NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Di Antara Air Mata

Jam masih menunjukkan pukul lima lebih sedikit, saat cahaya keemasan matahari di kala sore merambat masuk melalui kisi-kisi jendela ruang makan. Sinar itu membasuh dinding rumah dengan semburat hangat, seperti selimut tipis yang mencoba menghibur duka yang tak kasat mata.

Di balik tirai gading yang separuh terbuka, Romi terpaku diam dengan kedua tangannya bersilang di dada. Di sampingnya, Sarah menggenggam tepi jendela, tubuhnya sedikit condong ke depan. Tatapan mereka terpaku ke arah halaman belakang.

Di sana, di bawah naungan pohon mangga yang daunnya bergoyang malas diterpa angin sore, Serena berdiri dengan ragu. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki remaja yang duduk membelakanginya di atas sebongkah kayu tua yang telah disulap menjadi bangku sederhana—Rafa. Hanya beberapa langkah memisahkan mereka, namun jarak itu terasa jauh bagi hati yang diliputi kebimbangan.

Sepasang suami istri itu berusaha mencermati apa yang sedang terjadi pada putra-putri kesayangan mereka, namun sia-sia. Suara dari luar terlalu lirih untuk menembus kaca jendela yang tertutup rapat. Yang bisa mereka tangkap hanyalah bahasa tubuh, gerakan tangan, serta ekspresi wajah—fragmen-fragmen sunyi yang tak cukup untuk menjelaskan segalanya.

Sarah menelan ludah, matanya masih terpaku pada pemandangan di luar jendela.

"Aku harap Rafa bisa diajak bicara baik-baik kali ini. Aku tak ingin Re terus-menerus terluka karena permintaan maafnya selalu ditolak," ucapnya lirih. Ia menghela napas, suaranya mengandung sesal. "Maafkan aku, ya, Mas. Sepertinya aku belum cukup baik untuk membuat Rafa mengerti kondisi keluarga kita."

Romi menatap istrinya dengan lembut, lalu meraih tangan istrinya, dan menggenggamnya dengan erat. "Jangan salahkan dirimu, Sarah. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Luka di hati Rafa bukan salahmu seorang. Kita hadapi ini bersama, ya? Pelan-pelan, dia pasti akan mengerti."

Di sana, dua saudara itu masih berdiri dalam keheningan yang dingin. Serena mencoba lebih dulu memecah jarak. Wajahnya menyiratkan kesungguhan, sebuah harapan bahwa kali ini—permintaan maafnya akan diterima. Tapi Rafa tak butuh waktu lama untuk merespons. Ia berdiri dari tempat duduknya sedari tadi, lalu membalikkan badan dengan ekspresi wajah yang dingin—perwujudan dari luka dan kekecewaan yang telah lama dipendam.

Tak jelas apa yang dikatakan di antara mereka, namun wajah Serena tiba-tiba berubah sayu, seperti kelopak bunga yang kehilangan cahaya mentari. Melihat itu, Sarah merasakan sesak di dadanya. Ia tidak bisa menahan kesedihan, seolah keretakan di antara kedua anaknya adalah akibat dari kelalaiannya sendiri—karena tidak lebih peka, karena terlambat mengambil langkah.

Serena tetap berdiri di tempatnya, diam dan terlihat sangat terguncang, sementara Rafa lebih dulu melangkah pergi, masuk ke dalam rumah tanpa menoleh.

Yang paling menyakitkan adalah saat melihat Serena mengusap wajahnya—barangkali sedang menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan. Romi yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa menghela napas. Ia ikut bersedih, tapi tak mampu menyalahkan Rafa. Pasti ada alasan yang kuat mengapa anaknya itu belum siap memaafkan kakaknya sendiri.

"Sepertinya kita memang harus turun tangan," celetuk Romi, yang langsung disambut dengan tatapan dari sang istri.

"Aku setuju, Mas. Aku akan coba bicara pada Rafa."

Romi menggeleng perlahan. "Tidak, kamu bicara dengan Serena saja, Sayang. Biar aku yang bicara pada Rafa."

"Baik, Mas," patuhnya sambil mengangguk, pertanda setuju,

Mereka kembali mengalihkan pandangan ke arah jendela rumah.

***

Senja perlahan menyerah pada malam. Cahaya jingga di cakrawala memudar, tergantikan oleh kelam yang menyelimuti langit dan bumi. Kegelapan merayap diam-diam ke setiap sudut rumah, memaksa lampu-lampu dinyalakan satu per satu. Namun, cahaya dari bohlam itu tak cukup mengusir dingin yang diam-diam mengendap di hati-hati yang terluka.

