Pertempuran sengit di akhir musim kedua mengubah segalanya. Xander berhasil menundukkan Edward dan sekutunya, namun harga yang harus dibayar sangat mahal: darah, pengkhianatan, dan tumbangnya Evan Krest—sekutu terkuat yang selama ini menjadi sandaran kekuatannya.
Kini, di season ketiga, badai yang lebih besar mulai berhembus. Cincin takluk yang melilit jari para musuh lama hanyalah janji rapuh—di balik tunduk mereka, dendam masih menyala. Sementara itu, kekuatan asing dari luar negeri mulai bergerak, menjadikan Xander bukan hanya pewaris, tapi juga pion dalam permainan kekuasaan global yang berbahaya.
Mampukah Xander mempertahankan warisannya, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menjaga sisa-sisa kepercayaan sekutu yang tersisa? Ataukah ia justru akan tenggelam dalam lautan intrik yang tak berujung?
Pewaris Terhebat 3 menghadirkan drama yang lebih kelam, pertarungan yang lebih sengit, dan rahasia yang semakin mengejutkan.
SAKSIKAN TERUS HANYA DI PEWARIS TERHEBAT 3
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Larson sama sekali tidak tahu dirinya berada di mana saat ini.
Setelah memakai alat yang menutupi mata dan telinganya, ia tidak bisa melihat maupun mendengar suara, kecuali suara seorang pengawal.
"Bagaimana keadaan ayahku?" tanya Larson untuk kesekian kalinya. Perasaannya bercampur khawatir, kesal, dan penuh amarah.
"Ayahmu akan baik-baik saja selama kau menuruti perintah kami.”
Larson berdecak, berjalan ketika seseorang mendorong punggungnya. Ia berusaha meraba keadaan sekitar, tetapi ia tidak mengenali tempat ini.
"Ada seseorang yang ingin berbincang denganmu saat ini. Aku akan langsung menyambungkanmu dengan orang itu."
"Apa dia bosmu?"
"Kau akan tahu sebentar lagi."
Pengawal itu menekan sebuah tombol.
Xander tersenyum saat panggilannya terhubung dengan Larson. Ia melihat Alexis tengah asyik bersama Larvin.
"Larson Serravia, senang bisa berbicara denganmu," ujar Xander.
Larson menggertakkan gigi, mengepalkan tangan erat-erat. "Siapa kau dan apa maumu?"
Xander melirik Lizzy, Larvin, dan Alexis sesaat. "Aku yakin kau sudah tahu siapa yang sedang berbicara denganmu saat ini."
"Apa kau Alexander Ashcroft?"
"Kau menebak dengan satu kali percobaan. Kau benar. Aku adalah Alexander Ashcroft, orang yang ingin kau habisi.”
"Brengsek! Apa yang sudah kau lakukan pada ayahku? Aku akan menghabisimu jika kau berani menyentuh ayahku!"
"Aku tidak melakukan apa pun pada ayahmu, tapi aku mengetahui apa yang sedang ayahmu lakukan sekarang. Aku bahkan bisa melihat ayahmu dengan jelas."
"Sialan! Apa maumu?" Larson berontak karena amarah, tetapi para pengawal segera memukulinya.
"Aku sudah mengetahui semua rencanamu dan orang-orang itu. Aku hanya memberi peringatan padamu kalau kau sedang bermain dengan orang yang salah. Kau hanya akan mencelakai dirimu sendiri dan ayahmu jika kau bekerja sama dengan orang-orang itu. Menyerahlah sekarang juga."
"Brengsek! Aku pasti membalas penghinaan ini!" Larson mengabaikan rasa sakit di tubuhnya.
"Kau sepertinya tidak tahu posisimu sekarang. Kau tidak bisa melakukan apapun sekarang, kecuali kau menuruti perintahku. Selama kau menurut, kau dan ayahmu akan tetap hidup!"
