 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. mendekatkan diri
Taman belakang rumah besar itu terasa sepi, hanya suara gemericik air mancur kecil dan burung yang beterbangan di ranting pohon. Arinda duduk di bangku besi bercat putih, tangannya meremas-remas ujung dress sederhana yang dipakainya. Mata beningnya memandang rumput yang bergoyang tertiup angin pagi. Ia ingin sedikit udara segar, bosan berdiam di kamar terlalu lama dengan kaki yang masih terasa berat.
Aurelia datang pelan-pelan, melangkah anggun dengan gaun rumahnya yang mewah. Bibirnya tersenyum tipis, sorot matanya teduh namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Di belakangnya berdiri Sofia yang setia menjaga jarak, sementara Maya menunggu di sisi lain.
“Arinda…” suara Aurelia lembut, terdengar hangat tapi sekaligus membuat bulu kuduk gadis lugu itu meremang.
Arinda mendongak, buru-buru bangkit sedikit dan menundukkan kepala. “N… nyonya Aurelia,” ucapnya dengan suara lirih. Ia masih canggung memanggil istri pertama Leo itu, takut salah ucap, takut tersinggung, takut… banyak hal.
Aurelia tersenyum. “Kau suka taman ini? Bagus kan tamannya? Udara segar memang baik untuk pemulihanmu.”
Arinda hanya mengangguk, jemari kurusnya saling menggenggam. Ia menatap rumput lagi, seakan lebih nyaman melihat tanah daripada menatap mata Aurelia.
Beberapa saat hening, lalu Aurelia menoleh ke Sofia yang ada di sebelah Arinda. “Sofia, pergi dengan Maya ke lantai dua. Siapkan ruang salon. Aku ingin perawatan sore ini bersama… kesayangan Leo.”
Nada suaranya terdengar ringan, namun telinga Arinda menangkap jelas kata “kesayangan Leo”. Tubuhnya kaku seketika.
Sofia menunduk hormat. “Baik, nyonya.” Ia memberi isyarat pada Maya lalu berjalan menjauh.
Arinda buru-buru menoleh, panik. “Mbak… mau ke mana? Arinda ikut,” katanya polos, matanya melebar penuh cemas. Ia terbiasa bersama Sofia, merasa aman jika ada pelayan itu di dekatnya.
Aurelia tersenyum kecil, senyum yang sulit ditafsirkan apakah benar-benar lembut atau justru penuh maksud. “Tenang saja. Sofia ada pekerjaan. Kau di sini bersamaku.”
“Tapi…” Arinda menggigit bibir. “Arinda takut, nyonya.”
Aurelia mendekat, duduk di bangku yang sama lalu meraih tangan Arinda. Jemarinya dingin, namun genggamannya erat. “Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu, Arinda. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat.”
Arinda terdiam, wajahnya menunduk makin dalam. Hatinya berdebar keras. Ia tahu Aurelia adalah istri pertama Leo. Bukankah seharusnya Aurelia membencinya? Bukankah seharusnya ia dimarahi karena keberadaannya yang dianggap merebut perhatian tuan besar itu?
Aurelia berdiri, menarik lembut tangan Arinda. “Ayo kita ke lantai dua. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Arinda cepat-cepat menggeleng keras. “Ng… nggak, nyonya. Kata tuan Leo… Arinda nggak boleh ke sana. Kalau nanti tuan Leo tahu, Arinda bisa dimarahin. Arinda takut.”
Suara polos itu keluar begitu saja. Sejujurnya, rasa takut terbesar Arinda bukan dimarahi, tapi mengecewakan Leo. Baginya, sosok dingin itu meski sering membuatnya gugup, tetap seperti pelindung.
Aurelia menatapnya lama, lalu… tertawa kecil. Tawa itu lembut, tapi entah kenapa membuat tengkuk Arinda merinding. “Kau benar-benar polos. Tenanglah, lantai dua itu milikku. Aku mengizinkanmu masuk, jadi tidak ada yang bisa memarahimu.”
Arinda menelan ludah. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya bergetar halus. “Tapi… Arinda…”
“Arinda,” Aurelia memotong pelan namun tegas. “Percayalah padaku. Kau tidak salah apa-apa.”
Hening. Angin bertiup, helai rambut Arinda tergerai menutupi pipinya. Ia ingin menolak lagi, tapi suaranya tercekat. Ada aura kuat dalam tatapan Aurelia, seolah memaksanya untuk patuh.
Akhirnya, dengan langkah ragu, Arinda berdiri. Kakinya sedikit goyah, ia berpegangan pada tangan Aurelia yang membimbingnya menuju pintu belakang menuju koridor menuju lift ke lantai dua.
Sepanjang jalan, dada Arinda berdegup kencang. Ia menunduk, bibirnya terus komat-kamit lirih, berdoa dalam hati agar Leo tidak marah padanya.
