Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 30.
Di dalam mobil menuju istana gurun, Alena tak berhenti menahan senyum di bibirnya. Senyumnya muncul berkali-kali, seolah ada rencana kecil yang berhasil ia jalankan.
“Aku sepertinya tahu apa yang sedang berputar di kepalamu, sayang,” ucap Fadil sambil mengamati wajah calon istrinya.
“Apa?” Alena berkedip polos.
“Kau sengaja meninggalkan Noura bersama Khalid. Kau ingin menjodohkan mereka, kan?”
Alena akhirnya tertawa, ia mencubit pipi Fadil penuh gemas. “Ya ampun… apa sih yang tidak kamu tahu tentang aku? Kamu selalu bisa membaca setiap tindakanku.”
“Aku belajar banyak tentangmu,” balas Fadil tenang. “Bahkan saat kau berbohong, aku bisa merasakannya. Karena hatiku... sudah dipenuhi olehmu. Kau ada di pikiranku setiap saat.”
Alena tersentuh, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Fadil, matanya pelan menutup. “Aku tidur sebentar, ya. Bangunkan kalau sudah sampai.”
Fadil mengeluvs rambut wanita itu dengan penuh kelembutan. “Sayang, Ana uhibbuki fillah… Uhibbuki fī kulli lahdzotin tamurru fī hayātī.”
Artinya, aku mencintaimu karena Allah… dan aku akan mencintaimu di setiap detik dalam hidupku.
Alena tersenyum kecil tanpa membuka mata. “Ahabbakalladzi ahbabtani lah...”
Semoga Allah mencintaimu karena kau telah mencintaiku karena-Nya.
Kedua tangan mereka saling menggenggam begitu kuat, seolah dunia di luar tak punya kuasa untuk memisahkan mereka.
Keesokan Harinya — Café dekat Dubai Fountain.
Noura sudah duduk duluan, ia menyilangkan kaki mencoba terlihat cuek.
Saat pintu kaca kafe terbuka, Khalid muncul. Dengan kemeja hitam yang digulung sampai siku, gaya santai tapi mematikan. Ia melepas kacamata hitamnya pelan, dengan efek dramatis seorang pangeran.
Noura langsung mencibir. “Apa pangeran Khalid mau tampil di fashion show?”
“Aku hanya berpakaian rapi untuk meminta maaf,” jawab Khalid. Senyumnya tenang, tapi matanya menyala.
Saat duduk, Khalid langsung menaruh sebuah kotak kecil di meja.
Noura menatapnya dengan curiga. “Tolong katakan itu bukan cincin lamaran, kita baru bertemu satu kali dan aku sudah pernah katakan... aku tak tertarik pada seorang pangeran.”
“Itu bukan cincin,” Khalid menahan tawa kecil. “Aku bukan laki-laki yang akan membawa perempuan ke pelaminan... setelah satu malam perkenalan.”
Khalid membuka kotak itu.
Di dalamnya, sebuah bros kecil berbentuk bunga lili begitu tampak elegan.
“Aku tahu kamu benci hal-hal yang berbau kerajaan. Jadi… ini bukan simbol kerajaan. Ini hanya kenang-kenangan, karena kamu telah membuatku tersenyum.”
Noura terdiam, namun senyumnya mengembang meski bibirnya mencoba menolak. “Baiklah, aku terima. Tapi ingat… ini bukan karena aku menyukaimu.”
“Tentu, tapi kalau kau berubah pikiran dan mulai menyukai seorang pangeran... katakan saja.” Khalid mencondongkan tubuh dan mengedipkan sebelah matanya dengan nakal.
Noura buru-buru mengalihkan pandangan. “Sudahlah, kamu mau pesan apa? Cappuccino? Atau air mata rakyat jelata?”
Khalid mengerjap. “Apa?? Tidak mungkin ada menu seperti itu disini.”
Noura kembali menatap Khalid. “Aku hanya bercanda, kamu terlalu serius.”
Khalid akhirnya tertawa lepas, setelah sekian lama.
Dan Noura… tak bisa membohongi dirinya sendiri. Senyuman dan tawa dari pria itu berbahaya.
Noura memainkan minumannya. “Kau bilang… kau ingin meminta maaf. Sekarang sudah. Jadi apa lagi?”
Khalid menatap perempuan itu, kali ini tanpa candaan. “Kau tau, Noura? Seumur hidupku aku selalu diajari soal kekuasaan, aturan, dan tanggung jawab. Tapi aku lupa untuk menjadi diriku sendiri, sampai akhirnya... aku kehilangan seseorang. Aku kehilangan Humaira, kau pun sudah mendengarnya."
Noura akhirnya melembutkan tatapannya, ia kembali merasa iba.
“Aneh sekali…” Khalid menatap wanita itu dengan lembut. “Kita bahkan baru saling mengenal. Tapi kamu… membuatku ingin menjalani hidup ini lebih berarti lagi.”
Noura tidak berkedip.
