NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Rumah Untuk Pulang

Serena masih bersandar dalam pelukan sang bunda ketika tangisnya perlahan mulai mereda. Meski napasnya masih terdengar berat—sesekali tersendat oleh isak yang tersisa—raut wajahnya tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ada kelegaan samar yang mengalir dari matanya yang masih basah, seolah beban yang selama ini membelenggu hatinya mulai terangkat, sedikit demi sedikit.

Dalam dekapan itu, Serena tampak seperti anak kecil yang akhirnya menemukan kembali pelukan hangat yang selama ini ia rindukan—tempat di mana ia merasa aman, dimengerti, dan diterima tanpa syarat. Tidak ada tuntutan, tidak ada penghakiman—hanya kasih sayang yang tulus, mengalir hening dalam keintiman yang sederhana.

Tanpa rasa canggung, Sarah bahkan mengusap rambut Serena dengan lembut. Gerakannya pelan dan penuh kasih, seperti sedang menenangkan luka-luka yang tak terlihat di dalam diri anak itu. Sentuhannya bukan sekadar belaian, melainkan sebuah bahasa sunyi yang menyampaikan kalimat penenang, "Kamu tidak sendiri, Sayang. Aku ada di sisimu. Bersamamu."

Keberadaan Sarah dalam hidup Serena, perlahan mengaburkan kenyataan pahit bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Sebab sejauh ingatannya melayang, tak pernah sekalipun ia merasakan pelukan sehangat ini dari perempuan yang melahirkannya. Yang tertinggal hanyalah satu pelukan terakhir—yang tak pernah ia sangka adalah sebuah isyarat sebelum perpisahan terjadi.

"Re ..." suara Sarah terdengar lirih. "Bunda nggak bisa janji bisa menyembuhkan semua luka dan rasa sakit kamu. Tapi Bunda bisa janji satu hal."

Serena perlahan melepaskan pelukannya dan menatap wajah Sarah. Mata gadis itu masih sembab, tapi kini menyimpan secercah tanya yang dalam.

Sarah membalas tatapan itu dengan senyuman yang terkesan hangat dan juga lembut. Ia mengangkat tangannya, lalu membelai pipi Serena dengan penuh sayang, tanpa dibuat-buat.

"Bunda bakal selalu doain kamu, Nak. Supaya kamu bisa ketemu lelaki yang benar-benar baik—yang nggak akan pernah bikin kamu merasa sakit, sedih, apalagi kesepian. Dan Bunda juga berdoa ... semoga hidup kamu nanti jauh lebih indah dari apa yang pernah Bunda jalani dulu."

Ucapan itu mengalir pelan, namun terasa hangat dan menenangkan. Ada sesuatu dalam suara Sarah yang membuat dada Serena ikut menghangat, seperti menerima seberkas cahaya di tengah kegelapan yang telah lama menguasai.

Namun, di balik kehangatan itu, terselip rasa ingin tahu yang perlahan tumbuh.

"Bagaimana hidup Bunda yang dulu?" tanya Serena dengan suara pelan namun mantap. "Aku juga ingin tahu ... aku ingin mendengar cerita Bunda."

Sarah tersenyum samar. Senyum itu tampak lembut, tapi memuat bayangan kenangan yang tak semuanya manis—sebagian bahkan tampak masih meninggalkan jejak luka.

"Bunda belum pernah cerita banyak, ya?" tanyanya pelan. "Tentang hidup Bunda sebelum ketemu sama Ayah kamu."

Serena hanya menggeleng pelan. Dan dari sorot matanya, Sarah tahu—ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan semuanya.  

Cerita ini adalah bagian dari sisi terkelam dalam hidupnya di masa lalu. Fragmen-fragmen menyakitkan yang tak pernah ingin ia sentuh, apalagi sekadar membicarakannya. Karena di dalam ingatan itu hanya ada luka, air mata dan penyesalan yang belum benar-benar sembuh.

Namun, sedari awal Sarah tidak pernah berniat akan menutupi masa lalu itu dari Romi dan Serena. Mereka adalah keluarganya, bagian paling penting dari hidupnya sekarang. Mereka berhak tahu—tentang siapa dirinya yang sebenarnya, tentang luka dan jalan panjang yang membentuknya hingga ia sampai di titik ini. Menjadi istri bagi seorang pria yang mencintainya, dan menjadi ibu sambung bagi seorang gadis yang perlahan mulai membuka hatinya kembali.

