Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Luoyang tampak damai. Setelah penangkapan para pengkhianat, istana kembali tenang. Festival musim semi digelar, lampion-lampion tergantung di setiap jalan utama, dan suara musik tradisional kembali mengalun lembut dari balik dinding paviliun bangsawan.
Namun seperti kata pepatah lama: ketika permukaan air tenang, bisa jadi pusaran besar tersembunyi di bawahnya.
Dan pusaran itu kini mulai bergolak.
—
Sore itu, di halaman kediaman keluarga Wei
Wei Lian duduk di bawah pohon prem, mengenakan jubah lembut warna hijau giok. Tangannya sibuk menyulam, tapi pikirannya tidak tenang.
Ia merasa… ada sesuatu yang belum selesai.
Dan instingnya jarang salah.
“Putri…” suara lembut Ah Zhi, salah satu pelayan baru yang dikirimkan sebagai pengganti Ah Rui, terdengar dari belakang.
“Iya?”
“Ada pesan untuk Anda. Tanpa nama pengirim. Diselipkan di bawah pintu belakang. Saya baru temukan barusan.”
Wei Lian segera meletakkan sulamannya dan membuka gulungan kecil itu.
Tulisan di dalamnya mencengangkan:
> “Masih ingat siapa yang menjual informasi pergerakan keluarga Wei dulu? Yang membuatmu menyaksikan kematian mereka di kehidupan sebelumnya?”
> “Orangnya masih hidup. Dan dia ada di Luoyang.”
Denyut nadi Wei Lian membeku.
Ia menggenggam surat itu erat. Dalam kehidupan sebelumnya, ia tahu ayah dan seluruh keluarganya dihancurkan bukan hanya karena fitnah, tapi karena seseorang dari dalam membocorkan jalur komunikasi dan pergerakan mereka. Namun identitas orang itu tak pernah terungkap sebelum kematiannya.
Wei Lian berdiri cepat.
“Ah Zhi, siapkan kudaku. Katakan pada Yan’er dan Zhao Jin untuk menemuiku di kuil tua dekat gerbang barat malam ini. Jangan beri tahu siapa pun.”
—
Malam itu, di kuil tua gerbang barat
Tiga sosok berdiri di bawah cahaya obor.
Wei Lian, Yan’er, dan Zhao Jin.
“Pesan ini hanya bisa datang dari dua kemungkinan,” ucap Wei Lian. “Entah jebakan… atau informasi yang akhirnya akan membuka semua kebenaran.”
Zhao Jin mengangguk. “Aku sudah siapkan pasukan bayangan mengelilingi area ini. Jika terjadi sesuatu, kita siap.”
Tak lama, langkah pelan terdengar.
Seorang pria tua berpakaian compang-camping muncul dari balik gerbang batu.
Langkahnya pincang, matanya tajam tapi ketakutan. Ia membawa gulungan kain kusam di pelukannya.
“Siapa kau?” tanya Yan’er, bersiaga.
Pria itu membuka kain, memperlihatkan sebuah lambang tua dari tentara istana—tanda bahwa ia pernah menjadi penjaga dalam istana Luoyang.
“Aku… dulu tukang kirim pesan. Aku tahu jalur-jalur rahasia dalam istana dan luar. Aku dipaksa… oleh seseorang yang punya pengaruh besar… untuk mengirim dan menukar surat antara tentara istana dan kelompok pemberontak.”
Wei Lian mendekat, suaranya tajam. “Siapa yang memaksamu?”
Pria itu gemetar.
“Permaisuri Dowager.”
Dug! Dunia Wei Lian seakan membeku.
Permaisuri janda—ibu dari Kaisar sebelumnya, nenek dari putra mahkota yang menghancurkannya di kehidupan lalu.
Ia adalah wanita tua yang tampak lembut… tapi dikenal memiliki pengaruh besar bahkan lebih dari para menteri.
Dan ternyata, dialah dalang dari kematian keluarga Wei selama ini.
Wei Lian mengepalkan tangannya.
“Kenapa?”
