 
                            Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20.Tak dihiraukan.
Ria yang semula masih menatap Clara dengan empati, tiba-tiba menghentikan kalimatnya di tengah udara. “Eh… Clar,” bisiknya pelan, matanya melirik ke arah pintu kelas.
Clara mengikuti arah pandangan sahabatnya dan di sanalah, tepat di ambang pintu, Arman berjalan masuk sambil menggandeng tangan Loly.
Loly tertawa kecil, suaranya melengking manja, sementara Arman menatapnya dengan tatapan lembut yang berlebihan, seolah dunia hanya berisi mereka berdua. Tangannya menepuk punggung Loly, lalu dengan sengaja merapikan poni gadis itu di depan semua orang.
Beberapa siswa langsung berbisik-bisik, sebagian menatap dengan geli, sebagian lagi hanya mengangkat alis.
Ria mendengus pelan. “Astaga… mereka pikir ini drama romantis di depan kamera, apa?” gumamnya kesal.
Clara tidak menjawab. Ia hanya menatap sekilas, datar dengan tatapan yang begitu singkat tapi cukup untuk membuat dadanya menegang. Ia menunduk lagi, pura-pura membuka buku catatan di atas meja, padahal telinganya menangkap jelas setiap tawa kecil Loly, setiap nada lembut yang keluar dari mulut Arman.
Dulu, tawa itu sering untuknya.
“Dasar sok pamer”bisik Clara yang nyaris tak terdengar sambil menatap kearah Arman dan Loly sekilas.
Arman menoleh sejenak ke arah bangku tempat Clara duduk. Tatapan mereka beradu yang hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat udara di sekelilingnya terasa aneh. Ada semacam kesengajaan di mata Arman, seolah ia ingin memastikan Clara melihat kedekatannya dengan Loly.
Ria mendesah, menatap sahabatnya yang masih diam. “Clar… kamu nggak perlu liat mereka, tahu,” bisiknya, nada suaranya lembut tapi penuh kekesalan. “Cowok kayak gitu gak penting. Kalau kamu diam, dia bakal mati gaya sendiri.”
Clara tersenyum tipis, tapi matanya tetap dingin. “Aku nggak akan bereaksi, Ria. Aku cuma lagi menyadari dulu aku bodoh pernah menyukai cowok seperti itu.”
Ria nyaris tertawa mendengar nada tenang itu, tapi sebelum sempat menjawab, suara kursi berderit terdengar.Loly berjalan menghampiri Clara dan duduk tepat bangku di depan mereka. Loly bahkan sengaja melihat kearah Clara, menatap Clara sambil tersenyum manis, terlalu manis.
“Pagi, Clara,” ucapnya dengan nada santai yang dibumbui kepura-puraan.
“Pagi kak”sapa Clara dengan senyum tipis.
“Clara bukan namamu? ”
“Iya”jawabnya sambil mengangguk pelan.
“Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat, karena aku penasaran dengan cewek yang bisa membuat Finn si resek itu bisa ngomong banyak dengan cewek”
“Kakak teman kak Finn? ”
“Benar, kami teman dari kecil. jadi aku ini penasaran dengan cewek yang dekat dengan Finn”
“Sepertinya kakak salah paham saja, kami hanya kenal biasa saja gak lebih”
Loly pun terdiam, dan mengeluarkan sesuatu dalam kantong tasnya. “Clar, ini ada undangan pesta ultah ku. kamu boleh ajak temanmu kesana”
Clara lalu mengambil undangan itu dari tangan Loly, “Terima kasih kak”
“Jangan lupa kalian datang ya! ”
Loly lalu berjalan pergi dari depan Clara dan Ria, dan menghampiri Arman lagi.
Loly kembali ke tempat duduknya sebentar, lalu merapikan rambutnya dengan jari sebelum melangkah keluar kelas.
Sebelum benar-benar pergi, ia berhenti di dekat Arman yang sedang bersandar santai di kursinya.
“Arman,” panggilnya lembut, suaranya sedikit dibuat manja agar terdengar oleh beberapa siswa di sekitar. “Jangan lupa datang ke pestaku minggu depan, ya. Aku tunggu.”