“Aku tak tahu seperti apa masa depan kita nanti. Bisa jadi rumit, bisa jadi tidak pernah mudah. Tapi tak perduli sesulit apapun nanti, aku tetap ingin mendekatimu. Jika statusku sebagai pangeran menjadi alasan kau menolakku… aku akan melepaskannya. Aku hanya tidak ingin hidup dengan penyesalan lagi.”
Seketika pipi Noura memanas.
“Uh… A-aku harus ke toilet!” wanita itu langsung bangkit dan kabur ke toilet dengan wajah gugup.
Khalid tersenyum melihat betapa gugupnya Noura, senyum seorang pria yang baru menemukan kembali harapan kecil dalam hidupnya setelah selama ini hidup dalam penyesalan.
Namun tak lama ponsel Khalid bergetar, pesan dari Pangeran Hasan.
[Khalid, Ayahmu ditangkap. Kembalilah, sekarang.]
Senyum Khalid memudar seketika. Dunia yang baru saja cerah… kembali gelap dan mencekiknya.
Noura baru saja kembali dari toilet, melihat ekspresi Khalid berubah total.
“Hey… apa yang terjadi?”
Khalid berdiri, ia kembali ke setelan seorang Pangeran.
“Aku harus pergi.” Ia hendak pergi, tapi sebelum langkahnya terlalu jauh ia kembali menatap Noura.
“Terima kasih… untuk hari ini. Ucapanku tadi padamu, tolong dipertimbangkan. Aku tak main-main dengan kata-kataku, aku ingin mendekatimu.“
Noura hanya diam.
.
.
.
Istana Al-Qamar.
Pangeran Aziz dibawa masuk dengan tangan diborgol, para petinggi istana berdiri. Bisikan-bisikan kecaman memenuhi ruangan megah itu.
Semua kejahatannya terungkap. Pembunuhan dengan memanipulasi kecelakaan Pangeran Al Rashid dan keterlibatan dalam insiden yang menewaskan Humaira.
Di balik kaca ruang pengamatan, Lady Eleanor dan Pangeran Hasan mengawasi.
Pangeran Aziz berteriak, meraung seperti singa terluka. “Pengkhianat!! Hasan! Kau tak bisa memperlakukan aku begini!“
Teriakan itu menggema.
Pangeran Hasan memejamkan mata.
“Lady Eleanor, demi stabilitas kerajaan… Fadil harus kembali.”
Lady Eleanor menatap tajam, penuh perhitungan. "Tidak! Ada satu orang lagi yang pantas. Aku harap, kali ini semua akan mendukungnya."
“Siapa?" tanya Pangeran Hasan.
“Putra sulungku, Ammar.“
...*****...
Ammar melangkah keluar dari pesawat pribadi kerajaan. Meski telah lama menetap di luar negeri, statusnya sebagai Pangeran tetap melekat padanya. Ia pernah mencintai Layla, dengan seluruh ketulusan yang ia punya. Namun, berakhir dengan luka. Sejak itu ia memilih menata ulang hidupnya, membangun kerajaan bisnis di London... di tanah kelahiran ibunya.
Saat ia menuruni landasan menuju mobil yang sudah menunggu, sosok Layla tiba-tiba muncul di hadapannya. Wanita itu tersenyum manis, seolah sejarah mereka tidak pernah dipenuhi pengkhianatan.
Langkah Layla mendekat, penuh maksud yang tersembunyi. Namun sebelum ia dapat membuka mulut, sebuah suara dan gerakan mengalihkan perhatian semua orang.
Seorang wanita berlari dan langsung memeluk Ammar, pelukan erat seorang kekasih.
“Putri Yumna…?”
Layla tertegun.
Yumna melepaskan pelukan itu pelan, namun tetap menempel pada Ammar. Ia memutar tubuh menghadap Layla, tatapannya dingin disertai bibir yang terangkat sinis.
“Oh, lihat siapa yang muncul. Mantan dari kekasihku. Ada urusan apa di sini? Atau… kau berharap bisa mengulang trik lamamu untuk mendapatkan perhatian Ammar?”
Nada bicara Putri Yumna tajam seperti bilah yang sengaja diarahkan tepat ke tempat yang menyakitkan. Yumna tak pernah menyukai Layla, keduanya adalah putri keturunan bangsawan. Dan status itu, menjadikan mereka rival yang seimbang.
Layla mencoba mempertahankan martabatnya dengan tetap diam, namun Yumna tidak mengakhiri serangannya.
“Kesempatanmu sudah habis, jangan mimpi bisa merebutnya kembali! Ammar sekarang… milikku!”
Tanpa menunggu balasan, Yumna mengulurkan tangannya pada Ammar. Pria itu menerimanya lalu menggenggamnya, tanpa keraguan.
“Ayo, ibumu sudah menunggu.” Yumna tersenyum lebar.
Mereka berjalan bergandengan, tanpa sedikit pun menoleh ke Layla.
Layla hanya berdiri mematung di landasan, senyumnya yang tadi dipaksakan kini runtuh satu demi satu.
Dan untuk Juliette, semoga dia juga menemukan pria yang tulus mencintainya..
Pangeran Khalid hanya mencintai Noura... 😅✌