Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Itu Kita
Denting sendok bertemu cangkir terdengar di dapur saat Nayra mengaduk teh hangatnya yang entah sudah keberapa kali pagi itu.
Alma duduk di kursi makannya, mengayun-ayunkan sendok kecil sambil mengoceh tidak jelas. Tangannya belepotan bubur, wajahnya pun tak kalah kotor.
Nayra tersenyum samar, lalu kembali melirik laptop yang memajang sederet email dari supplier bahan yang terlambat mengirim stok.
Salah satunya bahkan membatalkan kerja sama karena permintaan terlalu banyak dan tenaga produksi tidak memadai.
"Baru juga satu langkah maju, udah disambut jurang," gumam Nayra pelan.
Ia memejamkan mata, mencoba menahan pusing yang makin menjadi. Kepalanya penuh revisi desain, customer yang menanyakan status pesanan, tukang jahit yang mengeluh overload dan satu panggilan dari JFC yang ia tunda angkat sejak pagi.
Di waktu yang hampir sama, Arka sedang duduk di ruang rapat sambil memijat pelipis.
Perusahaannya sedang terguncang karena salah satu proyek besar yang diinvestasikan sejak tahun lalu gagal tayang di waktu yang dijanjikan. Investor mulai gelisah dan tim internal penuh tekanan.
“Pak Arka,” ujar sekretarisnya hati-hati, “tim legal meminta tambahan dokumen untuk mediasi minggu depan.”
“Baik, kirim ke saya malam ini,” jawab Arka singkat.
Tapi pikirannya jauh. Terbang ke rumah, ke wajah Nayra yang tadi pagi ia cium sekilas saat hendak berangkat tanpa sempat sarapan bersama seperti biasanya.
***
Malam itu hujan mengguyur Jakarta.
Arka pulang lebih larut dari biasanya dan mendapati rumah dalam keadaan hening.
Alma sudah tertidur. Tapi lampu ruang kerja Nayra masih menyala.
Ia mendekat pelan, lalu bersandar di pintu.
Nayra sedang duduk sambil menatap layar laptop yang penuh angka data pre-order yang menurun drastis bulan ini. Kepalanya menyender ke meja, sesekali menghela napas.
Arka mengetuk pintu pelan.
“Boleh masuk?”
Nayra menoleh. Ia tersenyum lemah. “Tentu. Ini rumah kamu juga, ingat?”
Arka tertawa kecil, lalu duduk di karpet di samping Nayra.
Ia membuka jaketnya, mengusap wajah lelahnya, lalu menatap sang istri dengan sorot yang sama capeknya.
“Gagal tender?” tebak Nayra.
Arka mengangguk. “Supplier kabur?” balas Arka.
Nayra mengangguk juga.
Mereka saling menatap. Lalu sama-sama menghela napas, bersandar ke dinding seperti dua pejuang yang baru pulang dari medan tempur.
“Kamu tahu?” kata Nayra pelan. “Aku pikir bisnis akan jadi pelarian. Tapi ternyata capek juga ya.”
“Dan aku pikir, setelah jadi CEO sekian tahun, aku udah terbiasa gagal. Tapi ternyata tetep nyesek.”
Hening beberapa saat. Lalu Nayra tertawa pelan. “Gila, kita pasangan lelah.”
Arka ikut tertawa. “Tapi masih lucu. Untung bukan pasangan yang diem-dieman dan makan mie rebus sendiri di dapur.”
“Tapi mie rebus enak sih,” gumam Nayra.
“Kita makan bareng, mau?” tawar Arka.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja makan sambil menyantap mie rebus pakai telur ceplok dan kerupuk.
Alma tertidur di kamar dan dunia luar masih kacau. Tapi malam itu mereka merasa damai.
“Nay,” ujar Arka sambil menyeruput kuah mie, “Kamu boleh gagal hari ini. Aku juga. Tapi yang penting kita nggak gagal pulang ke satu sama lain.”
Nayra menatap suaminya. Hatinya menghangat. “Iya. Rumah kita boleh sempit. Tapi hatinya luas.”
“Dan bumbunya pas.” Mereka tertawa lagi.
Malam itu, meski pusing masih ada dan pekerjaan belum selesai mereka tidur dalam pelukan hangat dengan satu keyakinan, tak apa dunia di luar ambruk. Asal rumah tetap tempat paling tenang untuk rebah dan bertumbuh kembali selain rumah.
***
“CV kamu unik juga ya,” gumam Nayra sambil memandangi selembar kertas yang sudah agak lecek karena tadi sempat tertumpah susu UHT Alma.
