Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Love Me Tender, Love Me Sweet
Rendra
Tak perlu diragukan lagi seberapa besar ambisi para pria di klan Darmastawa untuk menguasai harta peninggalan Papa. Ambisi penuh emosional karena tak diimbangi dengan kemampuan berpikir dan bertindak secara logis.
Kunjungan safarinya ke rumah istri-istri Papa usai menandatangani dokumen paling tak diinginkan, ternyata tak terlalu berpengaruh. Terbukti muncul surat pemanggilan dirinya dari kepolisian atas tuduhan tindak pidana penggelapan sekaligus gugatan perdata karena telah memalsukan surat warisan.
Membuatnya harus bolak-balik Jogja-Balikpapan untuk memberi keterangan dalam pemberkasan BAP di kepolisian. Namun ia bisa tenang, karena Om Saragih beserta team kuasa hukum dari perusahaan Papa akan memback up nya semaksimal mungkin.
Belum berbagai masukan dan saran dari Bang Buyung yang membuatnya tak perlu khawatir dengan proses hukum yang sedang berjalan. Karena memang ia tak bersalah. Kecuali team lawan mampu merekayasa bukti menjadi sedemikian rupa, atau ada campur tangan orang berpengaruh seperti saat ia berkasus dengan Om SJW. Diluar itu, ia pasti menang.
Itulah mengapa ia sama sekali tak melibatkan Anggi dalam masalah ini. Selain karena tak ada korelasinya, Anggi sudah terlalu kerepotan dengan kehamilan yang lumayan banyak kendala. Terdiagnosis HEG, mengalami morning sickness yang hebat, belum harus bekerja dan kuliah sekaligus dalam satu waktu. Sudah cukup beban yang dilakoni Anggi.
Namun keputusannya justru disalah pahami oleh Anggi. Yang entah kenapa akhir-akhir ini sering bersikap berlebihan dan menangis tanpa sebab yang jelas. Membuat kepalanya hampir meledak karena harus menebak-nebak dan merunut sebab musabab Anggi bersikap demikian.
Puncaknya tadi malam, keadaan yang awalnya baik-baik saja dan menyenangkan dalam waktu singkat berubah menjadi sangat menjengkelkan. Belum tuduhan emosional Anggi tentang chat random cewek antah berantah. For sure? Seluruh dunia juga tahu bagaimana ia memuja istrinya itu. Gadis paling tak bisa ditebak, paling susah didapat, paling judes, galak, dan keras kepala.
Oh My, bagaimana bisa ia masih begitu jatuh cinta dengan satu-satunya gadis yang telah berhasil membuatnya jengkel puluhan kali dengan kekeras kepalaannya itu?
"Aarrggh!" siang jelang sore ia justru semakin kesal demi membaca progress report di lapangan yang tak sesuai adendum. Belum pembayaran termin kedua yang molor dari jadwal yang telah disepakati, dengan tanpa pemberitahuan.
"Put! Hubungi bagian keuangannya, kita tagih!" gerutunya sebal. Beberapa kali ManjoMaju menjadi rekanan kontraktor plat merah sering berakhir dengan telat bayar. Bahkan pernah terlambat hampir satu tahun. Damned!
"Siap, Bang," Puput menjawab tangkas.
"Kamu proaktif, jangan mau di lempar-lempar. Langsung hubungi Bu Irma stafnya Pak Gatot. Punya nomornya?"
"Ada, Bang, ada."
"Forward ke saya respon mereka."
"Siap."
Begitu Puput mulai menelepon, ia kembali menelusuri progress report proyek yang lain. Namun rupanya ada orang yang memperhatikan sikapnya.
"Kesambet apa lu dari pagi marah-marah melulu?" Rakai tertawa kecil.
"Lu tahu nggak progress di lapangan nggak sesuai adendum?" ia tak peduli, tetap menggerutu. "Mana telat bayar lagi."
"Kan lu sendiri yang acc," Rakai justru makin tertawa. "Lu bilang kalau mau tetep eksis mesti jaga hubungan baik sama plat merah."
Ia tak menjawab, karena memang perkataan Rakai benar adanya. Ia sendiri yang mengambil keputusan, namun kini ia sendiri yang uring-uringan.
"Istri masih ngidam Bang?" diluar dugaan, Danu yang juga sedang duduk di ruang meeting ikut bersuara. "Minta makanan aneh-aneh di tengah malam? Atau pingin sesuatu yang nggak masuk akal?"