Di meja makan, piring-piring kosong menjadi saksi bisu keheningan yang menggantung. Tak ada obrolan ringan seperti sebelumnya. Hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan piring, memecah sunyi yang menyesakkan.

Rafa langsung bangkit setelah menyelesaikan makan malamnya. Ia pergi lebih dulu tanpa mengatakan apa pun. Masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dengan rapat.

Melihat tindak tanduk putranya yang demikian, Sarah terus berucap di dalam hati. Dia menoleh ke arah Serena, ingin melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh putrinya itu. Tapi yang dia temukan di sana, hanya sebuah senyum yang dipaksakan.

Serena tidak langsung pergi, tetapi berinisiatif untuk membantu bundanya meringankan pekerjaan rumah dengan membersihkan bekas makan malam.

Sarah menghela napas, kemudian melirik ke arah suaminya. Dia tidak tahan lagi dengan dingin dan jarak yang tercipta di antara keluarganya. Sambil menggenggam jemari sang suami yang sudah mulai mengerut karena usia.

"Mas," panggilnya, memberi isyarat.

Romi memandang istrinya, kemudian tersenyum sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduk.

Tanpa bicara lebih banyak, Romi berjalan menuju kamar Rafa. Sementara Sarah tetap di sana, menghampiri Serena yang sedang disibukkan dengan cucian piring.

***

"Re, Sayang," panggil Sarah lembut, mendekati Serena.

Serena menoleh dari wastafel, tangan masih sibuk membilas piring. "Iya, Bunda? Ada apa?"

"Ada yang Bunda mau omongin."

"Sebentar ya, Bunda. Re beresin dulu cucian piringnya," jawab Serena sambil tersenyum kecil.

Sarah mendekat, menggulung lengan bajunya. "Sini, Bunda bantuin. Biar cepet selesai."

Serena buru-buru menahan tangan Sarah sebelum menyentuh air. "Eh, jangan, Bunda. Biar Re aja. Nanti Bunda capek."

Sarah menatap putrinya dengan lembut. "Bunda nggak selemah itu, Sayang. Lagipula, apa kamu nggak suka kalo Bunda bantu?"

"Bukan gitu, Bun. Re cuma nggak mau Bunda capek."

"Bunda nggak ngerasa capek sama sekali."

"Ya udah, deh. Makasih, ya, Bunda," ucap Serena dengan nada manja.

Sarah tersenyum gemas mendengar nada suara itu—sesuatu yang sangat dirindukan dari sosok putrinya yang jarang ia dapatkan.

Tanpa membuang waktu, mereka bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah yang terakhir untuk hari ini.

Begitu semua piring, gelas, dan peralatan makan selesai dicuci dan dikeringkan, Sarah langsung menggandeng tangan Serena, menuju kamar pribadi milik putri sambungnya itu.

Ia memilih kamar Serena bukan tanpa alasan. Ia ingin Serena merasa aman dan nyaman selama berbincang empat mata dengannya. Di dalam ruangan itu, Serena bebas untuk meluapkan apa pun yang ada di hatinya—tanpa perlu takut ada telinga lain yang mendengar, tanpa perlu malu jika air matanya tumpah.

Demi kelancaran misi ini, Sarah bahkan lebih dulu menidurkan Dafa, lebih awal dari biasanya. Percakapan ini bukan untuk telinga anak kecil. Ini adalah percakapan antara dua hati yang sama-sama terluka, dan satu di antaranya sedang berjuang sangat keras untuk tetap bertahan.

Begitu duduk berdua di tepi tempat tidur, Sarah langsung menggenggam tangan Serena dengan lembut dan penuh kasih sayang. Begitu pula dengan tatapan matanya yang mencerminkan perasaan sayang dari seorang ibu.

"Bunda minta maaf, Sayang."

Satu kalimat meluncur dari bibir Sarah. Membuat Serena sampai mengangkat wajah karena sedikit terkejut.

Ada angin apa sampai bundanya meminta maaf seperti ini? Begitu pikir Serena.

"Maaf? Untuk apa, Bunda?"

Sarah menarik napas sejenak sebelum menjawab. Mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk mengutarakan maksud hatinya.

"Bunda tadi sore nggak sengaja lihat kamu sama Rafa di halaman belakang."

Tubuh Serena sontak menegang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berjalan. Sesuatu yang tidak ia sukai.

"Bunda juga mau minta maaf karena sikap Rafa yang sudah kurang sopan sama Re. Kamu pasti sedih dan kecewa, Sayang. Itulah kenapa Bunda ingin bicara sama Re malam ini. Bunda ingin minta maaf, atas nama Bunda dan juga atas nama Re."

"Kenapa Bunda harus minta maaf? Bunda dan Rafa nggak salah apa-apa."

