Bagaimana jadinya jika dua keberadaan paling agung dan paling tinggi di seluruh semesta yang ada, terlahir dan muncul kembali setelah jutaan tahun kematian keduanya di masa lalu.
Dan istimewanya, keduanya muncul dan terlahir justru bukan dengan tubuh fisik yang mereka miliki dahulu, melainkan tumbuh dan hidup di dalam tubuh bocah 16 tahun yang secara kebetulan memiliki nama yang merupakan gabungan dari nama kedua sosok itu di masa lalu.
Penasaran?
Tunggu apalagi, langsung masuk dan baca ceritanya di sini!👇
Novel: Pewaris Tahta Semesta
Author: Fatiih Romanaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatiih Romana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31
Ling Tian hanya sebentar menemani Ling Hao dalam meminum arak pemberiannya itu, kemudian dia pun menghentikannya. Bukan karena tidak mau, melainkan karena dia takut sang ibu tiba tiba muncul di sana.
Sebab jika itu terjadi, bukan hanya Ling Hao saja yang akan kena omel ibunya itu, dirinya pun pasti akan kecipratan juga. Mengingat dia saat ini masih 16 tahun. Yang mana di usia tersebut masih belum bisa meminum minuman seperti itu.
Mengingat dia hanya boleh melakukannya saat nanti sudah melakukan upacara kedewasaan klan. Yaitu saat usianya 17 tahun.
Kembali ke masa kini.
Kemudian, agar tak mengganggu aktivitas Ling Hao itu, Ling Tian pun memilih untuk sedikit menjauh dari sana dan beristirahat dengan menyandarkan tubuhnya pada pohon besar yang ada di belakang ayahnya.
Namun, saking nyamannya Ling Tian dalam posisinya itu, akhirnya ia pun tertidur dalam posisi tersebut.
Di sisi lain, Ling Hao yang terlihat sudah menyelesaikan aktivitasnya sempat ingin membuka pembicaraan dengan Ling Tian.
"Aku sebenarnya ingin bicara padamu, Bocah..." gumamnya sambil memutar-mutar guci arak yang sudah tinggal setengah. Namun begitu dia menoleh, ia mendapati anaknya telah terlelap dengan kepala bersandar di batang pohon.
Ling Hao pun tertawa kecil. "Heh, dasar anak ini, tidur sembarangan saja."
Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk berbicara dan kembali menikmati sisa arak itu dengan perlahan, ditemani sinar mentari sore yang memantul lembut di permukaan guci.
Malam harinya...
Ling Tian yang masih dalam keadaan tertidur bersandar pada pohon besar itu, mendadak terbangun saat telinganya menangkap suara yang sangat dikenalnya. Dimana suara itu merupakan suara tinggi yang penuh amarah.
"Ling Hao! Kau mabuk lagi?!"
Telinga Ling Tian langsung siaga. Ia buru-buru menyadarkan diri sepenuhnya, lalu mengintip ke arah sumber suara. Seperti dugaannya, itu adalah sosok yang paling ia takuti saat ini. Sang ibu, Ling Hua.
Sepertinya setelah menyelesaikan pelatihnya, Ling Hua langsung keluar dan mencari keberadaan Ling Hao dan Ling Tian.
Sehingga saat dia menemukan Ling Hao dalam keadaan seperti yang di lihatnya saat ini, membuat amarahnya langsung meledak.
Alhasil saat ini Ling Hua tampak berdiri dengan kedua tangan di pinggang, memelototi Ling Hao yang tengah terkapar sambil memeluk guci arak yang kini sudah kosong melompong.
“Kau bahkan memeluk guci ini seperti istrimu!” bentaknya lagi sambil menarik-narik kerah pakaian Ling Hao dengan sedikit kasar.
Ling Tian yang menyaksikan semua itu dari balik pohon langsung merasa jantungnya naik turun.
“Gawat, kalau ibu tahu aku yang kasih arak itu pada Ayah, tamat aku...”
Tak ingin namanya ikut terseret dalam kemarahan Ling Hua, Ling Tian pun diam-diam kabur menjauhi tempat itu. Sebelum keberadaannya benar-benar diketahui oleh ibunya.
Keesokan paginya...
Ling Tian, yang semalam tidur di pohon besar yang berada di hutan tak jauh dari kota itu, kini terlihat melangkah santai memasuki kediamannya. Ia yakin badai semalam sudah reda, apalagi ibunya mungkin sudah melupakan kejadian itu.
Namun sayang apa yang di perkirakannya itu salah total, sebab saat baru saja ia menginjakkan kaki di dalam rumah, langkahnya langsung terhenti.
