Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Salah Menilai
Ellen menoleh. Leo berdiri di sana, mengenakan kemeja tipis yang sedikit terbuka, rambutnya acak, matanya tak takut.
“Dia lebih berkuasa darimu, Ellen.”
Kalimat itu sejenak menggantung di udara.
Ellen mematung. Gelas wine di tangannya nyaris tergelincir. Matanya menyipit, sorot tajam memaku Leo.
Tapi Leo tidak menunduk. Ia justru menatap balik dengan mata yang untuk pertama kalinya—tidak tunduk.
Ellen menggerakkan tubuhnya perlahan dari sofa.
Wajahnya masih tersenyum, tetapi sorot matanya berubah. Senyum itu tak lagi manis—ia dingin, tajam, dan sarat amarah yang menahan ledakan.
Langkahnya ringan saat mendekat, seperti kucing mendekati mangsa. Leo tetap diam di tempat, sorot matanya tak berubah, meski napasnya mulai tak teratur.
Ellen berdiri sangat dekat, hingga aroma parfumnya menusuk hidung Leo.
“Aku minta ulangi apa yang tadi kamu katakan,” bisiknya lirih, hampir manja.
Leo diam. Sorotnya masih menantang.
Ellen mengangkat tangannya, mengelus dada Leo dengan ujung jarinya. “Bayu... lebih berkuasa dariku?” gumamnya seperti sedang mencerna rasa asing di lidahnya.
Lalu tiba-tiba...
"PLAK!"
Tangan Ellen menampar Leo tanpa peringatan. Cepat. Keras. Tepat di pipinya.
“Kalau kau cukup bodoh untuk berpikir dia bisa menyelamatkan Ayla, maka kau lebih tolol dari yang kubayangkan,” desisnya.
Leo menoleh perlahan. Masih diam.
Ellen menatapnya tajam, tak ada senyum di wajahnya.
“Dengar baik-baik, Leo.” Suaranya berubah, lebih gelap. “Kalau kau berani berkhianat, berani berpihak pada dia—atau bahkan cuma berpikir tentang itu—aku akan membuatmu menyesal pernah hidup.”
Ia mencengkeram rahang Leo, keras.
“Aku bisa menghancurkanmu lebih cepat dari kau bisa memejamkan mata,” ucapnya pelan, penuh racun.
Leo menelan ludah. Namun sorot matanya masih menyimpan bara—bara yang kini mungkin telah membara lebih kuat.
-----
Di Swiss
Ayla berdiri diam di depan rumah, memandangi mobil Bayu yang perlahan menghilang di kejauhan. Angin pagi menyapu pelan rambutnya yang tergerai.
Tangannya meraba perutnya yang masih datar.
"Kau masih kecil... bahkan belum terasa benar di sini, tapi mama tahu kau ada."
"Aku harus kuat, 'kan?"
"Aku nggak boleh goyah cuma karena mereka bicara semaunya."
"Aku percaya sama Bayu... dia pasti selesaikan semuanya."
"Dan aku percaya, Tuhan nggak pernah tidur."
Ia menunduk, menatap tanah sejenak, seolah ingin melepaskan segala kecamuk di dadanya ke bumi.
"Apa aku salah karena mencintainya?"
"Apa salah kalau akhirnya aku diperjuangkan, meski dunia menertawakan?"
"Mereka boleh bilang apa saja… bilang aku hina, bilang aku sama seperti Sherin."
"Tapi mereka nggak tahu... mereka nggak tahu apa-apa tentang aku."
Kakinya melangkah pelan menuju kebun. Matanya menangkap warna-warna cerah bunga gerbera yang bermekaran.
"Aku butuh warna-warna ini... butuh sesuatu yang nyata dan indah untuk kupegang hari ini."
"Aku tidak bisa terus menunggu berita buruk... tidak hari ini."
"Anak ini butuh aku tetap waras, tetap tersenyum."
Ia jongkok, memetik satu tangkai gerbera dengan hati-hati. Ia memandangnya lama.
"Kuat, lembut, dan sederhana. Aku ingin jadi seperti kamu."
"Aku akan diam… seperti selama ini. Karena aku tahu, kebenaran akan datang pada waktunya."
"Dan saat itu tiba… aku nggak butuh pembelaan dari siapa pun."
Senyumnya mengembang tipis. Di antara bunga-bunga itu, Ayla memilih diam sebagai bentuk perlawanan. Diam yang menyimpan harapan, dan kekuatan.
Sinar matahari menelusup lembut dari balik awan. Aroma tanah basah dan bunga gerbera memenuhi udara. Di kejauhan, debu beterbangan pelan saat sebuah mobil hitam berhenti agak jauh dari gerbang rumah Ayla.
Pintu mobil terbuka. Seorang pria tua turun perlahan, sikapnya tenang tapi penuh wibawa. Matanya yang tajam menatap kebun bunga di depan rumah sederhana itu.
Armand melangkah di belakangnya.
“Itu wanita bernama Ayla, Tuan,” bisiknya hati-hati. “Wanita yang mengandung anak Tuan Bayu.”
Shailendra tak menjawab. Ia hanya diam menatap bunga-bunga yang tumbuh dengan semangat. Lalu kakinya melangkah sendiri, perlahan, mendekati satu sosok wanita muda yang sedang memetik gerbera. Langkahnya tak terburu, tapi cukup untuk membuat Ayla akhirnya menyadari kehadirannya.
“Kebun bunga-bunga ini terlihat indah,” ujar Shailendra datar ketika jaraknya cukup dekat. “Sejak kapan bunga-bunga ini ditanam?”
Ayla menoleh, hendak menjawab, tapi suaranya tertahan. Pandangannya terpaku pada wajah pria tua itu.
