Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Kirana
Kirana membuka matanya. Kasur di sampingnya sudah kosong. Kirana melihat jam dinding, pukul 05.00.
Kirana berdiri hendak mandi. Saat melangkahkan kaki, bagian bawah tubuhnya terasa sakit. Kirana melihat ke tempat tidur. Tidak ada noda darah. Berarti ingatannya betul. Ini bukan pertama kalinya, ia menyerahkan diri pada Barra.
Air hangat mengguyur tubuhnya. Ia merasa lebih rileks. Kirana memejamkan mata. Kilatan mimpi atau ingatan semalam masih memenuhi benak Kirana.
Jelas sekali Kirana mengalami... Boleh kah menyebutnya sebagai r***pak*a? Ada seseorang yang secara paksa menjamah dan memasuki dirinya.
Air mata Kirana jatuh.
Meski ia tidak bisa mengingat kapan peristiwa itu terjada dan siapa yang melakukannya, tapi entah bagaimana ia ingat dengan perasaannya kala itu.
Patah hati, kecewa, marah, sedih, terhina, ternoda, semuanya bercampur menjadi satu. Rasa sakit saat lelaki itu memasuki dirinya pun masih bisa dirasakan Kirana. Tidak hanya bagian bawah, seluruh tubuhnya terasa sakit.
Apakah itu berarti Kirana masih perawan saat kejadian itu terjadi?
Kirana terisak.
Apakah Barra mengetahuinya? Apakah ia sudah ternoda saat menikah dengan Barra?
Siapa? bisik Kirana lirih. Ia berusaha membuka ingatannya. Tidak bisa. Wajah lelaki itu tetap samar, suaranya pun masih tidak terdengar.
Kirana tengah membuka gorden jendela kamarnya, saat tangan Barra melingkari perutnya dari belakang.
"Sudah mandi, Sayang?" Barra mengulum kuping Kirana.
Kirana memejamkan mata. Setiap kali Barra memanggilnya dengan kata sayang, ia selalu merasa terbang tinggi. Hatinya berdebar kencang.
"Aaah," Kirana mendesah. Tangan Barra sudah menyelusup ke balik kaosnya.
"Sayang, aku masih mau. Boleh?" rayu Barra. Saat ini, Barra tengah mengigiti bahu Kirana yang terbuka.
Kirana memiringkan kepalanya, untuk memudahkan Barra. Ia sedang mengigit bibirnya agar suara desahannya tidak keluar. Tangan Barra sudah bermain di dadanya.
Barra menggendong Kirana ke tempat tidur. "Kita pindah, biar bisa lebih leluasa," Barra memberikan senyum liciknya pada Kirana.
Pagi itu, keduanya kembali mereguk indahnya cinta mereka. Berkali-kali Kirana meneriakkan nama Barra. Sementara Barra, seakan tidak pernah puas mengambil kenikmatan dari tubuh Kirana. Baginya, tubuh Kirana sudah menjadi candu. Ia selalu ingin merasakan lebih dan lebih lagi.
Kirana kembali menitikkan air matanya saat di akhir Barra meneriakkan namanya. "Terima kasih, Sayang. Aku sangat bahagia," ucap Barra sebelum memeluk Kirana dari belakang.
Sama seperti Barra, Kirana pun merasa bahagia. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Kirana. Yang Kirana sendiri tidak tahu apa itu.
**********
Barra memarkirkan mobilnya di parkir khusus CEO. Seorang security bergegas membukakan pintu untuk Barra.
"Siang, Mas Barra."
"Siang, Pak Dirman," balas Barra pada security yang sudah lama mengabdi di perusahaannya.
"Saya bawakan tasnya, Mas?"
"Gak usah, Pak. Ini gak berat, kok," tolak Barra.
Pak Dirman kemudian membukakan pintu lobi untuk Barra. Resepsonis yang melihat kedatangan Barra, sontak berdiri memberi hormat. Pun, dengan beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan. Barra menganggukkan kepala sebagai balasan.
Barra masuk ke dalam lift, menekan angka 12, lantai di mana kantornya dan kantor direksi PT Archin Dawira Hutomo, berada. Gedung berlantai 13 itu merupakan kantor pusat dari perusahaan yang dipegang Barra selama 7 tahun. Perusahaan yang bergerak di bidang properti, arsitektur dan PU ini memiliki beberapa cabang di banyak daerah hingga ke luar negeri.
Barra melangkah keluar dari lift.
Seorang wanita berusia 40-an tergopoh menghampiri Barra. "Kenapa siang sekali datangnya, Mas?"
"Belum terlambat kan, Bu Mela?" Barra tersenyum manis.
"Ya belum Mas, tapi waktunya mepet banget. Mas Barra belum cek proposal dan RAB-nya," cerocos Bu Mela sambil menyiapkan beberapa dokumen di meja Barra.
Barra membuka jaket lalu duduk di kursinya. Ia membuka satu per satu dokumen yang disiapkan sekretarisnya. "Jadi siapa yang menang tender-nya, Bu?"
"PT Antara Wicaksana, Mas."
"Oke, sepertinya kita pernah bekerja sama dengan mereka."
"Tapi, mereka baru merger dengan perusahaan lain. Saya dengar direkturnya baru," jelas bu Mela.
Tok tok
Seorang pria memasuki ruangan.
