Menjadi seorang koki disebuah restoran ternama di kotanya, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Ayra. Dia bisa dikenal banyak orang karena keahliannya dalam mengolah masakan.
Akan tetapi kesuksesan karirnya berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya yang begitu menyedihkan. Ia selalu dimanfaatkan oleh suami dan mertuanya. Mereka menjadikan Ayra sebagai tulang punggung untuk menghidupi keluarganya.
Hingga suatu hari, ia dipertemukan dengan seorang pria kaya raya bernama Daniel yang terkenal dingin dan kejam. Ayra dipaksa menjadi koki pribadi Daniel dan harus memenuhi selera makan Daniel. Ia dituntut untuk membuat menu masakan yang dapat menggugah selera Daniel. Jika makanan itu tidak enak atau tidak disukai Daniel, maka Ayra akan mendapatkan hukuman.
Bagaimana kah kisah Ayra selanjutnya?
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu_ Melani_sunja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Maya
Usai makan malam, Ayra duduk bermain ponsel di kursi tamu, sekedar berbalas pesan dengan kawan satu restoran nya dulu.
Tugasnya dalam mengurus Daniel sudah selesai malam itu, Daniel sudah terlelap dan ia bisa istirahat sejenak.
"Kamu belum tidur Ay?" tanya Bram sambil duduk menghampirinya.
Ayra mendongak, meletakkan ponselnya di meja seraya menjawab," belum, aku belum bisa tidur."
"Kenapa? Ada yang kamu fikirkan?"
"Tidak, entahlah..."
"Kamu sendiri belum tidur?" tanya Ayra balik.
"Belum, aku masih ingin berjaga."
Ayra menoleh ke kamar Maya yang nampak sunyi, lalu kembali memperhatikan Bram.
"Aku tidak melihat anak kalian sejak tadi, bahkan aku tak mendengar tangisnya sama sekali, umur berapa dia?"
Bram menatap Ayra sekilas lalu menunduk, seperti tak suka jika Ayra bertanya hal itu padanya.
"Dia bukan anakku." jawabnya singkat.
"Hah...?! Maksud mu?"
Bram menoleh menatap kamar Daniel, lalu menarik lengan Ayra, mengajaknya keluar rumah dan duduk di teras.
ia duduk menghadap Ayra yang juga duduk di sampingnya. Bram menatap Ayra dalam dalam.
"Kamu kita Maya itu benar benar istriku??"
Ayra mengangguk.
Bram berpindah posisi duduk jadi menghadap halaman, ia mendongak menatap langit, kedua tangannya saling menggenggam.
"Kami memang menikah, tapi hanya untuk sebatas status saja."
"Aku...aku benar benar tidak mengerti," kata Ayra.
"Maya adalah gadis yatim piatu, rumahnya berada di kampung sebelah. Dia hidup sebatang kara, karena merasa iba, aku membawanya bekerja di kediaman tuan Daniel sebagai seorang pelayan dua tahun lalu.Tetapi, baru 6 bulan bekerja, dia sudah membuat masalah. Rupanya dia diam diam menyukai tuan Daniel."
"Lalu...?" sela Ayra.
"Malam itu, tuan Daniel pulang dalam keadaan mabuk berat, aku membawanya ke kamar lalu ku tinggalkan dia sendiri. Semenjak ibunya meninggal dan istrinya hilang, ia memang sering melampiaskan rasa kesepiannya itu dengan mabuk mabukan."
Bram menghela nafas sejenak.
"Bersamaan dengan itu, Maya nampak keluar dari kamar tuan Steven, dengan keadaan yang sangat kacau, rupanya dia telah dilecehkan oleh tuan Steven. Dan keadaan itu telah sering dilakukan oleh tuan Steven, sampai membuatnya hamil. Karena tuan Steven tidak mau bertanggung jawab dan justru mengancamnya, Maya memiliki ide gila, dia masuk ke kamar tuan Daniel dan membuat skenario seolah-olah tuan Daniel lah yang telah menghamilinya."
"Haa...? Lalu kenapa malah kamu yang menikahinya?" ujar Ayra terkejut.
"Tuan Daniel sangat murka, ia tak pernah merasa melakukannya pada Maya. Sementara berita telah menyebar ke seluruh penjuru. Untuk meredam semua itu, akhirnya aku mengambil keputusan untuk menikahi Maya dan bertanggung jawab atas kehamilannya, meskipun bukan aku yang melakukannya. Aku hanya ingin menyelamatkan Maya dan juga nama baik tuan Daniel."
"Kamu serius?? kamu rela mengorbankan masa depan mu demi tuan Daniel?"
"Heem..., makanya aku bawa Maya kemari, aku mencukupi semua kebutuhan hidupnya, tapi tidak dengan batinnya karena aku memang tak mencintainya sama sekali. Anak yang dikandung Maya mengalami kelainan, dia buta sekaligus mengalami kecacatan otak."
Ayra menatap kagum akan sikap yang telah di lakukan Bram.
"Maka dari itu, tuan Daniel sangat membenci Maya. Sebenarnya akupun sama, tapi aku hanya sebatasnya saja," imbuh Bram beralih menatap Ayra.
