Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara foto
"Wow, Kak Kirana cantik sekali! Kak Barra pasti mangling lihatnya. Iya kan, Bu?" seru Alma setelah seharian menghabiskan waktu di beauty salon & spa.
Alma sengaja mengambil full day treatment untuk Kirana. Agar Kirana memiliki waktu me-time, me-recharge energinya kembali.
Sepanjang hari, tubuh Kirana dimanjakan dengan berbagai perawatan. Saat ini, tubuh Kirana terasa ringan dan segar. Kulitnya lebih lembab dan halus. Rambut hitam sepunggung Kirana lebih sehat dan wangi.
Kirana merasa suasana hatinya jauh lebih baik dari tadi pagi. Dirinya lebih percaya diri, lebih positif, dan bahagia.
"Sekarang, kita ke butik langgananku dulu ya. Aku mau belikan baju untuk kak Kirana." Alma membelokkan mobilnya menjauhi arah pulang.
"Sudah sore Mba, kita langsung pulang saja. Dari tadi Mas Barra udah telepon-telepon terus," saran bu Wulan.
Dalam satu jam, sudah lebih dari 10x Barra menghubunginya. Itu belum termasuk chat yang dikirimkan Barra. Setiap 5 menit, Barra mengetikkan pesan meminta mereka cepat pulang.
"Sebentar kok Bu, hanya tinggal ambil saja. Nanti aku yang tanggung jawab kalau kak Barra marah," yakin Alma.
Bu Wulan hanya bisa pasrah.
Sesampainya di Butik, Alma meminta Kirana mengganti pakaian dengan yang baru dipesannya.
"Al, ini terlalu terbuka. Aku malu pakainya," ucap Kirana melihat pantulan dirinya di cermin.
Gaun yang dipilih Alma sangatlah cantik. Namun bagian punggungnya terlalu terbuka. Kirana risih memakinya.
"Tenang aja, Kak. Ini ada outer-nya. Kakak mau pakai atau tidak, nanti tergantung dengan situasinya."
"Sebentar saya ambilkan outer-nya," ujar pelayan butik.
Suara ponsel Alma berdering.
"Halo, Kak?... Iya, sebentar lagi... Ini juga mau pulang. Lagi di butik tante Mila. Iya... Iya..."
Alma memutuskan panggilan. "Bawel banget sih. Besok-besok aku bawa liburan aja, biar blingsatan sekalian," gerutu Alma.
"Kak Kirana, foto dulu. Lihat sini, Kak!"
Big brother
Send picture.
"Ayo, Kak. Kita pulang. Sebelum Kak Barra nyusul ke sini."
"Ibu juga tadi bilang apa? Mas Barra marah 'kan?!" bu Wulan ikut mengomel.
Sebelum meninggalkan butik, Alma memberikan paperbag untuk Kirana. "Ini satu lagi hadiahku buat kakak. Di bukanya nanti saja di rumah."
Sesampainya di rumah, Barra sudah menunggu di depan pintu. Tangannya terlipat di dada. Sorot matanya tajam. Aura kemarahan terpancar dari tubuhnya.
Ketiga wanita di dalam mobil merinding melihat Barra.
"Duh, gimana nih Mba?" tanya Bu Wulan.
Kirana dan Alma serentak mengambil nafas, kemudian membuka pintu mobil.
"Dari mana kalian?!"
Alma spontan bersembunyi di balik tubuh Kirana. Sementara, Bu Wulan bergegas memutar ke halaman belakang. Menghindari kemarahan Barra.
"M-maaf Mas, habis dari butik, tadi kita makan dulu. Aku mendadak lapar," jelas Kirana dengan suara sedikit bergetar. Ia belum pernah menghadapi kemarahan Barra.
"Kamu atau Alma yang lapar?" selidik Barra. Suaranya melembut saat memandang Kirana.
"Iya, iya. Aku yang lapar. Aku ingin makan rujak cingur. Di Seoul gak ada," cicit Alma dari balik tubuh Kirana.
"Apa janjmu tadi pagi?!" Suara Barra kembali meninggi.
"Maaf, maaf. Tapi 'kan Kak Kirana gak apa-apa. Ini aku kembalikan istri kakak," Alma mendorong pelan tubuh Kirana ke arah dada Barra, lalu berlari masuk ke rumah.
Dug. Tubuh Kirana menubruk dada Barra.
Grep. Barra langsung memeluk Kirana.
"Ish, anak nakal itu!!"
Barra mengalihkan perhatiannya pada Kirana. Masih memeluk Kirana, "Capek tidak?" Barra mencari manik istrinya.
Kirana menggeleng. "Aku senang jalan-jalan sama Alma."
"Aku yang tidak senang. Aku rindu," Barra menyusupkan hidungnya di leher Kirana.
Detak jantung Kirana berdetak di atas normal. Wajahnya memanas. Ucapan Barra membawa Kirana terbang ke khayangan.
