Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Dante!!!
Berlapis-lapis plastik perekat membungkus ketat lengan serta kaki Nadia. Dia mengenakan rok pendek ketat dan blus sutra model ikat memamerkan pusar.
Rambutnya diikat ketat ke belakang, mata mendelik tidak wajar, napas tersengal cepat berembus lewat hidung karena mulutnya juga di bebat oleh lapisan plastik perekat dari mulut sampai ke pinggir meja agar kepala tidak bisa bergerak.
Aku mencoba mengatakan sesuatu. Hanya mampu menatap. Nadia menatap balik. Seribu satu kata tanpa suara berkilasan di mata itu, tapi yang paling kelihatan adalah perasaan takut.
Itu yang memaku tubuhku di ambang pintu. Aku belum pernah melihat tatapan seperti itu di mata Nadia sampai tidak yakin harus bersikap bagaimana.
Setengah langkah kumasuki ruangan untuk mendekat, Nadia menggelinjang di bawah bebatan plastik. Takutkah dia? Pasti begitu. Tapi takut terhadap apa? Pada dirikukah? Aku ke sini untuk menyelamatkannya. Kenapa malah takut melihatku? Kecuali...
Benarkah aku yang melakukan ini?
Sewaktu aku tertidur lebih awal sore ini, apakah sebenarnya Nadia sudah tiba di apartemenku sesuai jadwal, lalu di alam bawah sadarku, aku menyakiti Nadia?
Lalu aku bawa kemari, mengikatnya begitu rupa di atas meja tanpa sadar telah melakukan kemudian? Sama sekali tidak masuk akal! Bagaimana caraku pulang setelah itu untuk meninggalkan boneka Barbie, kembali ke apartemen di lantai atas dan bangun sebagai diriku lagi, sungguhkah semua itu aku lakukan? Tidak mungkin. Tapi...
Kalau bukan aku pelakunya, bagaimana aku bisa mencari sampai kemari?
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak mungkin aku memilih acak kontainer ini begitu saja dari sekian banyak kontainer sejenis di seluruh Shadowfall City, kecuali aku memang tau di mana letaknya.
Bulu kudukku merinding. Setengah langkah lagi, mendekati Nadia lalu muncullah dia dari bayang-bayang. Berkas lembut cahaya lentera menyinari sosoknya. Mata kami bertaut. Sekujur ruangan mendadak bergoyang maju mundur.
Aku kehilangan orientasi sedang berada di mana. Mataku bergerak berganti-ganti antara aku yang berada di ambang pintu dan dia di dekat meja operasi.
Kulihat diriku menatapnya, lalu dia menatapku. Benakku memunculkan kilasan ingatan diriku sedang duduk di lantai, kaku tidak bergerak. Entah apa maksud visi ini. Sangat meresahkan. Lalu aku sadar lagi, meski masih gamang.
"Nyaris yakin, tapi sekarang kamu muncul di sini, jadi pasti memang ini tempatnya. Iya, kan?"
Otakku beku. Kutatap dia dengan mulut terbuka bengong. Hanya mampu menatap. Dialah orangnya. Tidak salah lagi. Inilah lelaki dalam rekaman keamanan webcam kemarin malam. Orang yang oleh Nad dan aku sangka sebagai aku.
Dalam jarak sedekat ini bisa kupastikan bahwa dia memang bukan aku, tidak mirip benar. Ternyata memang orang lain! Berarti aku belum sepenuhnya gila. Aku memang antisosial yang ekstrem dan kadang jadi pembunuh acak, tapi ini juga tidak salah.
Tapi, dia sangat mirip aku. Mungkin empat atau lima sentimeter lebih tinggi, bahu dan dada lebih kokoh, seperti orang keranjingan angkat besi. Ditambah kepucatan wajahnya, membuat aku bertanya-tanya apakah dia pernah masuk penjara belum lama ini.
Selain itu, wajahnya sangat mirip wajahku, hidung dan tulang pipi, tatapan yang juga menyiratkan kekosongan batin. Bahkan rambutnya juga agak ikal. Memang tidak secara fisik identik atau kembar, tapi sangat mirip.
"Yah, memang mengejutkan buat kamu, ya?" Dia berkata.
"Sedikit, siapa kamu? Dan kenapa semua ini begitu..." Aku tidak mampu melanjutkan karena aku sendiri tidak tau apa maksudnya semua ini.
Wajahnya bereaksi, "Ya ampun. Padahal aku sudah terlanjur yakin kamu bisa mengungkapkan sendiri."
Aku menggeleng. "Aku bahkan tidak tau bagaimana aku bisa sampai kemari."
Dia sama seperti diriku.