Ia tertawa sumbang, "Apaan sih."
"Loh, si Anggi kan udah lama hamilnya, masih ngidam juga?" Rakai yang belum punya pengalaman menghadapi orang hamil jadi tertarik. "Bukannya ngidam pas awal-awal doang?"
"Secara teori," sahut Danu semangat. "Tapi pada prakteknya....beuh.....," meski seumuran dengannya, namun Danu telah menikah dan punya anak lebih dulu.
"Istri lu ngidam apa?" Rakai semakin tertarik.
"Wuah, banyak," Danu terkekeh sebelum kembali berkata. "Pernah dini hari istri tiba-tiba bangun, kepingin Sego Koyor Bu Parman."
"Lu beliin?" tanya Rakai antusias.
"Iyalah, daripada anak saya ngiler," Danu tertawa. "Padahal waktu itu saya baru pulang ke rumah jam 12 malam, belum sempat tidur udah ditodong, akhirnya pergi lagi, naik motor dari Gamping ke Gondomanan."
Rakai geleng-geleng kepala. "Nggak kebayang gua, Nu."
"Kebanyakan makanan sih. Seringnya jelang dini hari. Untung makanannya bukan yang susah dicari," lanjut Danu. "Paling jaraknya yang jauh, karena waktu itu kita masih tinggal di rumah mertua di Gamping. Mesti bolak balik."
"Anggi ngidam apa Ren?" Rakai mendadak ingin tahu.
Ia yang masih kesal karena bayangan cashflow di kepala mendadak buyar akibat keterlambatan pembayaran hanya berdehem malas.
"Perasaan lu nggak pernah ngeluh disuruh beli makanan aneh-aneh sama Anggi?" pertanyaan Rakai terdengar semakin menyebalkan.
"Kalau dilihat dari wajah kusut Bang Rendra sih kayaknya bukan ngidam soal makanan, Bang," justru Danu yang menjawab, lengkap dengan nada sok tahu.
"Trus ngidam apa dong?" Rakai semakin penasaran.
"Dulu waktu hamil, istri saya yang sifatnya kalem mendadak jadi meledak-ledak. Sering tiba-tiba marah nggak jelas, cemburu, nangis-nangis, padahal nggak ada apa-apa," Danu kembali yang menjawab, seolah menjadi pakar dalam bidang perngidaman istri yang sedang hamil.
Dan kalimat terakhir Danu berhasil membuatnya mendongak. "Trus lu ngapain pas istri lu meledak-ledak begitu?"
Danu tersenyum penuh arti, "Berarti wajah kusut hari ini karena habis dimanyunin istri ya Bang?"
Membuatnya mendecak kesal. Namun justru membuat Rakai mengernyit heran, "Anggi orangnya sopan lembut begitu bisa manyunin elu, Ren?"
Ia hanya mencibir kearah Rakai.
"Ya saya woles aja Bang," ujar Danu dengan nada bersemangat. "Emang bawaan hamil begitu. Banyak perubahan hormon yang bisa memicu perubahan perilaku."
"Ntar juga baik sendiri. Intinya jangan sampai kita kepancing."
"Ada tuh temen saya, karena nggak bisa ngatur emosi, kepancing sama sikap bini yang lagi hamil, ujung-ujungnya begitu anak lahir malah daftarin gugatan ke pengadilan, alasannya sudah tidak ada kecocokan lagi."
"Wih, sampai segitunya," Rakai memasang wajah tak percaya. "Berat juga ya berkeluarga."
"Jangan dipikir yang beratnya, Bang. Yang nikmat dan enaknya lebih banyak," seloroh Danu sambil tersenyum penuh arti.
"Ah, nikmat dan enak nggak harus ambil resiko sakit hati jadi bucin," sergah Rakai sambil tertawa sumbang. "Ibarat kita pingin makan sate, nggak usah repot-repot ngurus kambing, ngasih makan, ngebesarin, cuman buat dibikin jadi sate."
"Cukup beli sate yang udah matang, beres."
"Wah, gila sih ini!" Danu geleng-geleng kepala namun sambil tertawa. "Masa disamain makan sate. Kambing pula."
"Ibarat, Nu.... ibarat," Rakai mencibir. "Nggak usah ribet juga bisa tetep makan sate yang enak. Ya nggak, Ren?" kali ini sambil mengerling kearahnya.
Namun ia tak peduli, justru berkemas usai melihat jam di pergelangan tangan kanannya. Kalimat Danu tentang perubahan hormon pada ibu hamil telah berhasil membuka pikirannya. Ia harus bergegas.
