Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Perjalanan.
Nico mengemudi dengan tenang, sementara Wallace duduk di kursi belakang, memejamkan matanya seolah tengah beristirahat atau tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Namun ketenangan itu mendadak terhenti.
Ban mobil mencicit keras saat Nico menginjak rem mendadak. Tubuh Wallace sedikit terdorong ke depan, dan matanya langsung terbuka.
“Tuan… ada yang tidak beres,” ujar Nico, pandangannya terpaku ke arah jalan di depan.
Wallace mengangkat wajahnya, menoleh ke jendela.
Di tengah jalan, berdiri sekitar enam belas orang pria. Masing-masing menggenggam senjata tajam - pedang, hingga besi panjang yang tampak mengilap dalam cahaya malam. Mereka menyebar, membentuk setengah lingkaran, menghalangi jalan sepenuhnya.
“Sepertinya mereka sudah menunggu cukup lama,” gumam Wallace, suaranya tetap tenang, namun penuh kewaspadaan.
“Aku akan meminta bantuan tim cadangan,” kata Nico cepat, tangannya bergerak ke arah ponsel.
“Tidak usah.” Wallace menahan gerakannya. “Mereka tidak akan sempat datang tepat waktu. Kita hadapi saja. Aku juga penasaran siapa dalang di balik semua ini.”
Dengan tenang, Wallace membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Ia menanggalkan jas hitam panjangnya dan melemparkannya ke kursi belakang. Hembusan angin malam menerpa kemeja hitamnya yang kini memperlihatkan sosoknya yang dingin namun mematikan.
Wajahnya tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Justru ada senyum tipis penuh tantangan yang tersungging di sudut bibirnya.
"Baiklah… siapa yang ingin mati lebih dulu?" ucapnya dingin, tatapannya tajam menelusuri wajah-wajah para penyerangnya yang kini mulai mendekat.
Wallace mengeluarkan senjata tajam khusus dari balik pinggangnya—sebilah pisau berukir hitam pekat, senjata yang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Pisau itu bukan hanya alat, tapi bagian dari dirinya—tajam, cepat, dan mematikan.
Dalam sekejap, enam belas pria bersenjata itu menyerang bersamaan seperti kawanan buas. Tapi Wallace tidak bergeming. Dengan kelincahan luar biasa, ia menghindari tebasan dari seorang pria bertubuh besar, lalu menangkap pergelangan tangan lawannya dengan cekatan.
"Kau terlalu lambat," gumamnya dingin, sebelum mengayunkan pisaunya ke arah nadi pria itu.
"Aaarghhh!" teriak pria itu keras. Darah menyembur deras dari pergelangan tangannya yang terpotong tepat di urat nadi. Tubuhnya langsung roboh, berguling di aspal, meraung kesakitan.
Wallace tak punya waktu untuk berhenti. Ia memutar tubuh, menendang perut lawan berikutnya dengan keras hingga orang itu terlempar ke belakang. Dalam satu gerakan mengalir, ia melompat dan menikam tepat ke arah leher pria yang menyerang dari kiri.
"Arghhh!" Suara jeritan kembali menggema, bercampur dengan suara senjata beradu dan desingan angin dari gerakan cepat.
Sementara itu, Nico juga sudah ikut bertarung. Dengan refleks tajam, ia menghindari sabetan parang, lalu membalas dengan tendangan ke perut penyerangnya. Tubuh pria itu terangkat sesaat sebelum jatuh terhempas.
"Kalian mengira bisa menyentuh Tuan Huang hanya dengan modal nyali dan senjata tajam?" ejek Nico sambil menahan serangan dari sisi kanan. Ia menangkisnya dengan lengan, lalu melayangkan pukulan keras ke wajah lawan lain.
Bruk! Dentuman pukulan Nico menghantam rahang pria itu, membuatnya terpental dan jatuh berguling.
Namun para penyerang belum berhenti. Puluhan senjata tajam masih mengarah ke mereka dari berbagai sudut. Wallace memutar pisaunya, bersiap menghadapi gelombang berikutnya. Matanya dingin, tapi penuh perhitungan.
Wallace melanjutkan serangannya tanpa keraguan sedikit pun. Langkahnya mantap, tajam seperti pemburu yang tak pernah gagal mengunci mangsa. Dengan satu gerakan cepat, ia menikam leher lawannya—tepat di bawah rahang, membuat darah menyembur hebat.
Namun Wallace belum berhenti.
Dengan dingin dan kejam, ia mendorong senjatanya lebih dalam, lalu menarik pisau itu perlahan ke bawah, menyeret bilah tajamnya dari leher hingga dada lawan.
"Aaaahhh!" Pria itu meraung, tubuhnya bergetar hebat sebelum ambruk, darah membanjiri tanah di bawahnya. Wallace hanya menatapnya sebentar, lalu menarik pisaunya yang kini sudah berlumuran darah.
Dari arah belakang, beberapa penyerang tersisa menyerbu. Mereka berteriak seperti orang kesurupan, berharap bisa menyergap Wallace dari titik buta.
Namun sia-sia.
Wallace berbalik dengan cepat, lalu mengangkat kakinya dan melayangkan tendangan keras ke perut salah satu pria. Tendangannya begitu kuat hingga tubuh lawan itu terhempas ke tanah, menggeliat sambil mengerang kesakitan.
Tanpa memberi kesempatan untuk bangkit, Wallace melangkah maju, lalu mengayunkan pisau ke arah kaki pria itu. Dengan satu gerakan presisi, ia memotong bagian belakang kaki, tepat di atas tumit, menyayat urat penting yang membuat pria itu menjerit sekuat tenaga.
"Aaaaarghh!!" suara itu menggema di tengah malam yang sunyi, seolah menandai keganasan Wallace.
Darah berceceran di sekeliling mereka. Udara malam yang dingin kini terasa lebih mencekam, bercampur dengan aroma darah dan kematian.
Sisa dua orang musuh masih berdiri, tubuh mereka gemetar hebat. Wajah pucat, napas terengah, dan tangan mereka bergetar hebat memegang senjata yang kini terasa tak berguna. Mata mereka terpaku pada Wallace—sosok yang baru saja membantai rekan-rekan mereka tanpa ragu, tanpa belas kasihan.
Darah menetes dari ujung pisau Wallace, yang kini terangkat sejajar dengan bahunya. Ia melangkah pelan, seperti bayangan maut yang datang menghampiri. Setiap langkahnya membuat dua pria itu mundur satu-satu, tak sanggup menahan tekanan.
"T-Tolong... jangan bunuh kami..." salah satu dari mereka memohon, suaranya parau dan nyaris tak terdengar.
Wallace tak menjawab. Ia hanya mengangkat pisau ke arah cahaya lampu mobil, lalu mengusap noda darah yang menempel pada bilah tajam itu dengan sapu tangan hitam dari sakunya. Gerakannya tenang... nyaris anggun—tapi justru itulah yang membuat suasana makin mencekam.
Setelah pisaunya bersih, Wallace menyelipkannya kembali ke pinggang, lalu menatap Nico.
"Bawa mereka yang masih hidup ke markas," ucapnya datar namun penuh perintah.