Chacha memang anak haram, tapi haruskah dia dikhianati oleh keluarganya dan dijadikan istri pengganti?!
Cukup lama Chacha disiksa, dan kegunaan terakhirnya yaitu menikahi orang cacat untuk saudara tirinya!
Bastian, CEO Hutama Group membeli Chacha atas dasar hutang ayahnya, dan dia harus setuju demi neneknya.
Awalnya dia pikir semuanya akan baik-baik saja setelah menikah. Namun ternyata dirinya bagai masuk ke kandang harimau ke luar ke kandang buaya.
Pria di depannya yang terkenal kejam, tidak menganggapnya sedikit pun sebagai seorang istri.
Dengan penuh kesabaran, Chacha tetap memperlakukan Bastian dengan baik dan tulus.
Akankah benih-benih cinta muncul dalam pernikahan mereka?
Atau akankah saudara tirinya kembali untuk memenangkan hati Bastian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 30
Melihat Bastian datang bersama Chacha, Melin begitu bahagia. Ia yang sedang duduk di ruang keluarga, bergegas menyambut kedatangan anak dan menantunya.
"Selamat datang di kediaman keluarga Hutama, sayang," kata Merlin sambil tersenyum manis.
"Makasih banyak, Ma," ucap Chacha sangat canggung.
Bastian menyentuh tangan Chacha, untuk mengingatkan kalau Chacha harus memberikan buah tangan yang mereka bawa. Chacha mengerti dengan sentuhan itu.
"Mmm, Ma, ini ada manisan untuk mama," ucap Chacha sambil menyerahkan paper bag yang ia bawa.
"Wuah, kamu bawa manisan buat mama?" tanya Merlin sangat senang.
"Iya, Ma. Semoga mama suka dengan manisannya."
"Buat mama aja? Papa gak ada?" tanya Hendrik yang baru saja turun dari lantai dua.
Chacha kebingungan mau jawab apa. Keadaan yang masih sangat canggung membuat dia takut jika ia salah dalam berbicara.
"Gak ada, Pa. Kita gak sempat beli sesuatu untuk papa." Bastian yang menjawab karena dia melihat Chacha begitu canggung.
"Kalian curang sama papa, ya. Mama kalian belikan makanan kesukaan, sedangkan papa nggak."
"Ma--maaf, Pa."
"Udah-udah, papa jangan bercanda seperti itu dong. Menantu kitakan baru pertama kali datang ke sini. Dia agak canggung tuh. Jangan di bercandain. Makin canggung aja dia jadinya," kata mama.
"Iya, maaf. Papa kan gak maksud buat dia canggung."
"Udah sayang, jangan dengarin papa, ya. Ayo duduk."
"Iya, Ma."
"Udah, gak usah canggung gitu, Cha. Anggap aja rumah sendiri," kata papa pula.
"Iya, Pa."
Perlakuan keluarga Bastian yang hangat pada Chacha, membuat Chacha dengan cepat menghilangkan rasa canggungnya. Bukan hanya itu, Chacha juga bisa merasakan kehangatan keluarga ketika bersama dengan keluarga Bastian.
Selesai makan malam, Bastian memutuskan untuk pulang.
"Lho, kok kalian pulang sih?" Mama terlihat kesal sekaligus sedih.
"Besok aku ada pertemuan penting, Ma. Harus siap pagi-pagi lagi," kata Bastian.
"Ya udah, tinggalin aja Chacha di sini. Kamu pulang saja sama Danu."
"Gak bisa gitu dong, Ma. Chacha .... " Bastian tidak melanjutkan kata-katanya, ia melihat Chacha yang sedari tadi hanya diam saja.
"Ya sudah kalo gitu. Lain kali datang, nginap di sini beberapa malam ya," kata papa seakan mengerti apa yang Bastian maksudkan.
"Ya. Kapan mau datang lagi? Besok, atau lusa?" tanya mama bersemangat.
"Belum tau, Ma," kata Bastian.
"Ya sudah, besok aja datangnya, ya."
"Jangan besok dong, Ma."
"Terus kapan?"
"Ya, belum tahu."
"Bastian ... kok kamu mulu sih yang jawab. Kasi kesempatan Chacah buat jawab juga dong," kata mama dengan raut wajah kesal.
"Gimana Chacha?" tanya mama pada Chacha.
"Aku ... aku terserah Bastian aja, Ma."
"Tuh kan Bas, Chacha nya aja mau besok datang lagi. Lah kamu?"
"Ma, Chacha kan gak bilang mau. Dia cuma bilang terserah padaku. Ya aku, besok belum bisa datang, masih sibuk, banyak kerjaan yang harus aku selesaikan di kantor."
"Ya udah, kalo gitu, biar Danu aja yang antarin Chacha ke sini besok. Biar Chacha gak kesepian di rumah ketika kamu berada di kantor dan sibuk dengan dunia kerjamu yang membosankan itu. Kayak papa," kata mama sambil melihat papa dengan tatapan kesal.
"Lho, kok malah bawa-bawa papa sih? Kan papa gak ikut-ikutan dalam perdebatan ini," ucap papa tak terima.
"Ya emang gitukan? Kalian berdua itu sama aja, maniak kerja. Kerja-kerja-kerja melulu yang kalian pentingin."
"Ya udah deh, mama sama papa gak usah berantem. Nanti aku bicarain dulu sama Chacha. Sekarang, aku sama Chacha mau pulang dulu," kata Bastian menyela perkataan mama agar tidak terjadi perdebatan yang semakin panjang.
"Iya, Ma. Chacha sama Bastian pulang dulu."
"Hati-hati di jalan ya, Nak," kata papa dan mama hampir bersamaan.
"Iya, Ma, Pa."
Mereka meninggalkan mansion keluarga Hutama segera setelah berpamitan. Chacha kelihatannya begitu bahagia saat mengingat apa yang baru saja ia alami saat bersama keluarga Bastian.
"Cha, gimana dengan tawaran mama?" tanya Bastian memecah keheningan di antara mereka.
"Aku ... terserah kamu aja."
"Aku gak mau kamu pergi jika kamu merasa gak nyaman. Maksudku, aku juga terserah padamu. Jangan paksakan jika kamu tidak ingin. Semua terserah padamu."
"Aku nyaman kok, Bas. Malahan, senang rasanya saat bersama mama dan papamu. Mereka begitu hangat, dan aku seperti merasa punya orang tua yang lengkap saat bersama mereka," ucap Chacha sambil tersenyum membayangkan apa yang baru saja terjadi.
"Ya udah kalo gitu, berarti, kamu mau nginap di sana besok, kan?"
"Iya. Aku gak tega lihat mama yang kayaknya sangat berharap aku nginap di sana."
"Iya, mama emang gitu kalo udah sayang sama seseorang. Inginnya orang yang dia sayang, selalu ada di dekatnya. Agak aneh sih, tapi itulah mama."
"Kalo menurut aku sih gak aneh, tapi wajar. Semua orang juga gitu kok, Bas. Selalu menginginkan orang yang mereka sayang ada di samping mereka setiap saat. Tapi sayangnya, gak bisa seperti itu," ucap Chacha sambil melihat keluar. Wajahnya terlihat sedih ketika bicara seperti itu.
Bastian paham dengan apa yang Chacha maksud. Ia menyentuh tangan Chacha dengan lembut. Chacha membiarkan apa yang Bastian lalukan. Karena saat ini, memang itu yang ia butuhkan. Sebuah kehangatan untuk menghangatkan hatinya yang dingin.
penderiraan chacha lbih berat dr kmu tegar lah ...biar kmu bisa memperbaikix