"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
*
“Astaga, aku nggak punya baju ganti.”
Ajeng terkejut sendiri saat wanita itu baru saja selesai mandi.
Entah apa dia pikirkan. Bisa-bisanya, Ajeng lupa kalau semalam dia tidak membawa satu pakaian pun, selain yang ia kenakan.
“Duh, gimana ini? Mana bajuku yang satunya jatuh lagi. Masa pakai baju basah?”
Wanita itu kebingungan. Namun, sedetik kemudian, dia mendapatkan ide cemerlang.
“Pinjem baju Mas Bian aja kali ya?”
Setelah berpikir beberapa saat, Ajeng yakin untuk meminjam pakaian Biantara.
Berhubung semalam Biantara tidak tidur di kamarnya—karena kamarnya dia tempati, Ajeng memutuskan meminjam dulu, baru meminta izin.
Menyambar handuk sekenanya, Ajeng lantas keluar dari kamar mandi. Dia memperhatikan arah lemari yang sudah dia tahu dimana tempatnya, kemudian berlari kecil kesana dengan kaki telanjang.
Tanpa ragu, tangannya membuka lemari besar yang ia yakini sebagai lemari pakaian Biantara. Dan benar saja, ada beberapa pakaian formal dan non formal disana meskipun tak terlalu banyak.
Ajeng sendiri maklum. Pasalnya, baru kemarin lelaki itu menempati hunian modern itu.
“Yang mana ya?” Gumamnya pelan.
Ajeng bukan sedang memilih model. Tapi, dia sedang memilih mana yang pantas dia pakai dan tidak akan berpotensi dimarahi oleh Biantara.
“Yang ini aja deh. Kolor sama kaos oblong. Semoga aja dia nggak marah.”
Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Ajeng mulai membuka handuk yang hanya menutupi setengah da da hingga setengah pa hanya saja.
“Swiiit… Swiiittt….”
Mendengar siulan yang begitu dekat, tubuh Ajeng sontak menegang.
Ya, dia tahu jika siulan itu berada di dalam kamar yang sama dengannya, lebih tepatnya ada di belakangnya.
Tangannya yang hampir menurunkan handuk—urung, lalu kembali menangkup benda itu di tu buhnya.
“Kenapa nggak jadi dibuka, Baby? Aku baru lihat sedikit saja waktu kamu menunduk tadi.”
Sontak, Ajeng berbalik dengan wajah yang dibuat garang. Alisnya hampir menyatu, bibirnya mengkerut, matanya juga dilebar-lebarkan, siap memarahi Biantara.
Tapi sayangnya, jangankan merasa takut, Biantara justru menaikkan satu alisnya tengil dengan kaki mulai melangkah mendekati Ajeng.
“Eh, kamu mau apa, Mas? Kok kamu bisa disini?” Panik wanita itu.
Satu tangannya mencengkeram erat handuk, di bagian da danya. Sementara kakinya mundur teratur menciptakan jarak dengan lelaki itu.
“Kamu lupa kalau ini kamarku, hem? Aku bisa melakukan apapun disini.”
“Tapi kan kamu minjemin kamar ini ke aku.”
“Hanya kamar kan? Bukan memberimu kebebasan untuk memakai bajuku juga.”
Ajeng langsung diingatkan dengan pakaian Biantara di tangan kanannya.
“Oh ini? Em, Maaf, aku lupa kalau nggak punya baju. Jadi, aku mau pinjem dulu, baru bilang kalau udah ganti baju. Akh!”
Tu buh Ajeng kembali dibuat tegang saat punggungnya membentur pintu.
“Ngelunjak sekali kamu, hem?”
Brak!
Ajeng terlonjak saat tangan Biantara mengungkung di samping kepalanya, membentur lemari.
Wanita itu sampai menutup matanya, karena merasa tak bisa melepaskan diri lagi.
“Berharap apa kamu, hem? Kamu ingin ku cium?”
Ajeng membuka matanya cepat, lalu menggeleng panik.
“Se—semalam udah kan.”
“Tapi sekarang, kamu menantangku, Baby.”
Tatapan Biantara nakal menguliti wajah Ajeng, lalu turun ke bahu dan da da atasnya yang terbuka.
Tentu saja, Ajeng langsung menutup bahu telan jangnya yang dengan cara menyilangkan kedua tangannya.
“Kenapa kamu malu-malu, Baby? Aku bahkan sudah melihat semuanya.”
“Ish, kalau kamu lihat lagi, nanti kamu pengen.”
“Ya, aku sudah sangat ingin sekarang.”
Tatapan Biantara benar-benar buas. Suaranya juga menyeramkan seperti saat Ajeng belum mengenal lelaki itu.
“Nggak bisa! Aku lagi datang bulan.”
Biantara meregangkan jarak. Menatap pa ha Ajeng yang terbuka, hingga wanita itu salah tingkah.