Pria itu menunduk. “Keluarga Wei terlalu berkuasa… dan ia tak ingin kekuasaan jatuh ke tangan jenderal… atau ke putra mahkota yang terlalu mencintaimu. Ia ingin kendali tetap di tangannya. Maka… ia mainkan semua dari balik layar.”
Zhao Jin mendesis. “Dia berpura-pura sakit… dan menjauh dari politik. Tapi ternyata…”
Wei Lian menatap langit malam.
Selama ini, ia pikir dendamnya telah selesai. Tapi kini ia tahu: belum.
—
Keesokan paginya, di paviliun Hanbei
Mo Yichen menerima laporan itu tanpa bicara sepatah kata pun. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan amarah yang ditahannya.
“Dia… selama ini berada begitu dekat… dan menanam racun di dalam kerajaan sendiri.”
Wei Lian menyentuh tangannya.
“Ini bukan hanya soal balas dendam lagi. Tapi keadilan untuk semua keluarga yang dihancurkan oleh intrik istana.”
Mo Yichen mengangguk pelan.
“Kita akan hadapi ini… sebagai Kaisar dan Permaisuri.”
—
Namun… mereka tidak tahu satu hal.
Permaisuri Dowager juga telah mendengar kabar kembalinya Wei Lian. Dan ia tidak tinggal diam.
Di ruangannya yang sunyi, ia membuka kotak perak tua. Di dalamnya, sebuah cincin batu darah yang dulu ia wariskan kepada seorang cucu yang disembunyikan dari dunia.
“Waktunya kau keluar dari bayang-bayang,” gumamnya.
“Dan mengambil alih apa yang menjadi hakmu.”
Istana Dalam, Kediaman Permaisuri Dowager
Langit pagi tampak kelabu, seakan menyembunyikan gelombang badai yang akan segera menerpa jantung kekuasaan Luoyang.
Permaisuri Dowager, wanita tua yang selama ini tampak lemah dan penuh welas asih, kini duduk di kursi kayu tinggi berlapis brokat emas. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah taman istana yang mulai bermekaran.
Namun dalam tatapannya, tak ada kehangatan musim semi.
Yang ada hanya dingin, perhitungan.
Di hadapannya, berlututlah seorang pria muda dengan wajah yang amat mirip dengan Kaisar terdahulu. Tatapan matanya tajam, dan senyumnya dingin.
“Namamu kini Li Feng.” Suara sang permaisuri begitu tenang. “Keturunan rahasia dari darah kekaisaran. Putra dari pangeran kedua yang telah lama disingkirkan. Kini waktumu mengambil kembali apa yang selama ini dirampas.”
Pria itu menunduk hormat. “Saya akan menjadikan nama Anda tercatat sebagai penguasa bayangan yang paling disegani sepanjang sejarah, Nenek Agung.”
—
Di paviliun Hanbei
Wei Lian dan Mo Yichen duduk berdampingan di ruang strategi. Di hadapan mereka terbentang peta istana dan bagan kekuatan dalam: siapa saja pejabat tinggi yang setia, siapa yang netral, dan siapa yang masih condong pada kekuatan lama.
“Kita tidak bisa hanya menyingkirkan Permaisuri Dowager begitu saja,” kata Wei Lian. “Dia telah menanamkan pengaruh bertahun-tahun. Jika kita gegabah, kita akan tampak seperti pemberontak di mata rakyat.”
Mo Yichen mengangguk. “Tapi kita juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Jika benar dia memiliki pion baru… kita harus bergerak sebelum mereka memegang kekuasaan resmi.”
Yan’er masuk dengan cepat, membawa gulungan pesan rahasia. “Laporan dari jaringan dalam istana. Ada pergerakan aneh dari beberapa pasukan penjaga kekaisaran. Beberapa kapten diganti diam-diam.”
Zhao Jin menambahkan, “Dan dua malam lalu, seseorang menyelinap ke ruang penyimpanan lambang kekaisaran. Salah satu stempel resmi… hilang.”
Wei Lian terdiam sejenak, lalu berdiri. “Mereka akan membuat dekrit palsu. Mereka ingin menobatkan seseorang sebagai penerus tahta—dan jika itu terjadi sebelum kita bertindak, rakyat akan percaya bahwa itu sah.”