"Brengsek!" Larson memaki Xander dalam hati. Ia seperti tikus yang berada di ruangan yang penuh perangkap. Ia tidak bisa melakukan apa pun selain mengikuti perintah Xander.
Jika ayahnya sampai terluka, Larson tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia bahkan belum bisa memenuhi permintaan Larvin untuk mengetahui keadaan adiknya.
Sesuai dengan kabar, Larson menyadari betapa berbahayanya Xander. Pasukannya bukan termasuk pasukan lemah. Akan tetapi, Xander dengan mudah bisa mempercundanginya.
"Larson, aku bisa menghabisimu dan ayahmu dengan mudah jika aku mau. Akan tetapi, aku memiliki rencana lain untukmu. Jadilah sekutuku."
Kesabaran Larson sudah di ujung tanduk. Di antara semua penghinaan, Xander lah yang sangat berani menghinanya dengan cara yang sangat kotor. Dibandingkan mengaku kalah bahkan sampai menjadi bawahan musuh, ia lebih baik mati. Akan tetapi, ia tidak bisa membiarkan ayahnya berada dalam bahaya.
Larson tahu jika Xander menjadikan musuh-musuhnya sebagai bawahannya dari cerita Leonel dan Leandro. Amarahnya benar-benar mendidih hingga ia tidak bisa lagi menahan dirinya.
"Kau benar-benar licik, Alexander. Kau adalah orang yang sangat licik. Kau langsung menyerangku dengan kelemahanku. Kau menyerangku sebelum aku menyerangmu."
Larson memejamkan mata erat-erat, mengendalikan napas yang terengah-engah. "Sungguh sial! Aku tidak bisa melakukan apapun sekarang."
"Kau hanya memiliki satu pilihan, Larson. Jadilah sekutuku dan ikuti semua perintahku." Xander tersenyum lebar.
Larson menghembus napas panjang. "Sampai kapan aku harus menjadi budakmu?"
"Sepuluh tahun."
Larson mengutuk Xander dengan sumpah serapah. Ia tidak akan rela meninggalkan dunia ini sebelum menghabisi Xander. "Aku ingin mengajukan persyaratan."
"Kau tidak memiliki hak untuk mengajukan persyaratan. Jika kau bersikeras, ayahmu akan berada dalam bahaya."
Larson berdecak. "Baiklah, aku setuju.”
Ini kali pertama Larson kalah dengan cara sehina ini. Ia bisa mengerti bagaimana marahnya Leonel dan Leandro.
"Aku memegang janjimu, Larson. Kau bisa bertemu dengan ayahmu sebentar lagi." Xander menutup panggilan sepihak.
"Alexander!" teriak Larson, "Sial, dia memutus panggilan sepihak."
Para pengawal membawa Larson menjauh dari ruangan Larvin. Mereka sengaja melakukannya agar Larson mengira dia terperangkap di tempat berbahaya.
"Brengsek! Kemana kalian akan membawaku?"
Para pengawal mengabaikan Larson.
"Pertemukan aku dengan ayahku sekarang! Alexander sudah mengatakan kalau kalian harus mempertemukanku dengan ayahku secepatnya!"
Larson berputar-putar di koridor hingga akhirnya kembali berada di depan kamar Larvin.
"Kau akan bertemu dengan ayahmu sekarang."
Larson terdiam ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia mulai meraba keadaan sekitar, berjalan dengan cepat.
Pengawal mulai melepas alat yang dipakai Larson.
Larson menggelengkan kepala untuk mengusir pening. Penglihatannya memutar sampai akhirnya ia melihat keadaan dengan jelas.
Larson menahan napas ketika melihat keadaan Larvin. Ia melihat sebuah pemandangan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
"Sial! Apa yang sebenarnya kau lakukan, Alexander? Kenapa kau membohongiku? Dimana ayahku sekarang?"
"Diamlah!" Larvin melempar bantal ke wajah Larson.
