"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Tiga Puluh
Pagi datang terlalu cepat.
Sinar matahari yang menerobos dari celah jendela membuat matanya terasa perih.
Raya bangkit, duduk di tepi kasur sambil meraih ponselnya. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan — sepi.
Satu-satunya notifikasi yang masuk hanyalah dari Keenan:
“Jangan lupa sarapan ya, Ray.”
Raya tersenyum kecil membaca itu, lalu membalas singkat:
"Kamu juga.”
Setelah mandi dan mengganti pakaian kerja yang tersisa di koper, Raya berdiri di depan cermin kecil yang menempel di dinding.
Wajahnya tampak lelah, tapi matanya... entah kenapa, terlihat lebih tenang.
Mungkin karena malam ini, tidak ada siapa pun yang menunggunya pulang dengan tatapan tajam.
Tidak ada lagi perdebatan. Tidak ada lagi pura-pura.
Ia mengambil tas, menarik napas panjang, lalu melangkah keluar kamar kos.
Langkahnya ringan — meski dadanya masih sesak.
📖
Sementara itu, di tempat lain — tepat di apartemen yang baru ia tinggalkan — suasana benar-benar berbeda.
Arka membuka mata ketika alarmnya berbunyi pukul enam pagi.
Kebiasaannya selalu sama: mandi, memakai setelan jas, lalu menyeruput kopi hitam sambil membuka laporan pagi.
Namun pagi ini, sesuatu terasa janggal.
Ruang tamu kosong. Tidak ada aroma parfum lembut milik Raya yang biasanya menyebar dari dapur.
Tidak ada suara langkah kecilnya yang sibuk menyiapkan sarapan.
Yang ada hanya Amara, duduk di sofa dengan rambut berantakan, memainkan ponselnya tanpa ekspresi.
“Oh iya,” ucap Amara tiba-tiba tanpa menoleh, “kalau kamu cari Raya, dia nggak di sini.”
Arka menatapnya dari meja makan. “Apa maksudmu?”
“Dia pergi semalam,” jawab Amara santai. “Bawa koper kecilnya. Aku nggak tanya mau ke mana. Lagipula, sepertinya dia nggak mau ditanya siapa-siapa.”
Gelas di tangan Arka nyaris retak karena genggamannya terlalu kuat.
Matanya menatap kosong ke arah dinding, tapi dalam pikirannya — hanya ada satu suara yang berputar pelan.
"Kalau suatu hari dia kembali, tolong pastikan aku sudah tidak ada di antara kalian."
Kalimat yang pernah diucapkan Raya.
Dan kini, janji itu benar-benar ditepati.
📖
Arka mengemudi dengan kecepatan tinggi, seolah setiap kilometer yang ia tempuh bisa mengikis amarah di dadanya. Tapi semakin jauh roda berputar, semakin keras pula rahangnya mengeras.
Ujung jarinya menekan setir hingga buku-bukunya memutih — napasnya berat, matanya tajam penuh bara yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan asalnya.
Ia tidak sekadar marah. Ia kehilangan kendali.
Begitu memasuki halaman depan Xander Corp, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang membuat seluruh isi dadanya bergejolak.
Raya.
Dengan kemeja putih sederhana, rambut terikat asal, dan langkah cepat menuju pintu masuk gedung.
Seolah tak terjadi apa-apa semalam.
Seolah meninggalkan rumah di tengah malam bukan sesuatu yang salah.
Arka menginjak rem mendadak. Ban berdecit keras, membuat beberapa karyawan menoleh kaget.
Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil dan berjalan cepat ke arah Raya. Setiap langkahnya berat dan penuh emosi yang nyaris meledak.
“Raya!” suaranya dalam, menahan amarah yang hanya dibatasi tipis oleh kesabaran.
Raya menoleh, kaget, tapi belum sempat ia bicara, pergelangan tangannya sudah diraih kuat-kuat. Sentuhan itu terlalu keras, seperti genggaman seseorang yang takut kehilangan tapi tidak tahu bagaimana cara mempertahankannya dengan benar.
“Ikut aku!” perintah Arka, suaranya sarkas, hampir seperti ancaman.