"Put, jangan lupa forward ke gua jawaban dari Bu Irma!" teriaknya pada Puput yang mejanya terletak tepat di depan pintu ruang meeting.
"Siap, Bang, ini saya masih disuruh nunggu. Nanti saya forward."
"Sip!" Ia buru-buru beranjak, lalu tersenyum kearah Rakai yang sedang memperhatikannya dengan kesal, "Asal lu tahu Bang, beli sate di pinggir jalan itu resikonya tinggi. Bisa sakit perut, kena diare, typus. Belum lagi kita nggak tahu dagingnya sehat atau enggak," ujarnya sambil bergidik ngeri.
"Bacot lu!" Rakai menggeram kesal. "Lu juga dulu konsumen tetap sate pinggir jalan!"
"Idih, sori ya!" ia mencibir. "Gua dulu beli satenya yang eksklusif, di restoran," ujarnya tergelak sambil keluar dari ruang meeting. "Gua duluan, ada kuliah," lanjutnya setengah berteriak.
Sebelum berbelok ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil, ia sempat mendengar Danu berkata serius kearah Rakai, "Sate kambing yang enak bukan di restoran Bang. Ada tuh langganan saya, udah dari tahun 80an."
Yang langsung membuatnya semakin terbahak.
Baiklah, jadi begitu cara mainnya. Perubahan hormon pada ibu hamil bisa memicu perubahan emosi dan suasana hati menjadi cepat berubah naik turun. Pantas saja terkadang Anggi tiba-tiba menjadi sangat manis, sedetik kemudian sudah menangis tersedu-sedu. Atau sedang ngobrol santai, tiba-tiba berubah kesal dan marah hanya karena ia salah bicara. Hmm, kenapa ia tak menyadarinya sejak awal?
Dari ManjoMaju ia lebih dulu pergi ke toko florist untuk membeli seikat mawar merah yang cantik. Kemudian mampir ke toko bakery milik Mama Rafa untuk membeli sekotak hampers berisi kudapan kesukaan Anggi. Ia bahkan tersenyum-senyum sendiri demi membayangkan reaksi Anggi saat menerima kejutan darinya. Wait for me sweetie.
Namun sebelumnya ia harus ke kampus terlebih dulu, untuk mengikuti satu mata kuliah. Setelah itu barulah meluncur ke Fisipol guna menjemput Anggi.
Saat ia baru hendak memasuki gedung bertingkat warna abu yang sangat familiar itu, sebuah suara tergesa menyapanya, "Bang, kok disini sih? Bukannya ke rumah sakit?"
Ternyata Galin yang menyapa, "Eh, Lin, udahan kuliahnya? Barusan rumah sakit apa?" keningnya berkerut heran.
"Kuliah udahan," lalu Galin memandangnya dengan heran. "Bang Rendra belum tahu?"
"Tahu apa?" ia makin mengernyit.
"Tadi Anggi jatuh kepleset di toilet. Sampai harus dipapah sama temen-te...."
"JATUH?!?"
Galin semakin heran memandangnya, "Tadi langsung mau ke rumah sakit katanya, diantar sama Ismi."
"Thanks, Lin," ia menepuk bahu Galin tergesa dan dengan setengah berlari menuju mobilnya.
"Brengsek!" umpatnya kesal ketika arus keluar kendaraan di kanpar Fisipol cukup tersendat petang ini. Dan lebih brengseknya lagi ia tak tahu rumah sakit yang dituju Anggi. Shit!
"Come on....come on....come on.....," dengan tangan gemetar ia mendial angka 1 yang langsung terhubung dengan ponsel Anggi.
Namun panggilannya tak diangkat. Hanya terdengar nada sambung. 1 kali, 2 kali, 3 kali, tetap tak diangkat. Membuatnya hampir meledak. Where are you now?
Otaknya bahkan tak mampu untuk memikirkan apapun, saking terkejutnya mendengar kalimat jatuh terpeleset di kamar mandi. What the fucking hell going on! Dengan perut sebesar itu terpeleset di kamar mandi? Hell no.
Namun tiba-tiba sebuah ide brilian melintas, dr. Mazaya. Ya, Anggi pasti pergi memeriksakan kandungan ke dr. Mazaya. Untuk memastikan ia mencoba menelpon.