“Anda…” bibirnya bergerak pelan. “Anda pria yang kecelakaan di Selandia waktu itu, 'kan? Ah… syukurlah Anda selamat.”
Shailendra mengernyit. “Kau mengenalku?”
Ayla tersenyum tulus. “Waktu itu Anda bilang pada dokter, jika memungkinkan, Anda ingin selamat. Anda belum mau mati… jika belum punya cucu. Anda tak ingin keluarga Anda tak memiliki penerus.”
Shailendra menatapnya lama. “Kau cukup memerhatikan aku…”
Ayla menunduk sedikit. “Maaf… saya hanya melihat Anda di rumah sakit. Saya tidak tahu siapa Anda sebenarnya.”
“Benarkah? Kau tak mengenalku?” nada suara Shailendra dalam, menguji.
Ayla mengangguk canggung. “Maaf… saya benar-benar tak mengenal Anda.” Jujurnya pelan, tapi terdengar tulus.
Shailendra menarik napas panjang, lalu berkata, “Tapi aku mengenalmu. Kau menjadi bahan pemberitaan panas hari ini.”
Ayla tersenyum getir. “Saya tak peduli dengan berita di luar sana. Karena… itu semua tidak benar.”
“Kau yakin tak terpengaruh?” tanya Shailendra tajam, matanya menyelidik dalam.
Ayla mengusap perutnya yang masih datar. “Saya tak ingin berita itu memengaruhi kehidupan kecil di tubuh saya…”
Shailendra menyipitkan mata. “Kau tak takut… anakmu akan dihakimi karena terlahir dari hubungan yang disebut orang sebagai ‘terlarang’?”
Ayla mengangkat wajahnya, tampak ada rasa ganjil dalam matanya. Ini pertama kalinya ia melihat pria ini. Ia tak tahu siapa sebenarnya yang sedang menginterogasinya. Tapi ia tetap menjawab.
“Anak ini hadir karena kesalahan yang tak disengaja. Tapi… ia tak berdosa.”
“Tapi dunia… dunia tak akan percaya itu,” ujar Shailendra tegas, hampir seperti vonis.
Ayla menatap ke arah bunga-bunga gerbera yang baru saja ia petik. Tangannya mencengkeram tangkai dengan lembut, lalu mengangkat dagunya.
“Saya yakin… Tuhan akan menunjukkan kebenarannya.”
Shailendra diam. Pandangannya tetap terarah pada wanita muda di depannya. Sosok yang selama ini hanya ia dengar dari kabar-kabar buruk, tapi kini berdiri di depannya—tenang, lembut, namun teguh seperti akar bunga yang ia tanam sendiri.
Untuk pertama kalinya, mungkin… Shailendra merasakan sedikit keraguan atas segala penilaian awalnya.
-----
Mobil melaju meninggalkan halaman rumah Ayla, menyusuri jalanan desa yang masih basah oleh embun. Di dalam kabin yang senyap, Shailendra duduk diam, tatapannya kosong menembus jendela.
Namun pikirannya… jauh lebih gaduh dari suasana di luar.
Ia memutar ulang kata-kata Ayla di kepalanya. “Anda belum mau mati jika belum punya cucu…”
Kalimat itu terngiang jelas—terlalu jelas.
Belasan tahun telah berlalu sejak ia mengalami kecelakaan hebat di Selandia. Harapan hidupnya tipis. Waktu itu, ia bersikeras pada dokter: “Kalau bisa… selamatkan saya. Saya belum siap mati. Saya belum punya cucu. Keluarga saya harus punya penerus…”
Dan kini, seorang wanita yang bahkan belum dikenalnya bisa mengucapkan kembali kalimat itu, hampir tanpa cela.
Ia meremas pelan lututnya, gelisah.
“Dia tahu dengan pasti apa yang aku ucapkan waktu itu…” gumamnya setengah sadar.
Lalu ia berpaling ke Armand yang duduk di depannya.
“Cari tahu… siapa saja yang berada di rumah sakit itu saat aku kecelakaan dulu. Di Selandia. Cari tahu apakah Ayla ada di sana.”
“Baik, Tuan,” sahut Armand cepat, mencatat perintah itu di ponselnya.
Mobil terus melaju. Tapi gejolak hati Shailendra tak beranjak.
Ia bersandar, memejamkan matanya. Wajah Ayla kembali muncul di benaknya—sorot mata yang tenang, suara lembut namun yakin, sikapnya yang tidak memelas meski terhimpit pemberitaan buruk.
"Kenapa saat melihat wanita itu… aku seperti melihat sosok ibu Bayu?"
"Pembawaannya… sikapnya… keyakinannya…"
"Kenapa begitu mirip?"
Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya. Dadanya sesak oleh campuran penyesalan dan kebingungan yang belum terucap.
"Apa karena itu Bayu begitu mencintainya? Karena dia… mirip mendiang ibunya?"
Ia membuka mata kembali, menatap kosong ke langit-langit mobil.
"Apa selama ini… aku salah menilainya?"
Diam-diam, hatinya mulai goyah. Sosok wanita yang selama ini hanya ia kenal dari artikel miring dan gosip bisnis, kini punya wajah, suara, dan keteguhan yang tak bisa ia abaikan.
-----
Ellen baru saja memasuki lobby gedung perkantoran milik keluarganya saat sebuah suara memanggilnya.
"Ellen."
Ia tersentak, namun sesaat kemudian diam-diam tersenyum. Suaranya tak asing.
Dan itu cukup untuk membuat dunia Ellen berhenti berputar
...🍁💦🍁...
.
To be continued
berhadap Ayla Dan debaynga Selamat Ellen yg hancur kalau g di penjara seunir hidup bisa meninggal Karna tertembak
lanjut kak....