Gadis di depannya tersenyum kaku. Rambutnya dicepol rapi, pakai kemeja putih lengan panjang dan rok span warna navy. Penampilannya seperti siap wawancara di kantor BUMN, padahal ruangan Nayra adalah ruang makan yang juga jadi kantor darurat, dengan Alma lagi ngunyah biskuit di high chair sambil main sendok.
“Nama lengkap kamu Riris Ayudina, umur 24, lulusan administrasi bisnis, bisa multitasking, jago Excel dan ngelurusin kabel charger?”
Riris tersipu. “Itu tambahan, Bu. Soalnya saya sering kerja bantuin usaha rumahan dan kabel berantakan itu musuh utama ibu-ibu.”
Nayra ngakak. “Kamu tahu cara mengambil hati bos ibu-ibu banget.”
Alma tiba-tiba melempar sendok ke lantai, lalu menjerit kecil. Riris langsung refleks jongkok, memungut dan menyodorkan sendok pengganti dari tasnya.
“Kok kamu bawa sendok plastik?” Nayra melongo.
“Saya mantan babysitter freelance juga, Bu. Insting otomatis.”
Nayra melongo lebih lebar. “Kamu tuh, kandidat teraneh tapi paling meyakinkan dari sepuluh orang hari ini.”
Akhirnya, hari itu Nayra memutuskan Riris diterima sebagai asisten pribadinya dan sejak hari pertama kerja, kehidupan Nayra berubah.
“Bu Nayra, ini print out pesanan PO batch ketiga, udah saya klasifikasi by warna dan ukuran. Di kanan itu data stok kain, di kiri tabel pengiriman.”
Nayra bengong sambil menggendong Alma. “Lho, kok cepet amat?”
“Saya pakai shortcut Excel. Sama saya pinjem laptop cadangan kantor suami Ibu buat kerja sementara. Ibu sih lupa passwordnya, saya reset via email.”
Nayra makin bengong. “Kamu ini manusia atau AI?”
Riris tertawa kecil. “AI gak bisa nggendong anak, Bu.”
Yang bikin Nayra makin suka, Riris bukan cuma cekatan, tapi bisa komunikasi dengan Alma.
Bahkan Alma yang biasanya rewel kalau ditinggal Nayra sebentar, bahkan mbak Intan aja kadang kewalahan, sekarang sudah bisa anteng di pangkuan Riris sambil denger lagu anak dan dikasih kerupuk bentuk bintang.
Arka sempat bisik ke Nayra malamnya, “Kalau kamu rekrut dia lebih cepat, mungkin bisnis kamu udah IPO sekarang.”
Nayra manyun. “Dari tadi kayaknya kamu nge-fans sama Riris deh.”
“Ya nge-fans sama manajemen waktunya. Gak kayak kamu, upload satu feed Instagram butuh lima jam.”
“Dih! Saya tuh kontennya penuh soul, Mas. Beda dong sama yang robotik!”
Namun, bukan berarti tanpa tantangan.
Suatu sore, Nayra melihat Riris menangis diam-diam di dapur. Tangannya tetap motong label baju, tapi bahunya bergetar.
Nayra mendekat pelan. “Kamu kenapa?”
Riris buru-buru menyeka air matanya. “Maaf, Bu. Gak apa-apa kok. Cuma agak sesak aja hari ini.”
Setelah dibujuk, Riris akhirnya bercerita bahwa ibunya sedang sakit dan butuh perawatan rutin. Ia adalah tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu.
Nayra diam sejenak, lalu menepuk bahunya pelan. “Di rumah ini, kamu bukan robot. Kamu manusia. Kalau kamu capek, bilang. Kalau kamu sedih, peluk Alma.”
Riris tertawa kecil di tengah air matanya. “Tapi Alma suka nyubit pipi saya.”
“Ya anggap itu terapi,” canda Nayra.
Sejak saat itu, hubungan Nayra dan Riris bukan hanya soal kerja, tapi mulai tumbuh jadi ikatan antara dua perempuan yang sama-sama sedang bertahan dan bertumbuh.
***
Malamnya, saat Nayra bercerita pada Arka, pria itu tersenyum sambil mengusap rambut istrinya.
“Kamu tahu nggak? Kamu tuh bukan cuma ngebangun bisnis. Tapi juga ruang untuk orang lain bertumbuh.”
Nayra nyengir. “Iya dong. CEO tangguh gak cuma ngitung omset, tapi juga ngerti cara peluk pegawai.”
“Tapi jangan peluk pegawai cowok ya.”
“Yang cowok kamu peluk aja. Biar adil.”
Mereka berdua tertawa kecil di tengah dapur yang sudah sepi.