Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Hanafi. Pipi putih milik si pria langsung terasa panas. Namun, pria itu seolah tidak merasakan sakit sedikitpun akibat tamparan barusan. Karena mungkin, luka hati yang terlalu besar tidak membuat sakit pada fisik terasa olehnya.
"Jangan bicara sembarangan lagi, Hanafi. Aku ini mama kamu. Wanita yang sudah melahirkan kamu ke dunia ini. Jika bukan karena aku, kamu tidak akan pernah merasakan hidup di dunia ini, Afi. Kamu harus sadar akan hal itu."
Hanafi malah tersenyum lebar. "Tentu saja aku sadar, Ma. Aku lahir di dunia ini karena mama. Karena itu pula aku rela terluka hati hanya gara-gara memikirkan bakti ku untuk wanita yang sudah membawa aku ke dunia ini."
"Tapi, jika aku bisa memilih, Ma. Aku lebih suka tidak dilahirkan ke dunia ini lagi. Jika aku bisa meminta, aku tidak ingin punya mama yang tidak ingin memahami keluh kesah hatiku seperti mama. Itulah yang aku inginkan, Ma."
"Dan, jika aku bisa mengeluh pada Tuhan ku, aku ingin mengatakan, aku menyesal telah dijadikan anak oleh mama. Aku menyesal punya mama."
Mata Nisa membulat sempurna sekarang. Bibirnya terasa kaku untuk bicara. Wajah Hanafi yang menatapnya dengan datar, kata-kata yang baru saja anaknya ucapkan dengan wajah penuh luka. Sungguh, dia tidak berdaya untuk menyanggahnya lagi.
"Afi."
"Aku menyesal punya mama! Aku menyesal telah dilahirkan oleh wanita seperti mama. Aku menyesal, Ma. Aku menyesal!" Afi menggila sekarang. Kata-kata yang dia ucapkan dengan nada tinggi memenuhi ruangan kamar sang mama.
"Selamat untuk mama yang sudah berhasil menghancurkan hidupku. Meluluh lantahkan hatiku. Merusak segalanya. Selamat, Ma. Selamat," ucapnya lagi. Tapi kali ini, nadanya berubah pelan.
Selesai berucap, Hanafi langsung memutar tubuh. Menarik langkah untuk segera beranjak. Nisa yang terpukul akan kata-kata yang telah anaknya ucapkan hanya bisa diam mematung. Sungguh, kali ini, Hanafi benar-benar tidak bisa menahan diri lagi.
Beberapa saat setelah kepergian Hanafi, Nisa langsung terjatuh terduduk di samping ranjang. Anaknya, manusia yang sudah dia besarkan dari kecil hingga beranjak dewasa, baru saja membentak dirinya dengan nada sangat tinggi.
Nisa sontak langsung menangis.
"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi kenapa kamu tidak bisa menyadarinya? Kamu tidak bisa merasakan bahwa, pilihan mama mu lah yang paling baim, Afi. Kenapa kamu bisa jadi begini?"
....
Dua minggu setelah kejadian di kamar Nisa, Hanafi lebih memilih tetap diam di kantor. Tidak pulang ke rumah Desi, apalagi ke rumah sang mama. Sungguh, perasaannya masih tidak kunjung membaik setelah dua minggu berlalu. Amarahnya tidak kunjung mereda barang sedikitpun.
Setiap hari, selain menyibukkan diri dengan pekerjaan. Afi tetap melakukan hobi memperhatikan Nindi. Hanya dengan memperhatikan si mantan istri, hatinya bisa sedikit lebih baik. Bibirnya juga bisa mengukir sedikit senyum ketika matanya menatap Nindi dari kejauhan.
"Anindia Syafitri. Kamu adalah semangat untuk hidupku. Entah kapan aku bisa memulai pengejaran ku lagi. Aku juga tidak tahu. Setiap kali aku ingin memulai, perasaan takut tiba-tiba datang menghampiri. Aku sungguh sangat ingin, tapi rasa takut itu terlalu besar, Anin."
Itulah kata yang selalu Afi ucapkan ketika dia menatap bingkai foto Nindi yang ada di ruang kerjanya. Dia akan terlihat seperti orang gila yang selalu bicara dengan benda mati. Lawan bicara yang sama sekali tidak akan menanggapi apapun yang dia katakan.
Bunyi ketukan di pintu mengalihkan perhatian Afi. Dengan terpaksa, dia letakkan bingkai foto mantan istrinya ke atas meja.