"Pengorbanan mu sangat luar biasa, pantas saja tuan Daniel sangat mempercayai mu dan menganggap mu seperti adik nya sendiri."
"Iya, tapi aku tak tahu untuk kedepannya, apa aku harus mengalah lagi. Apalagi kali ini berurusan dengan perasaan ku."
"Maksud mu kalian mencintai wanita yang sama?" tanya Ayra semakin penasaran.
"Entahlah, aku juga belum terlalu yakin. Dia wanita pertama yang singgah di hati ku. Rasanya berat jika harus bersaing dengan tuan Daniel," ujar Bram lagi.
"Menurut ku, kali ini kamu tidak boleh mengalah, kamu harus memperjuangkan cinta mu, pengorbanan mu sudah banyak untuk tuan Daniel, kamu tidak sepantasnya mengalah lagi," ujar Ayra meyakinankan.
"Benarkah begitu?"
Ayra menoleh, lalu mengangguk.
"Ngomong ngomong, siapa wanita itu? Apa kau pernah melihatnya?" tanyanya penasaran.
Bram memalingkan wajahnya menatap ke arah depan lalu tersenyum.
"Hey...!" Ayra menarik bahu Bram memaksanya untuk beralih menatapnya.
"Siapa? Heem?" paksa Ayra.
Bram menoleh, menatapnya lalu berdiri.
"Sudah malam, sebaiknya kamu tidur, besok kamu harus memasak untuk tuan Daniel bukan?"
"Ckk...!" Ayra bangkit, berdiri menghadap Bram.
"Baiklah kalau kamu tidak mau mengatakan, tapi besok antar aku pergi ke pasar ya!" kata Ayra lagi.
"Maafkan aku, sepertinya besok aku ada urusan, aku harus menyelesaikan permasalah tuan Daniel yang berhubungan dengan perusahaannya. Tapi, kamu bisa pergi dengan Maya, nanti akan ku minta dia menemanimu, bagaimana?"
Ayra memajukan bibirnya," Baiklah...!"
Ayra berbalik melangkah masuk, ketika hendak melewati pintu, ia kembali menoleh dan melambaikan tangan.
"Bay...! kamu juga cepat tidur!" ucapnya.
Bram tersenyum, hatinya berbunga-bunga dan membalas lambaian kecil Ayra.
***
Keesokan paginya, usai menyiapkan sarapan untuk Daniel, Ayra berpamitan ingin pergi ke pasar berjalan kaki bersama Maya. Setelah mendapatkan izin, Ayra berdiri di halaman menunggu Maya di sana.
Bram sengaja tidak meminta anak buahnya untuk mengawal, karena ia yakin kampung halamannya adalah tempat paling aman. Selain itu, jarak antara pasar tradisional dan rumahnya terbilang cukup dekat, sehingga mereka bisa melakukannya dengan berjalan kaki.
Sebelum berangkat, Bram yang sudah berada di dalam mobil, berhenti di depan Ayra yang masih berdiri di halaman.
Bram menurunkan kaca mobilnya, ia melongok seraya berkata, "Kalau nanti bawaan mu berat, hubungi aku atau Dito. Minta dia untuk menjemput mu di pasar. Aku tidak akan lama kok."
Ayra mengangguk sambil mengacungkan jari jempolnya.
"Aku berangkat dulu ya, kamu hati hati. Pokoknya hubungi aku jika terjadi sesuatu."
"Siap!" Jawab Ayra.
Bukannya cepat pergi, Bram justru tersenyum sambil terus menatapnya.
Ayra mengalihkan pandangan ke arah yang lain sambil tersipu malu.
Sementara dari dalam kamar, tanpa sepengetahuan mereka, Daniel diam diam memperhatikan mereka dari jendela.
Daniel bisa merasakan dan tahu, jika sebenarnya Bram juga menyukai Ayra. Hanya saja Bram tidak mau berkata jujur padanya karena merasa tak enak hati.
"Aku tahu kamu juga suka pada Ara Bram, hatimu begitu tulus untuknya. Apakah aku harus merelakan dia untuk mu? Sedangkan dia adalah wanita satu satunya yang bisa memulihkan kondisi ku usai kecelakaan itu. Aku tak tahu apa aku juga suka padanya, yang jelas aku merasa sangat nyaman bila didekatnya. Tapi, apakah aku harus egois padamu? Pengorbanan yang telah kamu lakukan begitu banyak untuk ku, apa kah aku harus mengalah atau tetap pada keegoisan ku Bram?" Batin Daniel sambil terus menatap mereka.
Tak sengaja, Ayra berbalik memperhatikan rumah untuk melihat Maya sudah keluar atau belum.
Tapi tatapan matanya justru menangkap Daniel yang sedang berdiri di depan jendela memperhatikannya dan Bram.
Ayra langsung mengulas senyum khasnya sambil melambaikan tangan.
Sadar jika Daniel memperhatikan nya, Bram langsung menunduk, menginjak gas, membunyikan klakson satu kali lalu pergi.
Tak lama, Maya keluar lengkap membawa keranjang belanjanya. Lalu Ayra dan Maya pergi berjalan kaki bersama.