“Mana darahnya? Kamu udah nggak pakai pembalut lagi, kan?”
“Ih, jorok!” Spontan, Ajeng menutup mata Biantara.
“Lebih jorok mana dari saat aku men ji lat itumu?” lelaki itu menurunkan tangan Ajeng di matanya.
“Nggak usah dibahas, Mas!” Ajeng merengut kesal.
“Tapi aku sedang ingin membahasnya, Baby. Bukankah sekarang kita adalah sepasang kekasih, hem?”
“Ah!” Ajeng kembali dibuat terkejut saat tangan Biantara mulai mengelus pipinya.
Sialnya, sentuhan ringan itu mampu membuat sekujur tubuh Ajeng meremang bulu romanya.
“Mas, kita udah bikin kesepakatan. Cuma ciu man dan pelukan aja. Itupun jangan sering-sering kan?” Rengek Ajeng karena merasa tak mampu melawan.
“Kalau begitu, cium aku sekarang!”
“Eh, nggak mau!”
“Sebagai bayaran, Baby. Bukankah kamu memintaku mengantar ke pengadilan dan bertemu teman kecilmu itu, hem?”
Teman kecil yang dimaksud Biantara adalah Monik. Pasalnya, beberapa surat-surat penting masih ada di tangan gadis itu.
“Kerjain dulu, baru bayar.”
“Bayar dimuka! Aku janji, nanti nggak minta lagi.” Biantara mulai terlihat aslinya.
Kalau soal se-ks dengan Ajeng, laki-laki itu benar-benar kehilangan harga dirinya.
“Nanti kamu minta lebih.” Ajeng mengingatkan.
“Enggak, Baby. Aku janji.”
“Kalau kamu bohong, bayar aku 10 juta.”
“Oke. Aku kasih 10 juta sekarang juga.” yakin Biantara.
“Ish, nggak jadi! Nggak jadi! Kalau kamu ingkar janji, kita putus aja.”
“Ancamanmu mengerikan, sayang.” tangan Biantara menyentuh ringan tulang selangka Ajeng.
“Makanya, bikin kesepakatan dulu.” wanita itu sedikit menggoyangkan bahunya karena risih dengan tangan Biantara membuatnya geli.
“Lama-lama, pembicaraan kita isinya hanya tentang perjanjian semua, Baby. Setiap akan melakukan apapun kamu selalu mengajak bikin kesepakatan dulu. Mau satu ciuman saja, harus perjanjian dulu.” keluh Biantara.
“Aku nggak mau rugi lah…”
Ya memang. Meskipun Ajeng pun mau, tapi wanita itu akan mengulur waktu sebisanya, agar Biantara mengurungkan niatnya. Tapi, lelaki itupun juga selalu berhasil mendapatkan bi bir Ajeng, dengan dalih membalas budi.
“Pintar! Wanitaku memang harus pintar.”
Baru saja Biantara mulai mendekatkan wajahnya, Ajeng sudah menahannya lagi.
“Kan yang semalam udah, Mas. Aku juga bantuin kamu di kamar mandi loh.” Tiba-tiba, Ajeng teringat sesuatu. “Ck. Dasar nggak tahu malu!”
“Kenapa harus malu? Itu bukan pertama kali kamu melihatnya.”
“Ya emangnya nggak risih apa?”
“Aku lupa apa itu risih. Apalagi kalau sama kamu."
“Ck. Memalukan! Jangan-jangan kamu seperti itu sama perempuan di luar sana." Tuduh Ajeng.
Sebetulnya, dia sedang ingin mengulur waktu lagi, siapa tahu Biantara lupa.
“Jangan salah, Baby. Aku seperti ini cuma sama kamu. Aku sudah menganggapmu istriku.”
“Oh ya? Tapi, kamu harus menikahiku dulu, Mas.”
“Makanya cepat cerai.”
“Ya kan ini mau berangkat. Tapi, kamu malah minta imbalan mulu.” Ajeng kesal. “Eh, tapi aku nggak punya baju, Mas. Kata Monik, Mas Rendy larang dia beresin baju-bajuku.”
“Itu soal gampang, Baby. Yang penting, ciu mannya dulu.”
“Ish, dibilangin semalam udah.”
“Itu sebagai imbalan karena aku memberimu tumpangan.”
“Dasar licik. Bisanya manfaatin aku.”
“Kan timbal balik. Nanti, aku belikan kamu banyak baju buat ganti.”
“Kamu benar-benar nggak mau rugi ya, Mas.”
“Coba kamu hitung! Aku rugi apa enggak jika dibandingkan dengan effortmu ke aku? Berapa kali kita berciu man di luar hubungan waktu itu? Aku rasa baru dua kali saja.”
“Ish, perhitungan!”
“Orang tidak mencintaimu tidak akan melakukan seperti yang aku lakukan, Ajeng. Aku tahu, aku selalu nggak sanggup menahan diri saat di dekatmu. Makanya, aku kasih kamu banyak hal untuk mengapresiasi. Bukan sebagai bayaran.”