‘Tuan Leo… maafkan Arinda… Arinda nggak berani menolak nyonya Aurelia…’
Di sisi lain, Aurelia melirik Arinda sekilas, melihat wajah lugu itu yang penuh kekhawatiran. Senyum tipis kembali tersungging di bibirnya. Ada sesuatu oehangatan di balik senyum Aurelia, dan Arinda yang polos menganggapnya sangat mengerikan.
Lift terbuka dengan bunyi ting. Aurelia menuntun Arinda masuk. Saat pintu menutup, suasana jadi terasa lebih sempit, lebih menegangkan. Arinda menunduk dalam, genggaman tangannya dingin oleh keringat.
“Arinda…” suara Aurelia lirih, namun menusuk. “Kau tahu kan, aku istri pertama Leo?”
Arinda terkejut, buru-buru mengangguk. “I… iya, nyonya.”
“Dan kau tahu, aku mencintainya.”
Arinda makin pucat. Suara Aurelia terdengar tenang, tapi bagi gadis polos itu terasa seperti ancaman halus. Ia mengangguk lagi, meski bibirnya gemetar. “Arinda tahu, nyonya.”
Aurelia mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Arinda. “Lalu… apa yang kau rasakan padanya?”
Pertanyaan itu membuat napas Arinda tercekat. Ia menatap lantai lift, tak berani menjawab. Pipinya merah, jantungnya hampir melompat keluar. Bagaimana ia harus menjawab? Apakah ia harus berkata jujur? Apakah itu akan membuat Aurelia marah?
“A… Arinda… nggak tahu, nyonya…” suaranya nyaris berbisik. “Arinda cuma… Arinda cuma pengen tuan Leo nggak marah sama Arinda. Itu saja.”
Aurelia menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Polos sekali…”
Lift berhenti. Pintu terbuka memperlihatkan lantai dua—area pribadi Aurelia. Ruangan itu luas, mewah, dengan karpet tebal dan aroma wangi melati.
Aurelia melangkah keluar duluan, masih menggenggam tangan Arinda. “Ayo, kesayangan Leo… jangan takut. Aku ingin kau mengenal tempatku. Karena cepat atau lambat, kau juga harus belajar… bagaimana menjadi bagian dari dunia Leo.”
Arinda menunduk, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar, namun ia tidak bisa melepaskan diri. Dengan langkah kecil yang ragu, ia mengikuti Aurelia masuk lebih dalam ke ruangan itu…
Di dalam ruangan salon pribadi itu, aroma wangi bunga bercampur dengan harum essential oil. Ruangannya sangat mewah—dindingnya bercermin, sofa empuk, dan alat-alat perawatan tertata rapi. Namun bagi Arinda, semua itu justru menambah rasa asing di hatinya.
“Nyonya… ini Arinda mau diapain?” suara Arinda lirih, kedua tangannya saling meremas di pangkuan.
Aurelia menoleh sambil tersenyum lembut, senyuman yang membuat Arinda semakin bingung apakah itu tulus atau sekadar kedok.
“Perawatan, sayang. Tenang saja. Aku hanya ingin kau tetap cantik, tetap terawat. Kau kan kesayangan Leo, bukan?”
Arinda menggigit bibir bawahnya, hatinya makin berdebar. Ia tahu Aurelia adalah istri pertama Leo, perempuan yang semestinya ia hormati. Tapi kini Aurelia seakan memperlakukannya seperti… saingan yang dibelai dengan halus sebelum dihancurkan.
Tak lama, Maya masuk dan mendekat, berbisik pelan ke telinga Aurelia.
“Nyonya, ada urusan di ruang kerja.”
Aurelia mengangguk ringan, lalu beralih menatap para pekerja salon pribadi itu.
“Lakukan dengan baik. Layani kesayangan Leo, jangan sampai ada yang teledor. Aku ada pekerjaan penting.”
Mereka semua mengangguk patuh.
“Nyonya… jangan tinggalin Arinda. Arinda takut…” Arinda refleks memegang ujung baju Aurelia, suaranya bergetar.
Namun Aurelia hanya menepuk lembut tangan Arinda lalu menariknya perlahan.
“Jangan manja begitu. Tenang, mereka semua orang kepercayaanku. Kau tidak akan kenapa-kenapa.” ucap Aurelia, lalu berjalan keluar tanpa lagi menoleh.
Kini Arinda duduk sendiri di ruangan penuh orang asing. Jantungnya terasa berat, matanya menatap satu persatu wajah para pekerja yang mulai mendekat dengan peralatan.
“Ya Tuhan.... kenapa rasanya Arinda malah seperti mau dihukum… bukan dimanja…” gumamnya dalam hati, tubuhnya sedikit bergetar.
 
                    