“Arka, lepas!” Raya berusaha menarik tangannya, tapi genggaman itu tak bergeming.
Beberapa karyawan mulai berhenti, berpura-pura sibuk tapi mata mereka tertuju pada adegan itu.
“Arka, semua orang melihat!” bisik Raya, berusaha tetap tenang. Tapi pria itu tidak peduli.
Ia membuka pintu mobil dengan kasar, mendorong Raya pelan tapi tegas ke dalam.
Raya menatapnya tak percaya, tapi sebelum sempat berkata lagi, pintu sudah ditutup.
Arka bergegas memutar ke sisi kemudi, masuk, dan segera menyalakan mesin.
Mobil melaju cepat, terlalu cepat, hingga Raya harus menahan napas.
Sementara di sisi lain, Arka tidak berkata apa-apa. Hanya suara mesin dan hembusan napas berat yang mengisi ruang.
Keheningan itu menekan — menyesakkan.
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Arka membuka suara.
Suara yang rendah, namun dingin seperti bilah es.
“Siapa yang memberimu izin untuk pergi dari rumah?”
Nada itu terlalu tajam, tapi juga penuh luka.
Raya menatap ke luar jendela, menahan air mata yang hampir jatuh. Bibirnya membentuk senyum kecil, getir, dan penuh kepahitan.
“Apa aku butuh izin untuk itu?” balasnya lirih, tapi cukup untuk membuat Arka menoleh.
Tatapan mereka beradu — tegang, kacau, dan saling menyakitkan.
“Selama kamu masih jadi istriku, iya. Kamu butuh izin dariku!” tegas Arka, nadanya meninggi. Jemarinya mencengkeram setir lebih kuat lagi.
Raya tertawa kecil, tanpa kebahagiaan sedikit pun.
“Istri? Lucu kamu, Arka. Sekarang kamu baru ingat kalau aku istrimu? Setelah kamu sendiri yang bilang aku cuma pelengkap sampai dia kembali?”
Kata-kata itu menghantam keras, membuat Arka menelan ludah dengan susah payah.
Ia tidak membalas. Hanya diam. Matanya menatap jalan di depan, tapi pikirannya berantakan.
“Kau tidak punya hak menahanku, Arka.” lanjut Raya pelan, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku pergi bukan karena aku ingin kabur. Aku hanya butuh... bernapas. Butuh tahu apa yang tersisa dari diriku setelah semua ini.”
Mobil berhenti mendadak di tepi jalan. Arka memutar kemudi dengan kasar hingga mobil berhenti sempurna.
Ia menatap Raya lama — terlalu lama.
Mata itu bukan sekadar marah, tapi juga takut. Takut kehilangan sesuatu yang ia sendiri tidak berani akui penting.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kamu rasakan?” suara Arka melemah, tapi tetap terdengar dalam. “Kau pikir aku tidak melihat bagaimana kamu berjuang menyesuaikan diri, berusaha tetap tinggal meskipun aku... menghancurkanmu berkali-kali?”
Raya menunduk, air matanya menetes tanpa suara.
“Kalau kau tahu,” bisiknya, “kenapa masih menyakitiku begini?”
Arka tidak menjawab.
Ia menunduk, menutup mata sejenak, berusaha menelan semua perasaan yang tak pernah siap ia hadapi.
“Aku marah,” katanya akhirnya, pelan. “Aku marah karena aku peduli. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan itu tanpa menyakitimu.”
📖 To Be Continued..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
......“Kalau kamu penasaran gimana nasib ‘istri rahasia’ kita ini, jangan diem aja! Dukung, komentarin, like, gift, vote dan kasih love-nya, biar kisahnya terus berlanjut tanpa drama ‘penulis hilang mendadak karena kurang semangat’ 😆💪”......
klo km memilih raya.... maka tak ada mantan yg km beri tempat istimewa...
mna ada rmh tangga... kok adanya mantan seatap.... g masuk akal...
dah pergi jauh tenang kan dirimu dari pada di situ setiap kali bisa bertemu Raka ,,Raka you dam stupid
tpi alangkah baiknya km keluar dri rmh neraka itu slmanya... prgilah yg jauh... demi kwarasan mentalmu... km brhak untuk bahagia...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........