SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SELIR TANPA SENTUHAN
Di ruang utama istana, cahaya pagi menyelinap lemah melalui celah-celah jendela tinggi yang diselimuti tirai beludru hitam. Dingin dan sunyi, ruangan itu dipenuhi aroma dupa khas kerajaan yang membakar perlahan di sudut ruangan, menyebarkan wangi rempah dan kayu tua.
Kaisar Theron berdiri di hadapan cermin besar berbingkai emas, mengenakan pakaian kebesaran berwarna hitam legam, warna duka yang hanya dipakai untuk mengenang mereka yang telah tiada. Bahunya tegap, wajahnya tegas, namun bayangan kesedihan yang disembunyikan dengan baik tetap melintas di sorot matanya yang tajam.
Ketukan pelan terdengar di pintu besar itu. Tak lama, daun pintu terbuka setengah, menampilkan sosok seorang wanita muda, berdiri anggun namun tampak ragu.
"Yang Mulia... apa saya boleh masuk?" tanyanya, suaranya lembut namun jelas.
Kaisar hanya menoleh sedikit, sekilas pandangnya sudah cukup untuk memberi izin. Wanita itu masuk, langkahnya ringan. Gaunnya berwarna ungu gelap, rambut pendeknya berwarna merah muda jatuh rapi membingkai wajahnya yang tenang namun menyimpan banyak keinginan. Dialah Selena Noctelle, selir muda dan terakhir yang diterima secara resmi ke dalam istana.
"Aku dengar... Anda akan pergi ke pemakaman Varlen," katanya pelan, penuh hati-hati. "Apa saya boleh ikut?"
Sejenak tak ada jawaban. Hanya suara lembut gesekan kain saat sang Kaisar menyesuaikan kerah jubah hitamnya. Sorot mata Selena tetap tertuju padanya, berharap, atau mungkin menantang takdir yang selalu menyingkirkannya dari ruang utama kekuasaan.
"Tidak," jawab Kaisar akhirnya. Satu kata, tegas, dingin, seakan menyayat harapan.
Selena mengerutkan kening, namun tetap menjaga nada bicaranya agar tak terdengar menuntut. "Mengapa? Bukankah... aku juga bagian dari keluarga ini?"
Kaisar memalingkan wajahnya dari cermin, kini benar-benar menatapnya. Sorot matanya tajam, mengiris seperti belati berlapis perak.
"Benar," katanya. "Tapi kau hanya selir, Selena."
Kata-kata itu jatuh seperti palu, menghantam ruang di antara mereka. Selena diam, bibirnya terbuka sedikit namun tak ada kata yang keluar. Ia tahu ia bukan permaisuri, bukan ibu dari sang Putra Mahkota, bukan darah bangsawan tinggi. Tapi di balik kata 'selir' itu, ia menyimpan ambisi, luka, dan harga diri yang lama dikubur.
Matanya berkedip sekali, menahan gejolak. "Kalau begitu... aku mohon, sampaikan salamku untuknya," katanya akhirnya, lalu perlahan mundur, meninggalkan ruangan dengan langkah anggun namun berat.
Begitu pintu tertutup, Kaisar kembali menatap dirinya di cermin.
Di balik dinding-dinding megah Istana Agung, ada nama yang jarang disebut dalam bisikan para bangsawan, namun tak pernah luput dari lirikan mata para pelayan: Selena Noctelle.
Ia adalah anak dari Lord Maevan Noctelle, penasihat tertua sekaligus salah satu tangan kanan Kaisar dalam urusan strategi dan diplomasi kerajaan. Bertahun-tahun Lord Maevan mengabdi, tanpa meminta balas jasa selain kehormatan. Namun saat usianya mulai menua, ia mengajukan satu permintaan pribadi: agar anak perempuannya, Selena, diangkat menjadi selir Kaisar.
Permintaan itu menggemparkan ruang takhta. Kaisar menolak pada awalnya, dengan dingin dan tegas. Ia telah memiliki satu selir, ibu dari Pangeran Petrus, dan tak berniat menambah. Bagi Kaisar, permaisuri telah cukup, dan cinta bukan sesuatu yang bisa diminta atas dasar pengabdian.
Namun yang tak diduga adalah permaisuri sendiri yang mengangguk pelan dan berkata, “Biarkan saja.”
Tanpa ekspresi, tanpa keberatan. Seolah itu hanya satu langkah dalam catur istana yang tak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Dan begitulah, Selena resmi menjadi Selir Kedua Kerajaan.