Tepat di hadapannya, berdiri sosok Ling Hua dengan kedua tangan bertengger di pinggang dan wajah datar menatap lurus ke arahnya.
Raut wajah itu adalah mimpi buruk bagi Ling Tian.
“Ehehe... I-Ibu... selamat pagi...,” sapa Ling Tian dengan senyum kikuk.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Ling Hua melangkah maju dan langsung menjewer telinga kiri Ling Tian.
“Aw-aw-aw! Ibu! Sakit... pelan-pelan! Kenapa sih?!” keluhnya sambil berusaha menahan rasa panas yang menjalar dari telinganya.
Namun Ling Hua tetap diam, menyeret anaknya masuk ke dalam rumah menuju ruang makan. Tak ada ampun.
Sesampainya di ruang makan, Ling Tian melihat Ling Hao sudah duduk dengan wajah yang tampak lelah. Di depannya, meja besar penuh dengan berbagai hidangan.
Saat mata Ling Hao melihat anaknya diseret masuk sambil memegangi telinga, wajah lesunya mendadak bersinar.
“Pft—Hahaha! Kau juga kena ya, bocah nakal !” bisiknya geli.
Namun baru saja ia hendak melanjutkan ejekannya, sorot mata tajam dari Ling Hua menghentikannya seketika.
Deg.
Wajah Ling Hao langsung kaku, senyum lebarnya lenyap seketika. Ia bahkan duduk lebih tegap seperti prajurit di hadapan jenderal.
Dalam hati ia menjerit, “Tolong jangan hukum aku mijit lagi. Tangan dan pinggangku masih terasa remuk karena semalam”
Dia masih trauma dengan hukuman yang di terimanya semalam dari Ling Hua. Di mana hukuman tersebut mengharuskannya untuk memijat tubuh istrinya itu selama satu malam penuh tanpa istirahat. Dan parahnya lagi, dalam melakukannya Ling Hua tidak membiarkannya menggunakan kekuatannya.
Beberapa waktu kemudian, setelah acara makan pagi yang berlangsung dalam keheningan selesai, Ling Hua duduk tegak sambil menatap ke arah Ling Tian dengan pandangan menyelidik.
“Nah, sekarang jelaskan padaku. Ke mana kamu semalam? Dan dari mana kamu mendapatkan arak itu?” tanyanya tegas.
Ling Tian yang memang sudah menyiapkan jawaban pun menjawab dengan mantap.
“Aku cuma jalan-jalan ke luar klan, Ibu. Cari udara segar. Dan soal arak itu, aku mendapatkannya dari kenalanku, seseorang yang kebetulan kutemui saat jalan-jalan beberapa waktu sebelumnya. Dan karena aku belum cukup umur untuk meminumnya, aku kasih ke Ayah.”
Ling Hua menatap lekat-lekat anaknya, seolah menilai apakah ucapannya jujur atau tidak. Setelah beberapa detik, ekspresinya melunak.
“Hm... baiklah,” ujarnya singkat, kemudian bangkit dari duduknya.
“Aku mau istirahat dulu di kamar. Badanku masih pegal setelah duduk bersila berhari-hari dalam pelatihan sebelumnya,” lanjutnya, sebelum menoleh sekilas ke arah Ling Hao.
Tanpa suara, ia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum manis.
“Ugh...” Ling Hao hanya bisa tersenyum kaku, menyeka keringat dingin di dahinya. Ia tahu benar kode itu: "Jangan lupa dengan hukuman mu semalam."
Sementara itu, Ling Tian yang tak tahu-menahu soal 'kode rahasia' itu pun langsung menatap ayahnya dengan curiga.
“Ayah, barusan Ibu kedip dan senyum gitu ke Ayah. Itu maksudnya apa?”
Ling Hao langsung mengangkat tangannya, menolak untuk menjawab.
“Jangan penasaran dengan hal yang tak perlu kamu tahu,” jawabnya sambil beranjak dari kursinya. “Sebaliknya, ikut aku ke halaman. Ada hal yang sudah sejak kemarin ingin kubicarakan denganmu.”
“Eh? Tunggu dulu, maksud Ayah apa..???”
Namun Ling Hao sudah melangkah duluan ke arah luar rumah. Ling Tian pun akhirnya ikut bangkit dengan wajah masih penuh tanda tanya, mengikuti ayahnya keluar.
Namun tak lama kemudian, sembari berjalan, wajah Ling Tian tiba-tiba memerah.
“Jangan-jangan, maksud kedipan dan senyum Ibu ke Ayah tadi itu...”
Pikirannya mulai melayang ke arah yang entah bagaimana jadi aneh sendiri.
“Gawat, aku malah mikir aneh-aneh...”