Terlebih setelah melihat kondisi Serena yang tidak baik-baik saja. Dia perlu membuka sudut pandang gadis itu lebih luas lagi dalam melihat dunia ini. Bahwa meskipun hidup sering kali terasa berat dan tidak adil, selalu ada ruang untuk harapan. Dan bahwa takdir, meskipun kerap datang dalam bentuk luka, bisa saja menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik, jika kita mau bertahan dan terus percaya.

"Dulu, Bunda pernah menikah dengan lelaki yang salah," suara Sarah pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya ingin didengar oleh orang yang benar-benar ia percaya. "Bunda pikir, dia mencintai Bunda dan bisa memberikan kebahagiaan pada Bunda. Tapi ternyata, dia cuma tahu caranya menyakiti. Dia tidak hanya main fisik, tetapi juga sering melukai dengan perkataannya yang menyakitkan."

Serena menelan ludah. Matanya menatap wajah sang bunda, mencoba membaca emosi yang mulai merekah dari sorot matanya.

 "Akhirnya ... setelah berulang kali dianiaya, dimaki, dibuat merasa nggak berharga, bahkan nyawa Bunda dan Rafa dalam bahaya, Bunda mutusin buat pergi. Kabur sejauh mungkin. Bunda juga membawa Rafa yang masih kecil saat itu. Nggak bawa apa-apa selain baju dan tekad kuat untuk bertahan hidup. Kita sempat numpang di rumah saudara dari tetangga Bunda. Mereka baik, Bunda tidak akan pernah melupakan kebaikan yang sudah mereka berikan. Mereka bahkan kasih sedikit uang pegangan buat bantu Bunda supaya bisa bertahan."

Sarah menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Rafa waktu itu masih kelas dua SD. Tapi karena situasinya berbahaya, dia nggak bisa sekolah. Bunda ngerasa bersalah banget. Tapi Rafa nggak pernah nuntut apa pun. Dia malah bantuin Bunda bikin kue, jualan dari pagi sampai sore. Kadang baru tidur tengah malam, habis bantu ngaduk adonan."

Nada suara Sarah mulai bergetar.

"Rafa anak yang pintar, Re. Dia diam-diam tetap belajar dan banyak membaca. Buku yang dia baca dan dia pelajari adalah buku bekas dari anak yang keluarganya kami tumpangi saat itu. Dan akhirnya, setelah enam bulan berlalu, modal Bunda cukup buat ngontrak rumah kecil. Dari situ, Bunda janji sama Rafa ... suatu hari, dia bakal sekolah lagi. Tapi janji itu belum bisa Bunda wujudkan—sampai Bunda ketemu sama ayahmu."

Wajah Sarah melembut, mengenang momen berharga dalam hidupnya. Satu titik yang membuat hidupnya berubah dan memiliki harapan sekali lagi.

"Awalnya Ayahmu cuma pelanggan biasa. Sering pesen kue buat dia bawa ke kantor. Lama-lama kami sering ngobrol, kadang lewat media sosial, karena kami memang bertemu di sana. Sampai akhirnya, Ayahmu cerita soal rumah tangganya, dia juga cerita soal kamu, Re. Katanya, kamu berubah sejak ibumu pergi—entah kenapa hati Bunda merasa sesak mendengarnya. Kamu masih remaja, Nak. Bunda tahu rasanya kehilangan salah satu peran orang tua. Bunda terus kepikiran sama kamu."

Air mata mulai menggantung di sudut mata Serena, tapi ia tetap diam. Bibirnya tertutup rapat, seolah takut satu kata saja bisa membuat semua pertahanannya runtuh.

"Maafkan Bunda, Sayang," lanjut Sarah dengan suara yang bergetar. "Kalau keputusan Bunda menikah dengan Ayahmu, malah membuat kamu merasa sedih, kecewa, marah. Bunda menikah bukan untuk menggantikan ibumu. Tidak, Sayang ... tidak pernah. Bunda hanya ingin mengisi kekosongan yang kamu rasakan. Bunda ingin kamu tidak kehilangan harapan, apalagi kehilangan sosok seorang ibu."