Ia ditempatkan di Paviliun Selir, sayap tenang yang terpisah dari hiruk-pikuk politik istana. Namun sejak hari pertama ia menapakkan kaki di sana, Selena tahu: gelar selir hanyalah nama. Hatinya tak pernah dijemput. Kaisar tak pernah tidur di sisinya. Bahkan, ia tak diperkenankan berbicara terlalu lama dengan beliau.
Sebagai gantinya, seorang lelaki muda, sopan dan bijak, ditugaskan oleh Kaisar untuk mendampinginya... secara terang-terangan. Bukan sebagai pelayan, bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai penjaga sekaligus teman bicara. Tak ada yang pernah menyebutkan alasannya, namun semua tahu: Kaisar tak ingin tersentuh oleh apa pun yang datang dari politik yang dipaksakan.
Sebelum namanya tercatat dalam daftar resmi wanita istana, Selena Noctelle pernah dipanggil langsung oleh Kaisar di salah satu ruang rahasia tempat perundingan penting biasa berlangsung.
Kaisar duduk membelakangi jendela besar yang memandang taman kerajaan. Sinar sore menyorot bahunya, menjadikannya siluet yang berat dan tak tergoyahkan. Di hadapannya berdiri Selena, muda, anggun, dan percaya diri, berbalut kebanggaan atas darah bangsawan dan kecantikan yang kerap dipuji sebagai. "Sangat cukup untuk menggoda siapa pun kecuali Kuasar sendiri."
"Jika kau menjadi selirku," ujar Kaisar tanpa basa-basi, suaranya dingin dan dalam, "kau hanya akan menjadi selir dalam nama. Tak akan ada keintiman, tak akan ada malam, tak akan ada anak darimu. Itu keputusan akhirku."
Selena, yang sudah memikirkan segala kemungkinan, hanya tersenyum kecil. Ia menunduk pelan, mengangguk, dan menjawab, "Itu lebih dari cukup, Baginda."
Bagi Selena, kehadirannya di istana bukan demi cinta, melainkan kenyamanan. Ia menyukai kemewahan, pakaian-pakaian mahal, wewangian langka dari selatan, dan perhiasan yang berkilau di bawah cahaya lampu istana. Istana memberinya semua itu, dan sebagai putri dari penasihat kerajaan, dia tahu: kadang, nama lebih penting dari makna.
Kaisar tahu pula siapa Selena sebenarnya.
Ia tahu kabar yang beredar, tentang kehidupan Selena di luar istana yang tak sepenuhnya tertutup kabut kehormatan. Lelaki datang dan pergi. Dan Kaisar tidak buta. Namun ia juga tidak peduli.
Sebab bagi Kaisar, perjanjian adalah perjanjian. Ia bukan pria yang dibimbing oleh nafsu, melainkan oleh kepentingan. Dan selama Selena tidak mengganggu keseimbangan istana, ia berhak atas tempatnya.
Tapi seiring waktu, tingkah laku Selena semakin sukar dikendalikan. Ia tahu dirinya cantik, walau tidak menyaingi Permaisuri dalam keanggunan dan dalam ketegasan yang alami, tapi cukup cantik untuk menjerat perhatian, cukup anggun untuk memanipulasi. Kaisar memerhatikannya dari jauh, dan hanya bisa menghela napas panjang.
“Keintiman... memang bagian dari hidup seorang Kaisar,” ucap Kaisar pada dirinya sendiri suatu malam, menatap bulan di luar jendela. “Namun... tangan ini telah terlalu lama hanya menggenggam milik satu perempuan. Aku tak sanggup memberi hati palsu hanya demi menjawab rasa rindu seorang anak penasihat.”
Ia menolak menyentuh Selena bukan karena benci. Tapi karena satu hal: kesetiaan. Bukan hanya pada permaisuri, tapi pada pandangannya sendiri tentang cinta yang seharusnya tak dibeli.
Dan karena itulah, Selena, meski berselimutkan sutra dan tinggal di istana termewah... tidak pernah benar-benar tidur di ranjang seorang Kaisar.
Dan begitulah, selena masuk ke istana bukan sebagai istri yang dicintai, melainkan simbol politik dan balas jasa. Ia tinggal di istana selir, mengelilingi dirinya dengan pelayan pribadi, perhiasan, dan kisah kosong yang ia isi sendiri. Dan jika kadang, ia ditemani oleh seorang pria muda pilihan Kaisar, itu bukan rahasia.
Itu adalah bagian dari kesepakatan yang disetujui sejak awal.