"Baru datang, Loe? Habis nganter Kirana kontrol?"
Bu Mela tersenyum pada pria itu, "Siang, Mas Bayu," kemudian keluar ruangan.
"Gak. Gue ada urusan dulu. Ngapain ke ruangan gue? Kurang kerjaan? Nanti gue tambahin."
"Ciih, kerjaan gue banyak. Proyek yang di Surabaya aja belum beres."
"Nah, tuh ada kerjaan. Ngapain masih di sini, Bay?"
Bayu mengambil dokumen dari tangan Barra. "Loe udah tau siapa yang menang tender di kementrian PU?"
"PT Antara Wicaksana," jawab Barra singkat.
"Udah liat profil perusahaan, direktur baru-nya?"
"Mereka pemain lama. Kita udah pernah kerjasama juga, sebentar lagi gue ada meeting sama direkturnya,"
"Berarti Loe belum tahu," Bayu membuka satu halaman dokumen, dan menyerahkannya pada Barra. "Alexander Sasono. Alex," tunjuk Bayu.
Raut muka Barra berubah. Aura dingin terpancar kuat.
Tok tok
"Mas Barra, perwakilan dari PT Antara sudah datang. Langsung di suruh masuk atau tunggu?"
"Tunggu...," jawab Barra singkat.
Bayu menepuk punggung Barra. "Gue balik ke ruangan dulu. Jangan terpancing emosi! Loe mesti ingat ini proyek besar."
Barra menatap profil direktur rekan perusahaan di hadapannya. Tangannya mengepal, wajahnya memerah. Kilat kemarahan terlihat di matanya.
Kenapa harus dia?, pikir Barra dalam hati.
Barra memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam. Meski bagaimana pun, ia adalah CEO dari salah satu perusahaan besar di negara ini. Ia harus bisa memisahkan urusan bisnis dengan urusan pribadi.
Barra menekan interkom, "Bu Mela, tolong minta Pak Alex untuk masuk."
Tok tok
"Silakan, Pak Alex," Bu Mela mempersilakan direktur PT Antara masuk, kemudian menutup pintu.
Barra berdiri di depan mejanya. Sementara, Alex masih berdiri di depan pintu. Keduanya saling berhadapan dengan tatapan tajam. Aura permusuhan menggantung di udara.
Barra mendekati tamunya, mengulurkan tangannya. "Apa Kabar, Pak Alex?"
"Baik. Pak Barra, apa kabar?" Alex menerima uluran tangan Barra.
Mereka berjabat tangan dengan kuat.
Ceklek,
Bu Mela masuk membawakan minum untuk keduanya. Mereka melepaskan jabat tangan lalu duduk di kursi.
Barra membuka satu dokumen. "Saya sudah membaca RAN-nya, Pak Alex. Saya tidak ada masalah. Saya hanya ingin tahu detail tahap pelaksanaannya saja," jelas Barra membuka pembicaraan.
Selama kurang lebih dua jam mereka berdiskusi mengenai proyek yang akan dilaksanakan kedua perusahaan bersama kementrian PU.
"Terima kasih, saya kira untuk awalan, semunya sudah jelas," tutup Barra.
"Terima kasih juga untuk arahannya, Pak."
Barra kembali mengulurkan tangannya, yang disambut oleh Alex. "Baik. Nanti sekretaris saya akan memberikan dokumen yang diperlukan."
"Kirana apa kabar?" tanya Alex tiba-tiba.
"Pembicaraan kita sudah selesai, silakan keluar," Barra tidak menanggapi pertanyaan Alex. Ia membukakan pintu untuk Alex.
"Saya tahu dia lupa ingatan. Dia tidak ingat hidupnya selama 10 tahun ke belakang."
Brugh
Barra menutup pintu dengan kasar.
"Kita di sini untuk membicarakan pekerjaan. Bukan untuk membicarakan ISTRI saya," Barra menekankan kata istri.
Alex tersenyum sinis. "Istri? Anda cukup tahu itu hanya status aaja. Dia tidak pernah mencintai Anda. Saya yakin Anda tidak memberitahunya tentang saya. Kenapa? Anda takut dia akan berlari ke pelukan saya?!"
Barra menarik kerah kemeja Alex, lalu mendorongnya ke dinding. Matanya merah. "Jangan bicara sembarangan!" ancamnya.
"Saya tidak bicara sembarangan. Cinta Kirana itu saya bukan Anda. Dia akan kembali pada saya begitu ingatannya kembali," ungkap Alex.
Bug
Barra memukul tembok tepat di sebelah kepala Alex. Darah keluar dari buku jarinya. Ia menghempaskan Alex ke lantai. "Keluar! Kalau Anda tidak ingin proyek ini gagal, keluar!"
Alex berdiri merapikan pakaiannya. Masih menyunggingkan senyum sinis, ia keluar dari ruangan Barra.
Barra terduduk lesu di kursinya. Ia tidak memperdulikan luka di tangannya. Matanya terpejam.
Ting. Bunyi pesan masuk.
Kirana ♥♥
"Mas, masih sibuk? Jangan lupa makan ya. Luv u suamiku 💕"
Mata Barra berkaca-kaca. Apakah kamu masih mencintaiku kalau kamu bisa mengingat semuanya?
gak kayak sisi, tapi barra tetap saja was-was karena bisa membuka kenangan buruk Kirana