"Wah, saya sedang cuti dua hari ini," jawaban yang sangat tidak diinginkan. "Tadi juga Anggi nelepon, katanya habis jatuh. Saya rekomendasikan pergi ke dr. Ingrid di.....," dr. Mazaya menyebut nama rumah sakit yang untungnya berada tak jauh dari kanpar yang menahannya hingga sepuluh menit terakhir.
Usai terbebas dari kepadatan kanpar, ia pun melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tak ingin membuang waktu yang mungkin saja tak bersedia menunggu kedatangannya.
***
Ia sedang gelisah menunggu panggilan dokter ketika melihat seseorang berlari mulai dari bagian pendaftaran yang kebetulan terlihat dengan jelas dari tempatnya duduk, menyusuri lorong rumah sakit secepat kilat menuju poli kandungan dan kebidanan. Dan terkejut begitu mengetahui orang tersebut adalah Rendra.
Dengan napas tersengal Rendra menghampiri dirinya dan tanpa mengatakan apapun langsung berlutut untuk merengkuhnya ke dalam pelukan.
Ia yang tak siap dengan gerakan Rendra hanya bisa tersipu malu karena orang-orang yang duduk di sekitar mulai memperhatikan mereka dengan wajah bertanya-tanya.
"Kamu nggak papa?" Rendra menatapnya cemas.
Ia -yang sebenarnya masih kesal- hanya menggeleng. Membuat Rendra bernapas lega untuk kemudian merengkuhnya lagi.
"Ada yang luka?" dengan masih berlutut di depannya Rendra kembali bertanya. Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang perawat memanggil namanya, "Ibu Rahayu Anggiantisa."
Rendra bangkit lebih dulu untuk merengkuh lengannya, membimbingnya memasuki ruang praktek dokter.
"Selamat malam, ini yang rekomendasi dari dr. Mazaya?" sapa seorang dokter paruh baya berwajah ramah, dr. Ingrid.
"Betul Dok."
"Gimana gimana.....tadi sempat jatuh?"
Ia pun mulai menceritakan proses jatuhnya. Selama itu pula, Rendra meremas tangannya sambil gemetaran.
"Baik, setelah jatuh apakah ada keluhan?"
"Seperti pendarahan atau flek?"
Ia menggeleng.
"Nyeri perut, kontraksi, sesak napas?"
Lagi-lagi ia menggeleng.
"Pusing?"
"Pusing mungkin karena tekanan darah saya yang memang rendah Dok, bukan semata-mata habis jatuh," jawabnya.
"Baik, setelah jatuh apakah bayi masih bergerak aktif?"
Ia mengelus perutnya lembut, yang langsung direspon dengan dua buah tendangan yang cukup keras. "Masih Dok."
"Bagus. Ketuban aman ya? Nggak ada rembesan atau air yang keluar tapi bukan karena buang air kecil?"
Ia menggeleng.
"Baik. Yuk, kita periksa dulu," dr. Ingrid berjalan menuju examination table dan mulai mempersiapkan alat USG. Sementara seorang perawat membantunya mempersiapkan diri.
"Kita lihat disini.....hmmm.....bagus.....," dr. Ingrid mulai menempelkan alat USG di atas perutnya.
"Kembar?" dr. Ingrid tersenyum memandang mereka berdua yang sama-sama mengangguk.
"Aman Dok?" Rendra bertanya dengan suara bergetar. "Istri dan anak-anak saya sehat Dok?"
"Bagus," dr. Ingrid mengangguk. "Ketuban masih bagus, bayinya juga sehat, tuh lagi berenang-renang. Say hai ke Papa Mama sayang....."
Ia dan Rendra sama-sama tersenyum lega demi melihat gambar yang ditampilkan oleh layar. Dua bayi kesayangan tak kurang suatu apapun meski tadi ia sempat terjatuh.
"Sudah 30 minggu ya. Beratnya 1,4 Kg."
Secara refleks mata mereka berpandangan sambil saling melempar senyum lega. Namun saat sadar jika ia masih merasa kesal dengan Rendra, ia pun buru-buru memalingkan muka dengan berpura-pura melihat layar yang memperlihatkan hasil USG.
"Jadi jatuhnya istri saya tadi nggak berefek negatif ke bayi ya Dok?" Rendra kembali bertanya.
"Selama ibu tidak terluka saat jatuh, kecil kemungkian bayi di dalam kandungan terluka," terang dr. Ingrid tenang.
"Karena bayi di dalam kandungan memiliki banyak perlindungan. Ada air ketuban, kantung rahim, otot perut, lemak, tulang panggul."