“Kalau gitu, ya udah, ayo. Tapi, inget kesepakatan kita.”
“Sure, Baby.”
Tanpa membuang waktu, Biantara memakan bi bir Ajeng. Tak tanggung-tanggung, menggebu dan terlihat rakus.
“Bi birmu manis. Kamu pasti sudah gosok gigi.”
“Kamu lucu. Ngapain bahas itu?” Ajeng terkikik.
“Baiklah… sepertinya, kamu nggak mau basa-basi. Pasti, kamu udah nggak tahan kan, Baby?”
Ajeng baru saja melotot ingin protes, tapi Biantara tak memberi kesempatan suaranya keluar. Lelaki itu kembali mendominasi Ajeng dengan caranya sendiri.
“Mas… udah… nanti kamu mau lagi. Aku nggak mau bantu kamu kayak semalam.” Ajeng mendorong dada Biantara, menahan lelaki itu.
“Aku belum puas, honey. Aku mau lagi.”
“Emph.”
Ajeng tak diberi ampun. Mereka hampir kehilangan kendali kalau saja salah satu dari mereka tidak kuat.
Bukan, bukan Ajeng yang kuat, tapi justru Biantara yang mati-matian menahan diri, namun juga tak mau berhenti.
Ajeng kalah. Dia sudah pasrah dengan tangan mengalung di leher Biantara. Han duk yang dia pakai, sedikit lagi terjatuh seperti pakaian Biantara—yang dia curi tadi—sudah teronggok tak berharga di lantai.
Namun, sebisa mungkin Biantara menahan handuk itu agar tetap pada tempatnya kalau dia tak ingin hilang kendali.
Pasalnya, entah kenapa lelaki itu yakin sekali jika Ajeng sudah selesai masa periodenya. Jadi, menurutnya mudah saja dia melakukan apapun kepada istri orang itu.
Antara ingin melanjutkan, tapi juga menahan diri. Serta antara ingin menyudahi tapi tak mau berhenti. Mereka semua berperan hebat di jiwa Biantara.
“Sudah!”
Lelaki itu melepas cepat ciu man ebih dulu. Ajeng yang sedang melayang, langsung merasa jatuh ke lantai karena terkejut.
“Mas?”
“Sudah cukup, sayang… aku hampir nggak sanggup.” Biantara masih memegangi handuk Ajeng yang sudah terlepas simpulnya.
“Ya—yakin sudah?” Entah, apa maksud Ajeng bertanya seperti itu.
“Jangan menantangku, Ajeng. Aku bisa benar-benar memakanmu sekarang.”
“Eh, jangan dong, Mas… nanti aja kalau udah nikah.”
“Kamu mau menikah denganku, Ajeng?” Hasrat yang menggebu tadi, langsung luruh seperti tersiram air dingin.
“E—em, belum tahu.” Jawab Ajeng gelagapan. Dia sendiri tak tahu pasti kenapa menjawab seperti tadi.
“Kamu harus mau! Kamu harus mau menikah denganku.”
Ajeng tersenyum. Dia kembali mengalungkan tangannya di le her Biantara. “Asal kamu janji mau setia, sepertinya bisa dipertimbangkan. Aku nggak suka rumah tangga poligami.”
“Aku juga tidak suka poligami, Sayang. Jatuh cinta saja susah.”
“Eh, katanya udah cinta sama aku. Kita kan kenal cukup deket, baru kemarin.”
“Aku tertarik denganmu sejak lama, Baby. Sejak kita mulai bekerjasama. Mungkin, sejak dua tahun lalu. Dan aku rasa, kedekatan kita semakin memperjelas perasaanku ke kamu.”
“Tapi, kamu udah tahu gimana aku, Mas. Aku cuma seperti ini. Aku nggak spesial.”
“Kamu lebih dari spesial, Baby. Aku mencintaimu, Ajeng.”
Ajeng tersentuh. Wanita itu lantas memeluk Biantara hingga pegangan tangan lelaki itu di handuk Ajeng terlepas.
Beruntung, lelaki itu masih sigap menahannya dengan bantuan tubuhnya.
“Sampai kapan kita seperti ini terus, Baby?” Tanya Biantara karena Ajeng terus memeluknya, tak peduli walau harus berjinjit lama.
“Ee… gimana ya, Mas, cara lepasnya? Soalnya, kalau aku mundur dikit handukku pasti lepas.”
Mendengar hal itu, Biantara justru tertawa renyah. Bukannya membantu Ajeng, Biantara malah sengaja merentangkan kedua tangannya, dan sengaja memundurkan tubuhnya agar handuk Ajeng terjatuh.
“Aaa! Bantuin, Mas! Nanti kamu lihat!”
“Nggak apa-apa. Biar impas. Kamu udah melihat punyaku semalam, sayang.”