"Masuk!"
"Maaf, Pak-- "
Baru juga si karyawan ingin berucap, wajah Desi malah langsung muncul dari belakang si karyawan. Dengan tatapan malas, Afi mengalihkan pandangan dari Desi yang baru saja muncul dengan wajah kesal.
"Kamu bisa pergi," ucap Afi pada karyawan itu dengan pelan.
"Baik, Pak. Permisi."
Pintu tertutup. Kini, setelah kepergian si karyawan, hanya ada Desi dan Afi di ruangan tersebut. Desi terus menatap Afi dengan tatapan lekat. Sedang yang di tatap sama sekali tidak ingin menanggapi sedikitpun tatapan tersebut.
"Afi. Aku ingin bicara."
"Silahkan!"
"Hanafi. Kenapa kamu tidak pulang? Sudah dua minggu kamu tidak pulang ke rumah. Aku hubungi kamu, tapi kamu sama sekali tidak menanggapi. Kenapa Hanafi? Apa salahku padamu?"
"Kamu tidak salah. Akulah yang salah karena tidak bisa memaksa diriku untuk tetap tinggal di dekat kamu. Karena aku merasa, terlalu sulit untuk bergaul dengan kalian."
"Ke-- kenapa begitu, Afi? Aku adalah istrimu. Kamu dan aku sudah menikah. Harusnya-- "
"Sampai detik ini, aku masih tidak bisa menerima kenyataan itu, Desi. Aku terpaksa menikah karena wasiat yang kakak ku berikan. Wasiat yang menyakitkan, yang membuat hidupku kacau berantakan. Aku tidak bisa memaksa hatiku. Walau aku sudah berusaha sangat amat keras. Tapi hasilnya akan tetap sama, aku tidak bisa."
"Tapi-- "
"Aku hanya bisa anggap kamu kakak ipar ku, Desi. Tidak bisa yang lain. Aku tidak bisa untuk terus memaksa hatiku. Aku tidak sanggup."
Tidak ada lagi kata yang bisa Desi ucapkan. Hanya tatapan lekat yang mewakili jeritan hatinya yang sangat sakit sekarang. Penolakan demi penolakan telah dia terima. Dia pikir, setelah Afi menceraikan Nindi, semua akan baik-baik saja. Tapi kenyataannya malah berbeda. Setelah bercerai, Hanafi malah semakin tidak ingin melihat dirinya. Lalu sekarang, penolakan secara terang-terangan Hanafi berikan. Itu sungguh sangat menyakiti hati dan perasaan Desi.
"Hanafi."
"Maaf. Aku tidak bisa, Desi. Mau dipaksakan bagaimanapun, aku tetap tidak bisa."
Desi memalingkan wajahnya dari Hanafi. Dia seka air mata yang tumpah secara perlahan akibat luka hati yang terasa sangat perih. Senyum pahit dia perlihatkan.
"Baiklah kalau itu yang kamu katakan. Aku tidak akan memaksa lagi. Kita mungkin bisa berpisah setelah aku membicarakan masalah kita pada kedua keluarga."
"Terserah kamu saja. Aku akan terima kabar baiknya saja."
Sungguh, bibir Desi tidak lagi sanggup menjawab. Ternyata, dalam hati Afi, perpisahan adalah hal yang paling ia inginkan. Desi ingin sekali menjerit. Tapi, dia tahan dengan sekuat tenaga. Anggukan kepala ia berikan. Lalu setelahnya, Desi langsung beranjak meninggalkan ruangan Hanafi tanpa bicara terlebih dahulu.
Sampai di mobil, Desi langsung melepaskan tangisannya. Dia menangis sesenggukan.
"Apa kurangnya aku? Kenapa dia tidak bisa melihat aku sedikitpun? Kenapa, ha? Kenapa?"
"Aku lebih cantik dari pada wanita itu. Tubuhku lebih menggoda dengan bodi yang masih sangat terjaga. Semuanya terlihat indah dan masih sangat cantik. Tapi kenapa? Kenapa dia tidak mau melihat aku sedikitpun?"
"Kurang apa aku, ha? Kurang apa?"
Desi seperti orang gila bicara sendirian di dalam mobil. Tangisannya terus terdengar sambil dia bicara. Sungguh, sepertinya, saat ini dia sedang sangat frustasi dengan semua penolakan yang Afi berikan padanya.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.