"Nggak akan membuat bayi terluka kalau ibu mengalami jatuh ringan."
Ia bahkan bisa mendengar dengan jelas Rendra mengucapkan kalimat penuh kesyukuran.
"Sekarang kita lihat lagi....plasenta bagus....aman....," dr. Ingrid masih menggerak-gerakkan alat USG di atas perutnya.
"Ow....kita lihat ada apa ini....," dr. Ingrid terlihat mengernyit. "Ternyata ada satu bayi yang lehernya terlilit tali pusar...."
"Bahaya nggak Dok?" Rendra bertanya dengan cepat.
"Kita lihat berapa lilitannya," dr. Ingrid memperhatikan layar dengan seksama. "Kalau dari gambar ini diperkirakan hanya ada satu lilitan. Masih aman."
"Sebabnya apa ya Dok? Apa karena saya tadi sempat jatuh?" ia jadi sedikit merasa bersalah.
"Bukan," dr. Ingrid menjawab cepat. "Jatuh tadi kan bayi masih terlindungi oleh banyak lapisan."
"Bayi terlilit tali pusar sebenarnya hal yang normal. Terjadi bukan karena apa yang dilakukan oleh ibu, tapi karena gerak aktif bayi di dalam kandungan."
"Dan kasus bayi terlilit tali pusar memang sering ditemui di kehamilan kembar."
"Asal tidak lebih dari dua lilitan, dan tidak menyebar ke bagian tubuh bayi yang lain, masih aman."
"Tidak membahayakan. Masih bisa kembali normal sebelum melahirkan."
Terasa sebuah tangan yang selalu menjadi favoritnya sedang mengelus puncak kepalanya lembut.
Kini, ia sudah duduk menunggu di depan loket pengambilan obat, ketika Rendra yang berdiri di sebelahnya menelepon, "Lu masih di kantor?"
"Suruh Amin kesini."
"Pakai ojek aja."
"Iya."
Kemudian mendudukkan diri di sampingnya, "Nanti kita pulang bareng. Mobil kamu biar dibawa sama Amin."
Ia hanya menggumam pelan sambil memasang wajah malas. Pun begitu Rendra membuka dan menutup pintu mobil untuknya, ia masih menekuk wajah.
"Tadi kamu pergi kesini sendiri?" tanya Rendra yang mulai menyalakan mesin.
Ia mengangguk.
"Kata Galin diantar sama Ismi."
Ia kembali mengangguk.
"Terus Ismi kemana? Pulang duluan?"
Lagi-lagi ia mengangguk, tak berminat untuk bersuara sedikit pun.
"Kamu yang nyetir atau Ismi? Habis jatuh masih bisa jalan?"
"Ismi," jawab singkat. "Masih."
Rendra menghela napas lega dan mulai memusatkan konsentrasi pada jalanan di depan, tak lagi bertanya-tanya.
Dan perjalanan pulang mereka lalui dalam diam. Padatnya lalu lintas sedikit banyak membantu mengatasi kecanggungan yang menguar. Ia bahkan harus berkali-kali menelan ludah karena merasa tersiksa dengan kesunyian yang tercipta.
"Kamu udah makan belum?" rupanya Rendra juga tak tahan terus berdiam diri.
"Belum," jawabnya singkat.
"Kita makan di luar yuk. Kamu mau makan dimana?"
"Aku pingin tiduran," jawabnya sambil menelan ludah. "Makan yang ada di rumah aja."
Rendra manggut-manggut, "Oke."
Dan ketika Rendra setengah berlari hendak membukakan pintu untuknya, ia telah lebih dulu keluar sendiri.
"Hati-hati," pekik Rendra cemas sambil mengulurkan tangan berusaha membantu, namun langsung ia tepis.
Pun saat Rendra bertanya sambil tersenyum manis, "Mau makan apa? Aku bikinin."
"Nggak lapar."
"Nasi goreng? Atau mau pesen Gofood, kamu yang pilih makanannya."
"Aku mau tiduran," jawabnya datar sambil langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Namun justru membuat hatinya mencelos karena semakin merasa bersalah telah bersikap buruk terhadap Rendra.
Entah atas dasar apa ia memilih bersikap ketus dan menjawab sepatah duapatah kata tiap kali Rendra bertanya. Ia bahkan tak tahu kesalahan Rendra sebelah mana yang membuatnya terus marah seperti ini. Toh hatinya bahkan sudah melemah sejak pagi tadi Rendra memanggil-manggil namanya dengan panik ketika ia memilih untuk pergi lebih dulu. Lalu disusul kiriman makan siang, chat mengajak jalan, terakhir di ruang periksa dr. Ingrid tadi. Pokoknya ia masih merasa kesal dan hanya ingin marah. Meski tanpa alasan sekalipun.