"Ayah." Larson seketika terdiam ketika melihat Larvin tengah duduk di ranjang bersama seorang anak kecil. Ia memang melihat pemandangan itu sebelumnya, tapi ia menganggapnya sebagai mimpi dan kebohongan.
Larson tercenung di tempat yang sama selama beberapa waktu. Ia benar-benar tidak mempercayai semua ini. Pria itu mengira jika ayahnya sedang disekap di sebuah ruangan berbahaya. Akan tetapi, ayahnya masih berada di kamarnya dengan keadaan yang justru baik-baik saja.
"Kakek, siapa paman yang berteriak itu?" tanya Alexis.
Larson membeku, menatap tak percaya. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Larson mengamati sekeliling dan terkejut ketika melihat Xander berjalan ke arahnya. "Alexander."
Larvin mengelus rambut Alexis. "Dia pamanmu, Alexis. Dia memang sering berteriak. Kau tidak boleh meniru sikap jeleknya."
Lizzy terdiam saat melihat Larson. Ia seperti melihat ayahnya sewaktu muda.
"Kau sepertinya sangat kebingungan, Larson," ujar Xander.
"Sialan, apa yang sudah kau lakukan, Alexander?"
"Ayahmu akan menjelaskan semuanya padamu."
Larson menoleh pada Larvin yang tengah memangku Alexis. Ia terkejut ketika melihat Lizzy mendekati ranjang. Pikirannya mendadak buntu sehingga tidak bisa berpikir jernih.
Larvin menghembus napas panjang. "Larson, aku sudah mengetahui kebenaran mengenai adikku Larvin. Larvin sudah meninggal sekitar dua puluh tahun lalu saat menjalankan tugas. Setelah kami terpisah, Larvin bergabung ke dalam pasukan Samuel Ashcroft, ayah dari Alexander."
Larson terkejut, menoleh pada Xander sesaat.
Larvin menoleh pada Lizzy. "Wanita ini adalah adik sepupumu. Dia Lizzy, putri dari Larvin sekaligus istri dari Alexander. Dan anak kecil ini adalah keponakanmu sekaligus cucu Larvin yang tidak lain adalah cucuku juga."
Larvin kembali menangis.
Alexis memeluk Larvin. "Kakek, kenapa kau bersedih?"
Larson lagi-lagi terkejut. Sekujur tubuhnya bergetar sangat hebat karena tidak menduga hal ini akan terjadi.
"Aku bisa tenang sekarang." Larvin menyeka tangis, kembali bermain dengan Alexis.
Larson menggertakkan gigi, berusaha untuk menerima semua ini sekaligus. Ia mengerti kenapa ayahnya memintanya untuk membatalkan kerja sama dengan Leonel, Leandro, dan yang lain.
Larson mendongak, tertawa karena menyadari kebodohannya. "Sialan! Kau pasti sengaja melakukan hal ini padaku, Alexander. Dasar gila."
Xander berdiri di hadapan Larson. "Jadi, apa keputusanmu, Larson? Apa kau tetap akan menghabisiku dan keluargaku?"
"Aku hanya akan menghabisimu tanpa menghabisi sepupuku dan keponakanku." Larson berdecak. Ia merasa lega ketika melihat Larvin tersenyum dan tertawa, sesuatu yang sangat jarang ia lihat.
Alexis turun dari kasur, berlari ke arah Larson. Xander dengan cepat mencegahnya, memberi tanda pada pengawal untuk bersiaga.
Alexis mengamati Xander dan Larson bergantian.
"Alexis, kemarilah. Pamanmu belum membersihkan diri. Kau akan tertular bau darinya." Larvin meledek.
Larson mengembus napas panjang. "Aku kalah bahkan sebelum aku menyerangmu. Kau menang, Alexander.”
bahkan ada keluarga yg sudah kalah tapi gak mau mengakui kekalahan.
Sungguh di luar prediksi pembaca..
Tetap semangat & sehat selalu Thorr...
livy sepupu larson