"Kak Barra! Kak Kirananya dibawa masuk dulu. Malu kalau dilihat tetangga, hahahaha," kepala Alma muncul dari balik pintu, meledek kakaknya sambil tertawa keras.
"Ehm, awas ya!" Barra mengejar Alma ke dalam rumah. Alma berlari manaiki tangga ke lantai atas.
Kirana tertawa melihat mereka.
Barra berbalik kembali pada Kirana lalu menariknya masuk ke dalam kamar. Ia menutup dan mengunci pintu. Punggung Kirana membentur dinding. Barra mengukung Kirana.
"Tapi harus kuakui, hasil pekerjaan anak nakal itu sangat baik. Kamu cantik sekali, Kira. Fotonya seksi sekali, Sayang," ucap Barra dengan suara rendah dan dalam.
Mata Kirana membesar memandangi suaminya. Mas Barra memanggilku sayang. Hati Kirana membuncah dengan rasa bahagia.
Barra kembali menyusupkan hidungnya ke leher Kirana. Mengendus dan mengecupnya perlahan.
Gerakan Barra ini membuat tubuh Kirana berdesir. "Sshh, Maas," desah Kirana.
Bibir Barra terus naik ke atas hingga menemukan bibir merah Kirana. Barra langsung melumatnya. Gerakannya cepat dan tidak sabar. Tangannya memegang tengkuk Kirana, sedikit menekan hingga ia leluasa memperdalam ciumannya.
Sementara tangan satunya lagi naik merambat di paha Kirana. Masuk ke dalam bawahan gaunnya. Mengusap, meremas dan memijat sepanjang jalan.
Ciuman Barra semakin intens. Lidahnya menari-nari di dalam mulut Kirana. Kali ini, Kirana tidak bisa mengimbangi Barra.
Lalu, dengan sedikit hentakan, Barra membalikkan tubuh Kirana. Ia membuka outer gaun Kirana dengan terburu-buru. Jemarinya menelusuri punggung Kirana yang terbuka.
"Dari sejak Alma mengirimkan foto itu, hanya ini yang ada di pikiranku."
Barra mengangkat rambut Kirana. Kemudian, mulutnya menggantikan jemari menelusuri punggung yang memikat itu. Lembut dan perlahan. Kupu-kupu yang dari tadi sudah berterbangan di perut Kirana, semakin mendesak keluar. Membuat gelenyar itu semakin kuat.
Kirana memejamkan mata. Lututnya lemas. Ia yakin jika Barra tidak memeganginya, dari tadi ia sudah jatuh ke lantai.
Puas dengan punggung Kirana, Barra kembali memagut bibir Kirana. Kali ini, dengan lembut dan membuai. Tangan Kirana terangkat memeluk leher Barra.
Barra mengangkat Kirana lalu mendudukkannya di atas meja rias. Ia masih terus melumat dan menyesap bibir istrinya. Kemudian, turun terus ke bawah hingga ke bahu Kirana. Ia menyingkirkan tali gaun dengan mulutnya. Sementara, tangannya mengelus punggung Kirana hingga menemukan risleting, menariknya turun.
"Mas... Mmph. Mas... " Kirana merasakan tangan Barra sudah di atas dadanya.
"Mas, tunggu. Berhenti Mas," Kirana memegangi tangan Barra.
Barra menghentikan akitivitasnya. Memandang ke arah Kirana. Kirana melihat sorot mata Barra sudah terselimuti kabut gairah.
"Tidak bisa, Sayang! Sekarang ini, tubuhku sudah bisa diajak kerjasama. Aku tidak bisa berhenti," Barra menggigit leher Kirana.
"Aaw, mmh, Mas... Tadi sore aku baru datang bulan."
Barra berhenti. "Serius?" tanya Barra dengan nada kecewa.
Kirana mengangguk. "Maaf, Mas."
Barra memegang ujung meja dengan kuat. Ia mengatur nafasnya yang memburu. "Aku ke kamar mandi dulu."
Barra melesat masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Kirana merapikan gaunnya yang sudah dibuat berantakan oleh Barra.
"Mas... Mas, sedang apa di kamar Mandi?" Kirana mengetuk pintu setelah 5 menit tidak ada suara dari dalam kamar mandi.
"Mas Barra gak apa-apa?" Kirana masih mengetuk pintu.
"Iya Kira... aku gak apa-apa," akhirnya ada suara dari dalam.
"Kok lama banget? Mas Barra jangan mandi ya. Ini sudah malam. Mas Barra juga baru sembuh."
"Tunggu, Kira. Iya, tenang saja. Aku tidak akan mandi."
Kirana mengedikkan bahunya kemudian memutuskan mengganti gaunnya dengan baju tidur.
Bonus foto yang dikirim Alma pada Kakaknya
Sengaja banget mancing, xixixi