar menguasai perhatian sang Kaisar malam itu.
Di sisi lain aula, Theon menunduk sedikit, suaranya nyaris tenggelam oleh musik. “Yang Mulia Ratu, terimakasih atas suratnya. Anda mengirim surat itu di waktu yang tepat.”
Corvina menatapnya sekilas. “Semoga itu bisa membantu, Grand Duke.”
“Tentu saja sangat membantu, Yang Mulia. Berkat itu, saya bisa mempersiapkan prajurit sebelum Brione sempat menyerang. Dan ternyata, dugaan Anda benar. Mereka memang sudah bersiap untuk perang.” kata Theon, "bagaimana Anda bisa tahu bahwa Brione akan menyerang?"
Corvina tersenyum samar. “Jadi laporan yang kuterima waktu itu memang bukan isapan jempol.” jawab Corvina pura-pura, padahal ia tahu karena memang ia terlahir kembali. "Ada seseorang yang memberi informasi padaku. Aku hanya perlu memberitahu itu pada Anda, Grand Duke."
“Kalau bukan karena peringatan Anda, mungkin Ardelia sudah kehilangan banyak nyawa,” ucap Theon. “Terima kasih, Yang Mulia.”
“Tidak perlu berterima kasih, Grand Duke. Aku hanya melakukan tugasku sebagai ratu.”
Theon menatapnya, mata abu-abu itu seperti menyelami pikirannya. “Tidak semua ratu mau memikirkan keselamatan prajuritnya. Apalagi di istana sepertinya sedang penuh persaingan cinta kaisar.”
Corvina tertawa kecil. “Kamu pandai menilai meskipun sedang di tengah lantai dansa, Grand Duke.”
“Saya bicara jujur,” jawab Theon tenang. “Kaisar sepertinya tidak suka melihat kita berdansa.”
Corvina mendongak sedikit, pandangannya bertemu dengan Cassian di seberang ruangan. Tatapan itu dingin, menusuk, dan membuat dadanya berdebar aneh.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “biarkan dia melihat lebih lama.”
Theon tersenyum samar. “Perintah yang menarik, Yang Mulia.”
Musik semakin cepat. Mereka terus berputar, seolah waktu hanya milik mereka berdua, sementara di seberang aula, Cassian menatap tak berkedip antara amarah, cemburu, dan ketakutan kehilangan sesuatu yang dulu ia anggap miliknya.
Cassian menahan diri selama musik terakhir dimainkan, tapi setiap kali Theon menunduk terlalu dekat ke arah Corvina, darahnya seperti mendidih. Saat musik berhenti dan tepuk tangan menggema di seluruh aula, Cassian langsung melangkah cepat melewati para bangsawan yang menunduk memberi hormat.
Corvina baru saja menepi ke sisi ruangan, meneguk sedikit anggur dari pelayan yang lewat, ketika suara berat Cassian terdengar di belakangnya.
“Ratu.”
Nada suaranya datar tapi tajam. Corvina menoleh, matanya tenang, meski ia bisa melihat rahang Cassian mengeras. “Ada yang ingin Yang Mulia bicarakan?”
Cassian melirik sekilas ke arah Theon yang masih berdiri tidak jauh dari mereka, lalu menatap kembali Corvina. “Aku tidak tahu kalau seorang ratu sekarang boleh menari sedekat itu dengan pria lain di depan suaminya.”
Corvina tersenyum tipis. “Aku hanya menuruti permintaan Grand Duke. Lagi pula, Yang Mulia sendiri tampak menikmati dansa bersama Lady Meriel.”
Cassian menatapnya lama, nadanya menurun tapi penuh tekanan. “Jangan bandingkan aku yang berdansa dengan selir, Ratu.”
“Kenapa tidak?” Corvina menegakkan tubuhnya. “Kita hanya menari, sama seperti kalian. Atau karena aku bukan Meriel, aku tidak pantas menari di depan Kaisar?”
Theon yang masih berada di dekat mereka melangkah sedikit maju. “Yang Mulia Kaisar, saya yang mengajak Ratu berdansa. Kalau ada yang patut disalahkan, seharusnya saya.”