Arman tersenyum kecil, menerima undangan berwarna biru muda yang dihiasi pita perak itu. “Iya, pasti datang,” jawabnya dengan nada santai, tapi matanya sempat melirik sekilas ke arah Clara seperti mencari sesuatu di wajah gadis itu.
Namun Clara hanya sibuk menulis sesuatu di bukunya, seolah tidak peduli sama sekali.
Setelah memberikan undangan kepada Arman dan dua teman laki-laki lainnya, Loly berjalan menuju pintu kelas dengan langkah ringan. Saat sampai di ambang pintu, ia berbalik sebentar, matanya langsung menemukan Clara.
Loly tersenyum ramah, melambaikan tangan kecilnya dengan sopan. “Sampai ketemu nanti, Clara!” katanya, suaranya cerah dan terdengar tulus yang entah benar-benar tulus, atau hanya topeng manis seperti sebelumnya.
Clara mengangkat kepalanya dan membalas lambaian itu dengan senyum lembut. “Iya, Kak Loly. Sampai ketemu,” balasnya tenang.
Tatapan mereka bertemu sesaat, dua gadis dengan senyum yang sama manisnya tapi niat yang mungkin jauh berbeda.
Begitu Loly menghilang di koridor, Ria langsung mencondongkan tubuhnya sambil berbisik cepat, “Clar… kamu mau dateng ke pesta dia?”
Clara menutup bukunya pelan. “Tentu.”
Ria memiringkan kepala, heran. “Serius? Padahal kamu baru aja ngomong kalau dia sok pamer.”
Clara tersenyum tipis, matanya menatap undangan biru di tangannya. “Justru karena itu, Ria. Kamu tahu si Loly itu, mamanya teman Rosi.berarti mereka berdua pasti datang,dan dari situ aku bisa bertemu Desi untuk bisa membuktikan dirinya itu anak ayahku atau bukan.”
Ria menatap sahabatnya lekat-lekat, menyadari ada sesuatu di balik nada suara Clara yang terlalu tenang.
“Clar, kamu… jangan bilang kamu mau—”
Clara menatapnya dengan pandangan tajam tapi tenang. “Aku cuma mau tahu, Ria…walaupun itu sarang singa aku pasti tetap masuk,demi mencari kebenaran tentang Desi.”
Ia memasukkan undangan itu ke dalam buku catatannya, lalu bersandar di kursi sambil memandangi jendela. Dari luar, cahaya matahari memantul di permukaan meja, hangat tapi menyilaukan yang mirip seperti senyum Loly barusan.
Ria hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu benar: kalau Clara sudah punya rencana, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Dan kali ini, dari caranya menatap undangan itu, Ria tahu pesta ulang tahun Loly bukan sekadar pesta biasa bagi Clara. Itu akan jadi langkah pertama dalam permainan yang jauh lebih besar.
Bel istirahat berbunyi, memecah kesunyian kelas yang sejak tadi terasa panjang.
Suara kursi bergeser, langkah-langkah terburu keluar ruangan, dan deru tawa siswa lain terdengar memenuhi lorong.
Ria lebih dulu beranjak sambil menepuk bahu Clara. “Aku duluan, ya. Aku pesen tempat di kantin. Kalau telat, bisa-bisa kita makan sambil berdiri lagi.”
Clara mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, aku nyusul.”
Begitu Ria menghilang di ujung koridor, Clara memasukkan undangan pesta Loly ke dalam tasnya, lalu berjalan perlahan keluar kelas. Udara siang terasa lembap, bau tanah sisa hujan pagi tadi masih menggantung.
Ia menuruni tangga menuju halaman belakang sekolah jalur pintas yang biasa ia lewati menuju kantin. Biasanya tempat itu sepi, hanya dipenuhi suara burung dan gemerisik dedaunan. Tapi kali ini, dari kejauhan, terdengar suara gaduh.
“Eh, udah dong, Finn! Balikin bukunya!”
“Woi, jangan lari kalau berani!”
“Finn, kamu keterlaluan!”
Clara berhenti sejenak. Alisnya berkerut mendengar nama itu.
Finn?
Ia melangkah cepat ke arah sumber suara, dan begitu sampai di ujung lorong menuju taman belakang sekolah, pemandangan yang dilihatnya membuatnya menghela napas keras.