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Bunda nggak pernah marah sama kamu. Bunda tahu, kamu sedang terluka. Dan kadang, satu-satunya cara untuk bertahan adalah pergi. Bunda ngerti, Sayang. Bunda sangat mengerti. Meski kamu pergi jauh, Bunda tetap selalu mendoakan kamu. Setiap hari Bunda selalu mendoakanmu. Akhirnya, doa Bunda didenger, kamu kembali ke rumah ini. Itu sudah cukup bagi Bunda."

Diam sesaat. Lalu suara Sarah kembali lirih.

"Tapi buat Rafa ... semua nggak sesederhana itu. Dia nggak bisa mengerti dengan kondisi keluarga ini. Dia pikir kamu menolak Bunda, menolak keberadaan kami. Dia kira kamu pergi karena kamu nggak suka Bunda hadir di hidup kalian."

Nada Sarah makin rendah, hampir rapuh.

"Maafkan Bunda, Sayang ... harusnya sejak awal Bunda bantu Rafa untuk mengerti dan memahami kamu. Tapi dia tumbuh besar sambil melihat Bunda hidup dalam penderitaan. Jadi ketika dia merasa kamu menyakiti Bunda, dia bereaksi dengan caranya sendiri."

Serena menunduk. Suaranya pelan, hampir tak terdengar.

"Nggak, Bunda ... aku yang salah. Aku belum cukup kuat waktu itu. Aku takut melihat semua perubahan yang begitu asing bagiku. Aku cuma bingung, dan kehilangan arah. Jadi aku memilih untuk pergi."

Dengan lembut, Sarah menyeka air mata di pipi Serena, jemarinya menyentuh seperti doa seorang ibu yang tulus. 

"Bunda memaafkanmu, Sayang. Kamu juga maafkan Bunda, ya. mari kita mulai semuanya dari awal lagi."

Serena meraih tangan Sarah yang sudah mulai dipenuhi garis menua. Dia mencium tangan itu dengan hikmat.

"Bunda?"

"Iya, Sayang?"

"Terima kasih, karena sudah datang dan menikah dengan Ayah. Terima kasih karena sudah menyayangi aku seperti putri Bunda sendiri, walaupun aku bukan anak kandung Bunda."

Sarah menggapai Serena dalam pelukannya, dan dalam suaranya yang hangat, ada cinta yang tak terbantahkan.

"Kamu memang bukan anak yang Bunda lahirkan. Tapi kamu adalah anak yang Bunda pilih untuk Bunda cintai. Itu nggak akan pernah berubah sama sekali."

Sunyi kembali turun, tapi kini ia seperti selimut hangat yang membungkus hati mereka yang sempat retak.

"Re," ucap Sarah lembut, "terakhir pesan Bunda untukmu, Nak. Kadang kita memang harus bertemu dengan orang yang salah lebih dulu, sebelum akhirnya dipertemukan dengan orang yang tepat. Seperti Bunda ... yang dulu sempat salah memilih pasangan, hampir mati di tangan pasangan sendiri, harus berjuang untuk tetap bertahan, lalu dipertemukan dengan Ayahmu."

Ia menatap putrinya dengan mata yang teduh. "Begitu juga kamu, Sayang. Jangan pernah hilang harapan. Re masih muda, jalanmu masih panjang. Dan Bunda ... akan selalu di sini. Bersama dengan Re dan selalu mendoakan Re."

Serena tak pernah menyangka, kebahagiaan yang selama ini ia cari ternyata tersembunyi pada sosok yang dulu sempat ia tinggalkan. Sosok sederhana namun penuh ketulusan—malaikat tanpa sayap yang menjelma sebagai ibu sambungnya.

Bersamanya, Serena seolah menemukan kembali rumah yang pernah hilang. Bukan sekadar tempat berpulang, tapi pelabuhan hati yang dipenuhi kasih dan penerimaan. Hatinya dipenuhi rasa syukur yang dalam, dan di dalam diam ia mengikrarkan janji pada dirinya sendiri: untuk terus mencintai, menyayangi, dan menghormati ibu sambungnya itu—seutuhnya, setulus cinta kepada ibu kandungnya sendiri.

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!