Cassian menatap Theon dengan dingin, seolah ingin menantangnya di tempat. “Kau terlalu berani, Grand Duke.”
Theon membungkuk ringan, nada suaranya tetap tenang. “Saya melihat Yang Mulia Ratu terlihat sendirian, dan saya mengajaknya berdansa hanya untuk menghiburnya.”
Cassian menatap Corvina dengan sorot mata sulit diterjemahkan antara tekejut, marah, dan sesuatu yang menyerupai rasa bersalah.
Corvina memecah keheningan, suaranya tenang tapi mengiris. “Jangan marah pada orang yang merasa kasihan melihatku dintinggal sendiri oleh suaminya, Yang Mulia. Karena untuk pertama kalinya, ada yang mau menghiburku.”
Cassian menatap Corvina lama, lalu berbalik tanpa sepatah kata. Langkahnya berat, meninggalkan Corvina yang berdiri tegak di tengah tatapan para bangsawan, sementara Theon diam di sisinya, pandangannya mengikuti Kaisar yang menjauh.
Sedangkan Meriel, yang tahu situasi macam apa yang sedang ia saksikan. munculah ide jahatnya, ia mulai mendekati para lady yang sedang berkumpul.
"Saya kadang merasa kasian dengan YangYang Mulia Kaisar," kata Meriel sambil menatap Cassian dengan wajah pura-pura sedihnya itu. "Yang Mulia Ratu, terlalu terang-terangan bermain dengan para laki-laki. Dan sekarang malah ia berhubungan dengan Grand duke, saudara sepupunya Yang Mulia Kaisar sendiri."
Seorang lady dari keluar Duke lainnya, terhasut oleh perkataan Meriel.
"Kalau benar seperti itu, Ratu kita seperti wanita yang tidak punya etika"
Meriel menunduk, pura-pura berat hati. Ia memegang gelas anggurnya erat, suaranya dibuat lirih tapi cukup keras agar beberapa telinga lain bisa mendengar.
“Ah … saya pun tak ingin percaya, tentu saja. Tapi kalian tahu sendiri, Grand Duke Theon selalu ada di sisi Ratu akhir-akhir ini. Bahkan saat rapat militer pun, beliau ikut datang. Katanya ingin mendengar laporan. Sejak kapan seorang Ratu tertarik pada strategi perang?”
Para lady saling pandang. Beberapa menahan tawa kecil, yang lain mulai berbisik.
“Benar juga,” ujar salah satu, “saya mendengar pelayan dapur berkata mereka sering melihat Ratu keluar ke taman belakang malam-malam. Katanya … Grand Duke sering ada di sana juga.”
Meriel menutup mulutnya seolah terkejut, padahal senyum puas sudah hampir lolos dari bibirnya. “Oh, sungguh? Saya tak tahu sampai sejauh itu….”
“Kalau benar begitu,” gumam seorang lady bergaun ungu, “betapa memalukan. Grand Duke Theon itu sepupu Kaisar, bukan sembarang bangsawan.”
“Ratu Corvina memang terlalu berani,” timpal yang lain, matanya menyipit. “Saya sudah curiga sejak pesta perayaan tadi. Cara mereka menatap satu sama lain terlalu … pribadi.”
Meriel pura-pura menghela napas, menatap sekeliling dengan wajah prihatin. “Tapi kita harus berhati-hati berbicara. Saya hanya … kasihan pada Yang Mulia Kaisar. Beliau begitu mencintai Ratu, sementara Ratu … entahlah.”
Bisik-bisik itu mulai menyebar seperti api kecil di tumpukan jerami. Setiap kata Meriel menjadi bahan gosip baru yang diperindah, dipelintir, dan disebarkan ke sudut-sudut aula.
Di kejauhan, Meriel menatap Cassian yang masih berdiri kaku di dekat pilar. Ia tersenyum kecil, licin seperti racun yang baru saja disebar.
“Biarlah malam ini jadi awalnya,” bisiknya pada dirinya sendiri, lalu menyesap anggurnya perlahan.
bertele2