Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pulau yang menghancurkan segalanya
Hujan deras tak kunjung berhenti. Langit hitam pekat seakan menutup semua cahaya, hanya menyisakan kilat yang sesekali menyambar dan mengguncang tanah lembah.
Suara gemuruh petir bercampur dengan raungan tanah yang mulai retak, seakan pulau itu sendiri sedang mengerang kesakitan.
Pak Jono berdiri dengan tubuh gemetar di balik batu besar yang mulai tergerus air.
Tubuhnya penuh lumpur, wajahnya pucat, dan matanya berair bukan hanya karena hujan, melainkan karena rasa kehilangan yang menyesakkan dada.
Sejak hari-hari terakhir, ia sudah hidup dalam lingkaran kesendirian, dihantui bayangan Gilang, Jefri, Kapten Rahmat, dan semua yang telah gugur.
Kini, ketika alam mulai benar-benar menunjukkan amarahnya, ia sadar hanya ada dua pilihan...!bertahan hidup atau ikut terkubur bersama pulau ini!
Tanah di bawah kakinya berguncang.
Pak Jono hampir terjerembab, berpegangan erat pada akar pohon yang muncul dari celah batu. Dari kejauhan terdengar suara letupan keras, seperti bom yang meledak.
Namun itu bukanlah senjata, melainkan patahnya tebing besar di sisi lembah yang runtuh menghantam dasar jurang.
Suara bebatuan yang berguling menimbulkan gelombang debu bercampur air, membutakan pandangannya sesaat.
“Ya Allah… apa ini sudah kiamat?” gumamnya dengan napas terengah.
.
Ia mencoba menenangkan diri, tapi kepalanya dipenuhi bisikan-bisikan aneh.
Suara Gilang yang menjerit, suara Jefri yang meminta tolong, suara Kapten Rahmat yang menyalahkannya.
Semua bercampur dengan suara nyata dari runtuhnya pulau.
Antara halusinasi atau kenyataan, ia sudah tak bisa membedakannya lagi.
Pak Jono menyusuri jalan setapak sempit yang tersisa di sisi tebing.Jalur itu licin, penuh lumpur, dan hanya selebar tubuhnya.Jika ia terpeleset sedikit saja, ia akan jatuh ke jurang yang kini sudah penuh dengan lumpur bercampur batang-batang pohon.
Nafasnya semakin memburu, tapi ia memaksa kakinya terus melangkah.
Tiba-tiba, dari balik semak, muncul suara gemeretak.Pak Jono menoleh, jantungnya serasa berhenti.
Dari kabut hujan, sosok-sosok bayangan hitam berjalan terseret, seperti tubuh manusia tapi tak utuh. Ada yang tanpa kepala, ada yang setengah tubuhnya hancur. Mata mereka kosong, wajah mereka pucat keabu-abuan.
Pak Jono memejamkan mata, menggigit bibirnya sampai berdarah.
“Bukan nyata… bukan nyata…”
bisiknya, mencoba meyakinkan diri.
Namun ketika ia membuka mata, sosok itu masih ada, bahkan semakin dekat.
Mereka tidak berlari, hanya berjalan terseret, tapi langkah mereka seolah menggiring Pak Jono ke ujung jalan.
Ia mundur, berpegangan pada akar, matanya liar mencari jalan keluar.
“Pergi kalian! Jangan ikut aku lagi!” teriaknya dengan suara parau.
Tiba-tiba kilatan petir menyambar pohon di belakangnya,menyalakan api kecil meski hujan deras masih mengguyur.
Api itu hanya bertahan sebentar, tapi cukup untuk menyingkap kenyataan, tidak ada mayat berjalan.
Yang ada hanyalah batang-batang pohon tumbang yang terbawa arus lumpur.
Pak Jono menghela napas keras, namun tubuhnya semakin lemah.
Halusinasi itu benar-benar mulai menguasai pikirannya.
