"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mimpi buruk dante
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut celah tirai, menyentuh wajah Dante yang baru saja terjaga. Napasnya masih berat, dada terasa sesak oleh mimpi yang begitu nyata, terlalu nyata hingga membuatnya gelisah.
Dalam mimpi itu, ada seorang bayi laki-laki mungil terbaring di antara dia dan Selina. Bayi itu menatapnya dengan mata jernih, lalu menggenggam jarinya erat-erat. Seolah menuntut sesuatu. Seolah… ingin tinggal di sana. Bersamanya.
Dante langsung bangkit duduk. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang kini terasa panas.
“Sial…” gumamnya pelan. “Kenapa harus mimpi itu…”
Ia menatap ke arah ranjang. Selina masih tertidur pulas, wajahnya teduh dan lembut. Tapi bagi Dante, pemandangan itu justru membuat dadanya semakin berat.
Karena ia tahu, Selina ingin hal itu. Seorang anak. Sebuah keluarga utuh.
Sementara dirinya… tidak pernah benar-benar siap.
Bayi hanya akan membuat segalanya rumit, pikirnya. Aku bahkan belum bisa mengendalikan diriku sendiri, bagaimana bisa mengurus nyawa lain?
Dante mengembuskan napas panjang, lalu mengacak rambutnya kasar.
Dan tiba-tiba ingatan malam tadi muncul begitu saja deras, tajam, membuat hatinya berdegup kencang.
“Sial…” dengusnya lagi, kali ini lebih keras. “Tadi malam aku lupa minum obat itu.”
Ia berdiri, berjalan pelan ke arah jendela. Matanya kosong menatap ke luar, sementara pikirannya penuh kekhawatiran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca, wajah tenang yang berusaha menutupi badai di dalam hati.
Perlahan pandangannya kembali ke arah Selina, yang masih tidur dengan posisi meringkuk, seolah mencari sisa kehangatan semalam. Bibir Dante menegang.
“Semoga kau tidak hamil, Sel…” gumamnya lirih, suaranya nyaris seperti doa tapi terdengar getir.
Ia tahu, jika Selina sampai mengandung, segalanya akan berubah.
Dan Dante… bukan tipe pria yang menyukai perubahan.
Ia menarik napas panjang, menatap sekali lagi wajah istrinya, lalu melangkah keluar kamar tanpa suara, meninggalkan aroma dingin di udara yang sebelumnya dihangatkan oleh cinta, tapi kini terasa seperti kabut tipis penuh rahasia.
Selina menggeliat pelan di bawah selimut, menguap kecil sebelum membuka matanya yang masih sayu. Aroma kopi samar tercium dari meja sisi ranjang. Ia tersenyum, karena tahu hanya Dante yang membuatkan kopi tanpa diminta, pahit, tapi hangat seperti dirinya.
“Mas…” panggilnya setengah berbisik.
Dante yang sedang duduk di kursi dekat jendela hanya menoleh sekilas. “Hm?” sahutnya pendek.
Selina memperhatikan ekspresinya dingin, tapi ada sesuatu di balik tatapan itu yang tampak gelisah. Ia bangkit, duduk bersandar di kepala ranjang sambil merapikan rambutnya. “Kenapa mukamu kayak orang habis mimpi buruk?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Dante terdiam sejenak. “Nggak,” jawabnya singkat, meneguk kopinya tanpa menatap Selina. Tapi matanya yang redup justru mengkhianati kalimat itu.
Selina mendekat, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. “Kau nggak biasanya bangun sepagi ini,” ucapnya lembut. “Kepikiran kerjaan?”
Suasana kamar mendadak hening. Selina menatap Dante lama, mencoba memahami sisi keras kepala lelaki itu yang selalu menolak membicarakan hal-hal lembut seperti ini.
Dante menoleh pelan, menatap Selina, kali ini dengan sorot mata yang tak lagi sedingin tadi. Ada getar halus di matanya, seperti seseorang yang sedang berperang antara rasa cinta dan ketakutan.
Ia berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang, mengelus rambut Selina.
“Sel…” suaranya rendah, serak. “Kalau pun nanti ada hal-hal yang nggak kuinginkan terjadi… aku cuma berharap kamu tetap di sini. Jangan pergi, ya.”
Selina tersenyum lembut, menggenggam tangan Dante. “Selama kamu masih jadi rumahku, aku nggak akan ke mana-mana.”
Dante menunduk, mengecup keningnya pelan tapi dalam. Di dadanya, ada denyut aneh antara cemas dan sayang. Sementara di kepalanya, bayangan bayi kecil dari mimpinya masih terus menari, seperti firasat yang enggan hilang.