“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.29
Sore itu, Laras memberanikan diri. Dengan alamat yang digenggam erat, ia datang ke rumah sederhana milik Amora. Rumah itu dulu sempat hampir ia tempati, namun kini hanya menyisakan getir dalam ingatan.
Tangannya gemetar ketika menekan bel. Degup jantungnya berpacu cepat, seperti hendak melompat keluar dari dada. Tak lama, pintu terbuka. Amora berdiri di ambang, wajahnya sontak kaku begitu melihat siapa tamunya.
“Ka… kamu?” lirih Amora, suaranya nyaris tak terdengar.
“M-Mbak Amora,” sapa Laras dengan senyum gugup, berusaha menutupi kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Ngapain kamu ke sini?” suara Amora datar, dingin, seperti tembok tinggi yang sulit ditembus.
Belum sempat Laras menjawab, suara lain terdengar dari dalam rumah. “Siapa, Ma?” Ivana muncul dengan langkah ringan. Namun begitu matanya menangkap sosok di depan pintu, langkah itu terhenti. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya lenyap, berganti tatapan penuh kebencian.
“Cih,” dengus Ivana. “Suami gagal, anak-anaknya gagal. Sekarang istrinya datang? Memalukan.”
Kalimat itu menghantam Laras seperti batu besar. Amora terkejut mendengar kata-kata putrinya, namun tak sempat menghentikannya. Laras memberanikan diri membuka suara.
“Ivana… Tante mohon. Tolong bantu kami. Kasihan adik-adikmu, mereka masih sekolah, masih butuh biaya.” Suaranya bergetar, hampir pecah.
Ivana menyilangkan tangan di dada, bibirnya melengkung sinis. “Adik? Mereka bukan adikku. Dan sekolah mereka bukan tanggung jawabku. Asal kamu tahu—dari kecil sampai kuliah, aku nggak pernah minta sepeser pun dari lelaki brengsek itu.”
Suasana menegang. Laras menatap Ivana dengan mata berkaca-kaca, lalu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ivana dan Amora.
“Mbak…” Amora membelalak kaget. Perempuan yang dulu begitu angkuh kini merendahkan diri habis-habisan.
“Ivana… Tante mohon.” Suara Laras serak, hampir patah. Air matanya jatuh, membasahi lantai teras.
Dan kata-kata berikutnya membuat Ivana meledak.
“Kalau kamu nggak mau bantu adik-adikmu, setidaknya balas budi pada Papa. Kalau bukan karena dia, kamu nggak akan ada di dunia ini.”
BRAK! Ivana sontak menarik rambut Laras dengan kasar. Wajahnya merah padam, matanya berkilat tajam penuh amarah.
“Dengar baik-baik!” teriaknya. “Aku nggak akan pernah balas budi pada laki-laki yang cuma bisa bikin Mama menangis setiap malam! Kalau bukan karena dia, hidupku nggak akan penuh luka!”
“Ivana, lepaskan, Nak!” Amora panik, berusaha melerai, tapi Ivana tak peduli.
Laras meringis kesakitan, tubuhnya gemetar hebat. “Ivana… aku hanya… minta tolong…”
Dengan brutal, Ivana mendorong Laras hingga jatuh tersungkur di lantai teras. Nafasnya memburu, tangannya bergetar karena menahan emosi yang sudah lama dipendam.
“Pergi dari rumahku. Sekarang juga. Dan bawa semua rasa tidak malumu itu!”
Tatapan Ivana menajam, penuh kebencian. Laras hanya bisa menunduk, menahan tangis yang pecah di dadanya. Amora berdiri kaku di samping putrinya, hatinya tercabik. Ia ingin menghentikan Ivana, tapi di sisi lain ia tahu—Ivana tidak sepenuhnya salah. Luka lama itu nyata.
*
*
*
Sementara itu di Bali, suasana jauh berbeda. Damian dan Daisy memutuskan pergi berdua ke pusat oleh-oleh. Mereka ingin membeli hadiah untuk orang-orang di rumah, sementara Vio mereka titipkan pada Jasmin dan Niklas.
Di toko oleh-oleh, Daisy tampak begitu bersemangat. Ia meneliti satu per satu barang khas Bali—kain, gelang kayu, hingga gantungan kunci lucu. Matanya berbinar, senyumnya merekah. Damian hanya menemaninya sambil sesekali tersenyum, menikmati antusiasme istrinya.
Setelah belanja cukup banyak, mereka sepakat kembali ke hotel. Namun sebelum itu, Damian menggandeng tangan Daisy dan mengajaknya singgah ke sebuah warung makan sederhana dekat pantai.
Mereka duduk di meja tepi jendela, langsung menghadap lautan biru yang berkilauan diterpa sinar matahari. Angin pantai bertiup lembut, menebarkan aroma asin yang khas, menyapu rambut Daisy yang jatuh menutupi pipinya.
Saat menunggu pesanan datang, Damian tak bisa menahan diri untuk menatap Daisy. Pandangannya begitu intens, membuat Daisy merasakan debaran di dadanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya malu-malu, pipinya merona.
Damian tersenyum tipis, tapi tak mengalihkan tatapannya. “Dulu kamu benci banget sama aku. Kenapa?”
Daisy terdiam sejenak. Jemarinya memainkan sedotan di gelas, matanya menunduk. Lalu ia menghela napas panjang.
“Awalnya karena kita menikah dijodohkan. Aku merasa hidupku dipaksa, aku kehilangan kebebasan yang selama ini kupegang erat. Dan kamu… terlalu banyak mengatur, seolah semua yang kulakukan salah.”
Damian menunduk sedikit, menatap jemari Daisy yang masih sibuk. Ada rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya.
“Aku kira, kamu cuma mau harta orang tuaku saja,” tambah Daisy lirih. Tatapannya kini mengarah ke laut, suaranya hampir terbawa angin.
Alis Damian berkerut. Ia terdiam, mencoba meredam perasaan yang bergejolak. “Aku cuma… khawatir. Dan aku bukan lelaki seperti itu, Daisy.”
“Aku tahu, dan aku percaya sekarang. Tapi caramu melindungiku dulu terasa seperti mengikat. Aku merasa… kamu nggak percaya kalau aku bisa jaga diri.” Nada Daisy melembut, meski matanya tetap menatap Damian serius.
Damian menyandarkan punggung ke kursi, menghela napas panjang. “Jadi itu alasan kamu benci aku.”
Daisy tersenyum tipis, lalu meneguk minumannya. “Ya. Tapi sekarang aku sadar… mungkin aku juga terlalu keras kepala. Aku cuma butuh waktu untuk mengerti kalau caramu sayang berbeda dengan caraku.”
Ia terkekeh kecil. “Lagipula dulu aku masih muda, masih labil.”
Damian menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kalau begitu… aku janji akan belajar. Biar kamu tetap bebas, tapi tetap dalam jangkauan aku.”
Daisy spontan terkekeh. “Lihat? Kamu masih aja ngatur.”
Mereka berdua tertawa, suara mereka menyatu dengan deburan ombak yang menghantam pantai. Suasana makan siang itu terasa hangat. Aroma masakan khas Bali yang menggoda semakin mencairkan sisa ketegangan.
Namun satu hal yang tak berubah—tatapan Damian yang tak pernah bosan menatap Daisy. Baginya, seolah dunia hanya ada satu orang di hadapannya: istrinya yang kini tersenyum manis, dengan cahaya matahari yang menari di rambutnya.
Bersambung ....