Finn berdiri di tengah lingkaran beberapa anak laki-laki kelas tiga, sambil memegang buku catatan berwarna pink dengan ekspresi usil di wajahnya. Di hadapannya, seorang gadis berambut sebahu yang jelas adik kelas berdiri gelisah, wajahnya merah menahan malu.
“Balikin, Finn! Itu buku catatan ulangan aku!” serunya hampir menangis.
Finn memutar buku itu di jarinya dengan santai. “Catatan, ya? Hm… tulisan kamu bagus juga. Tapi kenapa setiap halamannya ada gambar hati-hati kecil kayak gini, hah?” godanya sambil membuka halaman acak. Anak-anak di sekitarnya tertawa.
Gadis itu hampir menitikkan air mata. “Itu bukan urusan kamu!”
Clara yang berdiri tidak jauh dari mereka, mendecak pelan.
Masih saja seperti dulu usil dan seenaknya.
Ia melangkah maju tanpa suara, lalu berkata dengan nada datar tapi cukup keras untuk membuat semua orang menoleh,
“Finn, kamu itu kurang kerjaan ya?”
Finn berhenti tertawa. Matanya langsung menemukan sosok Clara yang kini berdiri di antara cahaya matahari dan bayangan pohon.
Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, tapi tatapan matanya tajam dan tegas.
“Clara?” Finn menyipitkan mata, senyumnya muncul lagi. “Wah, kebetulan banget. Aku baru aja denger kamu disebut-sebut sama Loly tadi.”
Clara melangkah lebih dekat, jaraknya kini hanya beberapa meter darinya. “Balikin buku itu.”
Finn mengangkat alis. “Santai aja, aku cuma bercanda kok.”
“Lucu, ya? Tapi aku nggak ketawa.”
Nada suaranya tenang tapi penuh tekanan.
Anak-anak lain mulai mundur pelan-pelan. Suasana berubah bukan lagi sekadar candaan biasa.
Finn menatap Clara beberapa detik, lalu tertawa kecil. “Oke-oke, jangan galak gitu,nenek cerewet.” Ia melempar buku itu ke arah gadis kecil tadi.
Buku itu jatuh di tanah, tapi gadis itu buru-buru mengambilnya dan menunduk.
“Maaf… terima kasih, Kak,” ucapnya cepat pada Clara sebelum berlari menjauh.
Clara memandangnya sebentar, lalu menatap Finn lagi. “Aku kasihan dengan kakek dan nenek mu, mereka berdua pasti stress punya cucu buat ulah. ”
Finn memasukkan tangan ke saku celananya, senyum miring muncul di wajahnya. “Kenapa nyebutin kakek dan nenek ku? jangan bilang kamu mau melaporkan pada mereka?.”
Clara menatapnya dingin. “Kamu pikir sendiri”seakan menantang Finn.
Suasana di antara mereka membeku sesaat dua orang dengan tatapan yang saling mengukur, seolah sedang menantang siapa yang lebih dulu akan menunduk.
Finn akhirnya terkekeh kecil. “Heh… mana berani kamu melakukan nya.” Ia melangkah pergi sambil menepuk pundak salah satu temannya. “Ayo, kita cabut. Jangan buat ulah dengan gadis nyebelin itu, ganggu saja kesenangan orang!.”
Clara hanya memandangi punggungnya yang menjauh. Entah kenapa, ada sesuatu di balik tawa itu bukan sekadar kenakalan, tapi semacam tameng.
Begitu suasana sepi lagi, Clara menarik napas panjang. Ia melirik arah kantin, lalu tersenyum samar.
“Cowok menyebalkan itu… teman masa kecilnya Loly,” gumamnya pelan. “Mereka berdua seperti sepaket, yang satu pelakor dan yang satu pembuat onar. ”
Ia melangkah menuju kantin, meninggalkan taman belakang yang kini kembali tenang. Tapi di dalam pikirannya, nama Finn kini ikut masuk dalam daftar panjang orang-orang yang harus ia pahami,mungkin Finn akan jadi salah satu perubahan dalam masa depannya.
penasaran bangetttttttt🤭