Ia terus berjalan, meski kaki mulai terasa berat. Perjalanan itu terasa seperti puluhan kilometer, padahal sebenarnya hanya beberapa ratus meter. Di tengah jalan, tanah di depan runtuh mendadak, membentuk jurang baru.
Pak Jono hampir kehilangan pijakan, beruntung ia bisa berpegangan pada dahan pohon yang kuat. Namun ketika ia menoleh ke bawah, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di dasar jurang yang baru terbentuk itu, terlihat kerangka-kerangka manusia berlumuran lumpur. Bukan hanya satu atau dua, melainkan puluhan. Sebagian masih mengenakan sisa seragam biru awak kapal, sebagian lagi mengenakan pakaian asing yang sudah robek-robek. Tulang belulang itu bercampur dengan perhiasan, cincin emas, kalung, dan bahkan sisa-sisa senjata tajam.
Pak Jono memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya bergetar hebat.
“Ya Allah… jangan biarkan aku mati seperti mereka…” bisiknya lirih.
Ia berusaha memanjat melewati sisi yang lebih kokoh, namun tanah terus longsor. Setiap langkah seperti taruhan antara hidup dan mati. Tangannya penuh luka goresan, darah bercampur lumpur, tapi ia terus bertahan.
Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Hujan mulai reda, hanya menyisakan gerimis dan kabut tebal. Namun pulau itu tidak berhenti bergejolak. Suara dari dalam tanah,seperti jeritan panjang......
terdengar samar, seakan-akan pulau itu memiliki roh yang sedang merintih. Pak Jono menutup telinganya, tapi suara itu tetap masuk ke dalam kepalanya.
“Aku harus keluar… aku harus keluar…” katanya berulang-ulang, seperti mantra untuk bertahan waras.
Akhirnya ia sampai di jalur sempit yang tampak menuju ke luar lembah. Namun jalur itu hampir tertutup reruntuhan batu. Hanya ada celah kecil, cukup untuk satu orang merangkak. Tanpa pikir panjang, Pak Jono menunduk, merangkak masuk, meski punggungnya tergores batu-batu tajam. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak tak beraturan, tapi satu-satunya harapannya ada di balik celah itu.
Di tengah merangkak, tiba-tiba batu besar bergeser di atasnya, menutup sebagian jalan. Pak Jono menjerit, tubuhnya terhimpit. Ia berusaha mendorong dengan seluruh tenaga, tapi batu itu terlalu berat. Dadanya terasa sesak, pandangannya mulai berkunang.
“Tidak… aku belum mau mati…” rintihnya.
Di tengah rasa putus asa, ia melihat sebuah benda berkilau di sampingnya. Sebuah pisau lipat yang entah bagaimana bisa sampai di sana. Mungkin peninggalan kru yang lain, atau milik salah satu suku. Dengan sisa tenaga, ia mengambil pisau itu dan mencoba mencungkil batu agar bergeser sedikit. Perlahan, batu itu goyah, memberikan ruang tambahan. Dengan teriakan penuh tenaga terakhir, ia berhasil merangkak keluar.
Udara segar menyambutnya. Meski masih dipenuhi kabut, di luar celah itu terasa lebih lapang. Pak Jono terbaring di tanah basah, menatap langit yang masih kelabu. Tubuhnya penuh luka, darah menetes dari pelipis dan tangannya, tapi ia masih hidup.
Namun kelegaan itu hanya sebentar. Dari kejauhan, ia melihat bayangan sosok berdiri di atas batu besar. Sosok tinggi, kurus, dengan rambut panjang terurai menutupi wajah. Tubuhnya diam, tidak bergerak, hanya menatap Pak Jono.
Pak Jono mencoba fokus, mengusap matanya yang buram.
“Siapa… siapa kau?” teriaknya dengan suara serak.
Sosok itu tidak menjawab. Angin berhembus kencang, kabut menyelimuti, dan sosok itu lenyap begitu saja. Pak Jono menatap kosong, tubuhnya bergetar hebat.
Ia sadar pulau ini belum benar-benar selesai dengannya.