Mo Yichen mengepalkan tinjunya. “Kita tidak punya pilihan. Kita harus hadir langsung di pertemuan istana… dan mengungkap semuanya di hadapan para menteri.”
Zhao Jin memandangnya ragu. “Itu akan sangat berisiko.”
Mo Yichen tersenyum samar. “Sejak awal aku sudah memilih jalan berisiko. Tapi kali ini… aku tidak sendiri.”
Ia menoleh pada Wei Lian, yang mengangguk mantap.
—
Hari berikutnya – Ruang Tahta Istana Luoyang
Semua pejabat berkumpul. Pertemuan agung diumumkan secara mendadak. Di antara mereka, duduk Permaisuri Dowager dengan wajah tenang dan lamban, seperti biasanya. Di sisinya berdiri Li Feng, dengan pakaian formal dan lambang kekaisaran palsu terselip di pinggangnya.
Beberapa menteri mulai berbisik, sebagian percaya bahwa Li Feng adalah pangeran rahasia yang akan diangkat menjadi penerus baru menggantikan garis Mo Yichen.
Saat pengumuman akan dibacakan…
“Mohon maaf atas keterlambatan kami.”
Semua menoleh.
Mo Yichen masuk dengan pakaian resmi Kaisar Hanbei. Di sisinya berjalan Wei Lian, Zhao Jin, Yan’er, dan Jenderal Wei.
Kehadiran mereka membuat seisi ruangan mendadak sunyi.
Li Feng maju, suaranya tenang namun penuh tekanan. “Siapa pun yang tidak diundang tidak seharusnya berada di ruang sakral ini.”
Mo Yichen menjawab, “Aku diundang oleh sejarah. Dan hari ini, sejarah akan mencatat siapa yang benar dan siapa yang menghancurkan kebenaran demi ambisi.”
Wei Lian meletakkan gulungan besar di hadapan para menteri. “Ini bukti konspirasi Permaisuri Dowager dan pengangkatan palsu pangeran bayangan. Di sini tertera semua transaksi, surat rahasia, dan bukti manipulasi dalam istana.”
Seisi aula gempar.
Permaisuri Dowager tetap tenang. “Itu hanyalah tuduhan dari seorang wanita yang pernah dianggap gila karena mengaku hidup kembali.”
Semua menoleh ke Wei Lian.
Namun ia hanya tersenyum tipis. “Dan walaupun itu benar… tidakkah aneh jika seorang ‘gila’ bisa menemukan semua rahasia yang kalian sembunyikan dengan sangat dalam?”
Para menteri mulai meragukan. Beberapa di antaranya membalik gulungan dan membaca cepat. Tatapan mereka berubah.
Mo Yichen menatap Li Feng. “Kau bisa meletakkan lambang kekaisaran palsu itu… atau aku akan mengambilnya dengan tanganku sendiri.”
Li Feng mencabut pedangnya.
Tapi sebelum ia sempat menyerang, Zhao Jin dan Yan’er bergerak lebih cepat. Dalam waktu singkat, pedang itu terlepas dan Li Feng terdorong ke lantai.
Jenderal Wei maju dan mengumumkan dengan lantang,
“Demi keselamatan negeri dan kejayaan kekaisaran, aku menyatakan bahwa Permaisuri Dowager dan Li Feng ditangkap untuk diadili.”
Pasukan khusus yang telah disiapkan masuk dan menggiring mereka.
Dan saat semuanya selesai…
Wei Lian berdiri di tengah aula, menatap para menteri satu per satu.
“Tidak ada kekuasaan yang abadi jika dibangun di atas kebohongan. Dan hari ini, kami memilih untuk memulai lembaran baru.”
Mo Yichen berjalan mendekat, lalu menggenggam tangan Wei Lian di depan semua orang.
“Dengan ini… aku umumkan bahwa Wei Lian akan menjadi satu-satunya Permaisuri Kekaisaran Hanbei dan pendampingku dalam membangun kembali keadilan di tanah ini.”
Para menteri bersujud.
Langit yang tadinya kelabu… perlahan menjadi terang.
Dan suara burung phoenix terdengar dari kejauhan.
Bersambung