Ia pun memilih untuk berganti baju, menggosok gigi, lalu mencuci muka. Berusaha mengabaikan wajah Rendra yang menari-nari mengelilingi kepalanya.
"Kita tidur ya sayang," bisiknya sambil mengelus perut yang telah membesar. Sebuah tendangan keras seolah merespon kalimatnya. "Maafin Mami tadi ceroboh jadi jatuh."
"Kalian sehat-sehat di dalam ya, Mami loves you two so much," ia tersenyum sambil merebahkan diri di atas tempat tidur, dan memilih untuk miring ke kiri, sesuai saran dari dr. Ingrid tadi agar aliran darah dan nutrisi ke bayi berjalan lancar.
Namun ketika ia sedang berusaha keras untuk memejamkan mata agar bisa cepat tertidur, seseorang merengkuhnya dari belakang. "Makan yuk. Aku udah buat nasi goreng spesial buat kamu."
Ia harus menelan ludah karena detak jantungnya mendadak meningkat tajam demi merasakan aroma mint yang sangat dikenalnya meruar memenuhi udara di sekitar telinga dan pipinya.
"Aku suapin ya...."
Ia harus kembali menelan ludah.
"Dua suap aja nggak papa. Yang penting perut keisi."
Ia masih tak bergeming, mencoba memikirkan jawaban apa yang bisa membuat Rendra mengerti jika ia masih merasa kesal yang entah. Namun sentuhan lembut di sepanjang leher dan telinganya langsung meruntuhkan dinding pertahanan dirinya.
"Kamu selalu terasa manis," bisik Rendra yang kini tengah menelusuri tengkuknya. Kemudian beralih ke leher, dan berakhir di tempat yang seharusnya. Dengan gerakan elegan Rendra telah menyentuhkan dirinya lembut, tenang, membahagiakan.
"Still mad at me?" bisik Rendra saat mereka sama-sama memenuhi paru-paru dengan udara. "I'm so sorry....," lalu menyentuhkan hidung mereka berdua dengan lembut.
Ia kini mulai bisa tersenyum. Melambung ke awang-awang karena Rendra memilih menekan ego sedemikian rupa sampai bisa meminta maaf lebih dulu, daripada meladeni kecrankyannya.
"Mau kusuapin ya?"
Ia pun mengangguk.
"Good girl," Rendra mengecup keningnya puas. Begitu Rendra beranjak keluar dari kamar, ia berusaha mendudukkan diri, dengan menyandarkan punggung ke kepala tempat tidur.
Tak lama kemudian Rendra kembali datang dengan tangan penuh. Sepiring nasi goreng hangat, seikat mawar merah, dan sekotak hampers cantik.
"Mau nyogok?" cibirnya begitu Rendra mengangsurkan seikat mawar merah segar yang sangat cantik.
Rendra hanya terkekeh sambil mengangsurkan sekotak hampers berisi kudapan favoritnya, "Ini best seller dari.....
"Toko bakery Mamanya Rafa," potongnya cepat.
Membuat Rendra kembali terkekeh. "You know me so well." Kemudian mulai menyuapkan sesendok nasi goreng. "Ha....."
Hmm, nasi goreng buatan Rendra memang selalu lezat. Dan saat nasi goreng di piring sudah berpindah setengah ke dalam perutnya, ia pun mulai bisa merangkai kata, "Maafin aku...."
Rendra menggeleng sambil tersenyum.
"Karena ceroboh jadi jatuh...."
"Bukan salah kamu," potong Rendra cepat sambil terus tersenyum.
Ia hanya bisa tersenyum menatap manik berwarna cokelat yang indah itu. Tak mampu untuk berkata-kata lagi.
"Jadi, kamu mau tujuh bulanan apa baby shower? Biar nanti diurus sama anak-anak," tanya Rendra yang membuat kedua matanya memanas.
'Love me tender, love me sweet
Never let me go
You have made my life complete
And I love you so
Love me tender, love me true
All my dreams fulfill
For my darling', I love you
And I always will'
(Elvis Presley, Love Me Tender)
***
Keterangan (berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan) :
Adendum. : istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.
Kanpar. : kantong parkir
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu