NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31

Malam telah larut. Satria tak menyangka jika ia akan pulang selarut ini. Jalanan mulai lengang, hanya tersisa beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan bunyi mesin yang menggema di antara deretan gedung dan pepohonan di pinggir jalan. Lampu jalan memancar redup, memantulkan bayangan panjang di aspal hitam yang kering.

Sepuluh menit menuju perumahan rumahnya, Satria melajukan mobil dengan kecepatan stabil. Jalan utama menuju kompleks itu lebar dan mulus, diapit deretan pohon palem tinggi serta lampu taman yang tertata rapi di sepanjang sisi jalan. Semakin mendekat, suasana berubah tenang dan elegan—gerbang besar dengan logo perumahan elit berdiri megah, dijaga dua petugas keamanan yang menyapa ramah dan akrab saat mobilnya melintas.

Sesampainya di depan rumah, Satria menekan tombol remote. Gerbang otomatis terbuka perlahan, menyingkap halaman luas dengan taman kecil di sisi kiri dan lampu taman yang berpendar hangat. Mobilnya masuk ke pekarangan, berhenti tepat di depan garasi. Ia mematikan mesin, lalu diam sejenak, membiarkan keheningan malam menyelimuti sebelum akhirnya menarik napas panjang dan keluar dari mobil.

Satria melirik jam di pergelangan tangannya—tepat pukul sebelas lewat lima belas malam. Ia menghela napas pelan, sedikit tak percaya waktu berlalu begitu cepat. Malam sudah sedalam ini, namun pikirannya masih terasa penuh, seolah hari belum benar-benar berakhir.

Kunci digital di pintu mengenali sidik jarinya dengan bunyi klik lembut. Pintu terbuka perlahan, menyingkap ruang tamu yang terang benderang oleh lampu gantung kristal. Aroma lembut dari pengharum ruangan menyapa hidungnya, bercampur dengan wangi kayu dari furnitur yang tertata rapi.

Satria melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Suasana rumah begitu tenang—terlalu tenang, bahkan. Tak terdengar suara televisi, tak ada langkah kaki, hanya dengung halus pendingin ruangan yang mengisi keheningan. Mungkin semua orang rumah sudah tertidur pulas. Batinnya. Termasuk Amira.

Amira. Ia menyebut nama itu lagi. Matanya perlahan menghangat sambil melepaskan jas kantornya dan menaruh kunci mobil di atas meja konsol dekat pintu.

Tak berhenti langkahnya bergerak, Satria menerobos ruang tamu dan berjalan menuju ruang dapur. Sepatunya menimbulkan bunyi pelan di lantai marmer yang dingin, berpadu dengan gema halus dari ruang luas itu.

Begitu tiba di sana, langkahnya melambat. Ia menatap ruangan itu—steril, rapi, seolah tak pernah disentuh. Hanya dentingan kecil dari kulkas yang terdengar, menjadi satu-satunya suara di antara kesunyian malam itu.

Satria kemudian membuka lemari pendingin itu. Cahaya putih dari dalam kulkas langsung menerangi wajahnya yang tampak letih. Di dalamnya, barisan botol dan wadah tertata rapi.

Tangannya meraih sebotol soda dingin. Uap air langsung menempel di kulit jarinya, meninggalkan rasa dingin yang menusuk. Tanpa pikir panjang, ia membuka tutupnya—bunyi cesss terdengar jelas, memecah keheningan dapur.

Satria meneguknya dalam beberapa kali hentakan cepat. Rasa manis dan dingin soda mengalir ke tenggorokan, menyisakan sensasi menyegarkan sekaligus getir di dada. Botol itu lalu habis dalam sekejap. Ia menurunkannya pelan ke atas meja, menarik napas panjang, lalu menatap kosong ke arah lantai dapur yang mengilap.

"Mas Satria," Seru seseorang mengejutkan.

****

Amira membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk beristirahat. Namun, matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamar yang samar diterangi cahaya lampu tidur di sudut ruangan. Selimut yang membungkus tubuhnya terasa terlalu panas, lalu terlalu dingin, seolah tubuhnya menolak untuk tenang.

Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak, tapi pikirannya terus berputar—tentang hari yang panjang, tentang kata-kata yang belum sempat ia ucapkan, dan tentang seseorang yang tanpa sadar kembali memenuhi pikirannya malam ini.

Amira berguling ke sisi kanan, menatap jam di meja kecil di samping ranjang. Hampir tengah malam. Ia menghela napas pelan, lalu menatap kosong ke arah jendela yang tirainya setengah terbuka. Di balik sana, langit malam tampak pekat, sepekat perasaan yang berputar di dadanya saat ini.

Ia kemudian beranjak dari tidurnya, berdiri pelan di sisi ranjang agar tak menimbulkan suara. Matanya menatap ke arah Angga yang masih terlelap di atas ranjang besar itu. Lelaki itu tampak begitu tenang—wajahnya lembut dalam cahaya lampu tidur, napasnya teratur, dan sedikit senyum samar menghiasi bibirnya, seolah tengah bermimpi indah.

Rasa iri perlahan menyusup ke dada Amira. Angga tampak begitu nyaman, begitu damai, seolah dunia di sekitarnya tak pernah menuntut apa pun. Ia tidur lelap di atas ranjang hangat dan empuk, tanpa sedikit pun gelisah.

Amira akhirnya memutuskan tuk melangkah pelan keluar dari kamar. Ia membuka pintu dengan hati-hati agar engselnya tidak menimbulkan suara, lalu menutupnya kembali tanpa bunyi. Begitu berada di luar, suasana rumah langsung menyergapnya—sunyi dan dingin, hanya terdengar dengung lembut dari pendingin udara yang bekerja di kejauhan.

Lampu di koridor menyala redup, memantulkan bayangan panjang di lantai marmer yang mengilap. Amira menuruni anak tangga perlahan, memegangi pegangan tangga agar langkahnya tidak menimbulkan bunyi.

Setiap anak tangga terasa dingin di telapak kakinya, dan udara malam yang mengendap di lantai bawah membuat tubuhnya sedikit menggigil. Lampu kecil di dinding tangga memantulkan cahaya temaram, cukup untuk menuntunnya menuju dapur.

Begitu sampai di bawah, rumah terasa semakin sunyi. Jam dinding di ruang makan berdetak pelan, seolah menjadi satu-satunya suara yang hidup di tengah keheningan itu. Amira berjalan menuju dapur.

Sedikit minum, pikirnya. Mungkin itu bisa membuatnya tenang—setidaknya cukup untuk membuat matanya bisa terpejam nanti. Namun ketika langkahnya menuju kulkas, geraknya tiba-tiba terhenti.

"Mas Satria," Begitu serunya. Mbuat pria itu tersentak. Gerakan refleks membuatnya berbalik, dan dalam sekejap pandangan mereka bertemu.

Waktu seolah berhenti di antara keduanya. Tak ada suara selain denting halus dari kulkas yang baru saja tertutup. Sorot mata Amira bergetar—antara terkejut dan tak percaya—sementara mata Satria membalas dengan tatapan yang sulit dibaca, kaget, bingung, dan entah sedikit rindu yang berusaha disembunyikan di balik dinginnya ekspresi.

"Mas," Ulang Amira lagi. Kali ini dengan nada yang bergetar. Nyaris tak bersuara.

Satria akhirnya mengalihkan pandangannya. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah melewati Amira—gerakannya cepat, kaku, seolah ingin segera mengakhiri momen canggung itu. Aroma khas tubuhnya sekilas tercium ketika ia berjalan di sisinya, membuat dada Amira bergetar tanpa ia sadari.

Namun saat jarak di antara mereka tinggal beberapa langkah, tangan Amira terulur refleks, menahan lengannya. Sentuhan itu membuat langkah Satria terhenti seketika. “Mas, tunggu…” Ucapnya.

Satria tak menoleh. Tubuhnya tetap tegak, pandangannya lurus ke depan seolah tak mendengar apa pun. Namun dari cara bahunya sedikit menegang, jelas ada sesuatu yang sedang ia tahan—sesuatu yang tak ingin pecah di hadapan wanita itu.

Amira menatap punggungnya lama, sebelum akhirnya memberanikan diri melangkah lebih dekat. Suara langkahnya terdengar pelan di lantai marmer, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa berubah. Ia kini berdiri di hadapan Satria, mencoba menangkap wajah yang sejak tadi berusaha ia hindari.

Wajah itu berbeda—dingin, tegas, tapi di balik sorot matanya yang tak mau beralih, Amira tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Rindu.

Jelas, rindu itu berusaha ia sembunyikan dengan menatap lurus ke depan, dengan rahang yang mengeras dan bibir yang terkatup rapat. Namun Amira bisa merasakannya—rindu yang tertahan, yang nyaris meledak hanya karena jarak sedekat ini.

"A-aku ...," Amira menelan saliva. "A-aku mohon beri aku kesempatan untuk bicara sebentar sama kamu, Mas."

Jakun Satria bergoyang naik turun perlahan. Ia menelan keras, menandakan pergulatan yang tak kasatmata di dalam dirinya. Tatapannya tetap lurus ke depan, tapi jemarinya mengepal pelan di sisi tubuhnya. Ia bahkan masih membiarkan wanita itu memegang lengannya.

"A-Apa yang kamu lihat, A-Apa yang kamu pikirkan, itu semua salah." Ungkap Amira. "Aku tidak pernah ... mengharapkan pernikahan ini terjadi antara aku ... dan Kakak kamu, Mas."

Mata Amira mulai menghangat begitu cepat, bahkan tak dapat membendung pecahannya hingga jatuh membasahi wajah. Jari yang dulu sigap mengusir kesedihan itu, kini hanya diam nyaris tak peduli.

“Aku terpaksa menerima pernikahan ini … karena memenuhi permintaan Ayahku dan …” Suara Amira terhenti. Bibirnya bergetar, matanya menunduk, seolah kata-kata berikutnya tersangkut di tenggorokan.

Hening sejenak mengisi ruang di antara mereka. Hingga akhirnya, Amira kembali melanjutkan ucapannya, menceritakan kembali kejadian pada saat Angga menabrak dirinya, menghancurkan ponselnya sehingga ia tidak lagi bisa menghubungi Satria, mengantarkan ia pulang hingga tuduhan warga sampai memaksa mereka untuk menikah.

Satria tetap berdiri di tempatnya, tak bergeming sedikit pun. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi—hanya matanya yang menatap lurus, menolak menoleh ke arah Amira.

"Lihat aku Mas, aku mohon. Apa ada kebohongan yang aku sembunyikan dari kamu?"

Satria masih berdiri kaku, tidak menatapnya, tapi ia mendengarkan. Napasnya berat, tapi teratur, seakan berusaha menahan sesuatu agar tak pecah.

“Mas?!” Desak Amira, suaranya pecah di tengah keheningan malam. Ia menggoyangkan lengan kokoh itu, berharap Satria menoleh, berharap ada sedikit saja respon darinya. Tapi pria itu tetap diam—kaku, dingin, seolah seluruh emosinya terkunci rapat di balik tubuh yang tegap itu.

“Mas, tolong lihat aku…” Lanjutnya, nada suaranya nyaris memohon. Matanya berkilat, penuh dengan perasaan yang sulit dibendung—antara penyesalan, ketakutan, dan keinginan untuk dimengerti. Ia tampak seperti seorang anak kecil yang tengah merengek, menuntut perhatian dari seseorang yang sedang berusaha menjauh.

Detik berikutnya, Satria tertegun. Ia menatap Amira akhirnya. Tatapan itu tajam, tapi di balik dinginnya, tersimpan sesuatu yang lebih dalam, campuran antara luka, rindu, dan kebingungan yang tak mampu ia samarkan. Pandangannya menelusuri wajah Amira, dari mata yang berair, bibir yang bergetar, hingga napasnya yang tersengal pelan karena emosi yang tertahan. "Sudah cukup memberikan aku alasan?" Katanya kemudian.

Amira tersentak, "Ma-Mas Satria ...,"

Satria menepiskan tangan Amira dengan gerakan cepat namun tegas. Ia kemudian berpaling tanpa kata-kata lagi. Tubuhnya bergerak mantap, melewati Amira dengan langkah tegas dan juga dingin. Setiap langkahnya meninggalkan gema pelan di lantai marmer, seolah menandai jarak yang kian menjauh antara mereka.

"Seseorang bilang kalau pondasi dalam sebuah hubungan itu adalah kepercayaan,” Lanjut Amira, suaranya lembut namun penuh tekad, mencoba menata keberanian di tengah perasaan yang campur aduk. Saat ia berbalik, Satria ternyata berhenti beberapa langkah di depan, memunggunginya.

Amira menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya bahkan bergetar melawan rasa takut yang menyusup tanpa diundang. Napasnya tersengal pelan, seolah udara di sekitarnya terlalu tebal untuk dihirup dengan tenang.

Berharap Satria berbalik dan memberikan kesempatan kepada Amira, ia justru kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan kekasihnya di tempatnya berdiri. Langkahnya mantap, tegas, seolah setiap tarikan kaki ingin menegaskan jarak yang sengaja ia ciptakan.

Wanita itu tak memanggil namanya. Tak mengejarnya. Di belakangnya, terdengar isak tangis kekasihnya yang pecah pelan—gemetar, putus asa, dan penuh luka. Namun ia tetap tak menghiraukan. Hatinya seolah menutup diri rapat, menahan segalanya, meski suara tangis itu menggema di telinganya.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!