Apa dan bagaimana kesejatianku, dia juga begitu.
"Serius. Siapa kamu sebenarnya?" Kataku kemudian.
Wajahnya merekah menampilkan senyum kucing ceria, tapi karena begitu mirip ekspresiku sendiri aku bisa langsung melihat ketiadaan kebahagiaan sejati di baliknya.
"Apa yang kamu ingat dari masa lalu?" Dia bertanya.
Gema pertanyaan itu membuncah membenturi sekujur tembok kontainer, nyaris meledakkan kepalaku sendiri.
Apa yang kamu ingat dari masa lalumu? Victor pernah bertanya begitu padaku.
Tidak ingat apa-apa, Ayah.
Kecuali...
Kilasan-kilasan gambar menyentak otakku. Gambaran mental, mimpikah? Ingatan? Entah apa, tapi begitu jelas. Dan terjadinya di tempat ini, di ruangan ini? Tidak. Mustahil! Kontainer ini pasti belum lama berada di pelabuhan, dan aku tidak merasa pernah kemari sebelumnya.
Tapi kesan ruang sempitnya, embusan hawa dingin dari deru kompresor, cahaya remang-remang, semua menjeritkan simfoni kenangan lama. Mungkin kontainernya memang bukan yang ini, tapi gambaran yang muncul begitu jelas, begitu mirip, begitu tepat, kecuali soal...
Aku berkedip. Sebuah gambaran bergemuruh tampak di balik mata. Kupejamkan mata.
Bagian dalam ruangan sebuah kontainer lain melompat menampakkan diri. Tidak ada gulungan-gulungan karton di kontainer yang ini. Ada, benda-benda lain di pojokan. Di dekat... ibu? Bisa kulihat wajahnya di sana, seperti sedang bersembunyi atau main petak umpet dekat---entah apa itu---hanya wajahnya yang terlihat.
Tidak bergerak, tidak berkedip atau apa pun. Semula aku ingin tertawa karena ibu bisa bersembunyi sebaik itu. Tidak terlihat sisa badannya. Hanya wajah. Dia pasti telah membuat lubang di lantai. Menyembunyikan badan dari leher ke bawah sampai wajahnya yang kelihatan.
Tapi kenapa tidak menjawab panggilanku sekarang? Kan sudah ketahuan? Kenapa bahkan dia tidak berkedip sedikit pun? Begitu juga saat aku menjeritkan namanya begitu keras, dia tetap tidak menjawab. Tidak bergerak, tidak melakukan apa pun kecuali menatap. Tanpa ibu, aku sendirian.
Tapi nanti dulu, aku tidak sendirian. Kupalingkan kepala, dan ingatan itu juga ikut berpaling. Aku tidak sendirian. Ada seseorang di sisiku. Mulanya sangat membingungkan karena yang aku lihat adalah aku sendiri, tapi jelas itu orang lain, hanya begitu mirip, kamu berdua mirip, aku...
Sedang apa kami di kontainer ini? Kenapa ibu tidak kunjung bergerak? Mestinya dia menolong kami. Kami duduk di sini, di kubangan, ibu mestinya segera bergerak, membawa kami keluar dari kubangan... kubangan...
"Darah...?" Lirihku tidak tertahan.
"Kamu ingat ya? Aku senang." Ujarnya dari belakang.
Aku membuka mata. Kepala berdenyut pusing sampai mau muntah. Ruangan kontainer dalam ingatan menumpuk jadi satu dengan kontainer yang ini.
Di kontainer itu di kecil Dante duduk di sana. Bisa kujejaki posisinya dengan persis. Sosok lain yang mirip aku duduk di sisi, tapi bukan aku. Tentu saja, dia orang lain. Orang yang sangat aku kenal. Seseorang itu bernama...
"Biney...?" Lirihku ragu. Suaranya sama seperti dalam ingatan, tapi penyebutan namanya terasa tidak tepat.
Dia mengangguk senang. "Memang begitulah caramu memanggilku. Waktu itu kamu masih cadel dan sulit menyebutkan nama Brian. Kamu memanggilku Biney. Aku tidak keberatan. Malah senang punya julukan." Dia menepuk tanganku, lembut.
Dia berhenti. Wajahnya tersenyum, tapi matanya terkunci ke wajahku.
"Adik kecil."
Aku duduk. Dia duduk di samping.
"Apa..." Hanya itu yang mampu terucap.
"Kamu adikku. Saudaraku. Kamu lahir hanya beda setahun setelahku. Ibu kita ceroboh. Kadang terlalu ceroboh." Wajahnya tersenyum aneh.
Aku mencoba menelan ludah. Tidak bisa.
Dia---Brian, kakakku.