Serena sebenarnya patah dari dalam. Tapi seperti biasa, ia masih mencoba tersenyum. Masih berusaha menampilkan wajah tenang, seolah semua baik-baik saja. Seolah hatinya tidak sedang retak apalagi patah sepenuhnya.

"Aku nggak apa-apa, Bunda," ujarnya, kali ini berusaha meyakinkan. "Aku ngerti kok, kalau Rafa masih marah sama aku. Dan ... kalaupun dia nggak bisa maafin aku, itu hak dia. Aku cuma pengen terus berusaha jadi kakak yang baik buat dia, dan juga buat Dafa. Bunda juga nggak ada salah apa pun sama aku. Jadi, apa yang bisa aku maafkan."

Sarah menatap wajah anak itu dengan hati yang nyeri. Sepandai apa pun Serena menyembunyikan perasaannya, namun naluri seorang ibu tidak akan pernah salah.

"Anakku, Serena sayang." Ia mengelus tangan Serena dengan lembut. "Kamu sudah terlalu banyak memendam semuanya sendiri. Sekarang, kamu nggak sendiri lagi, Nak. Ada Bunda di sini."

Serena mengatupkan bibir, menahan isak yang sudah naik di tenggorokan.

"Kalau kamu capek, kalau kamu merasa sedih. Kamu nggak perlu pura-pura kuat di depan Bunda. Kamu boleh menangis, berteriak, marah, dan boleh memeluk Bunda, jika kamu butuh sandaran. Bunda akan siap melakukannya untuk kamu, putri yang Bunda sayangi."

Pada akhirnya—semua yang ditahan Serena pun runtuh. Tangisnya pecah begitu saja. Seperti bendungan yang jebol karena terlalu penuh.

"Bunda," suara Serena terdengar bergetar, patah di setiap suku katanya. "Tolong aku," pintanya dengan nada memohon.

Sarah menarik putri sulungnya itu ke dalam pelukan. "Iya, Sayang. Bunda di sini."

"Aku takut, takut sama diriku sendiri, Bunda." Serena menangis di bahu ibunya, menangis sejadi-jadinya, hingga tubuhnya bergetar hebat. "Aku capek banget dengan semuanya. Aku nggak tahu. sampai kapan aku bisa bertahan dengan semua rasa sakit ini."

"Kenapa kamu ngomong gitu, Nak? Kenapa?" tanya Sarah dengan suara panik, menahan air matanya sendiri.

"Aku takut suatu hari aku bener-bener membenci diriku sendiri. Aku takut jadi orang yang dingin, tidak bisa mencintai siapapun lagi."

"Serena." bisik Sarah, memeluknya lebih erat.

"Aku tahu, aku banyak salahnya. Aku tahu, aku banyak kurangnya. Aku juga nggak becus menjadi seorang anak. Tapi, aku juga manusia Bunda."

Serena meremas dadanya sendiri, yang terasa sesak, hingga membuatnya sulit untuk bernapas.

"Aku juga bisa hancur. Aku juga bisa capek. Bunda tahu, kan? Aku pergi dari rumah ini bukan karena aku membenci kalian. Tapi karena aku belum siap menerima semuanya. Aku belum siap menerima perubahan yang begitu tiba-tiba dalam hidupku. Dalam sekejap, hidupku berubah. Duniaku berubah. Aku merasa sesak."

Ia menatap mata Sarah. "Di luar sana ... hidupku juga nggak lebih baik, Bunda. Aku hidup sendiri. Nggak ada siapa-siapa. Setiap malam ... aku selalu bermimpi tentang Ibuku."

Napasnya mulai terputus-putus. Suara isakannya terdengar bagai melodi yang menyayat hati.

"Dalam mimpiku, Ibu ... dia gantung diri di tempat gelap. Aku lari, tapi dia terus muncul. Aku sangat membenci ibuku, tapi aku juga menyayanginya . Aku nggak bisa membencinya, Bunda."

Sarah terisak pelan mendengar perasaan Serena yang sebenarnya. "Ya Allah, Re ...."

"Terus ... Brian ... dia adalah satu-satunya harapanku .... Bunda, tapi dia ... dia ketahuan selingkuh. Dia membuatku semakin hancur, dan aku benci pada hidupku sendiri."

Serena menunduk, suara tangisnya makin lirih, nyaris tak terdengar.

"Aku pernah ... pernah kepikiran buat mati aja. Aku pikir ... mungkin itu lebih baik. Biar semua rasa sakit ini hilang ..."

Sarah menahan napas, wajahnya pucat. Ia memeluk Serena sekuat tenaga, seakan takut anak itu benar-benar akan menghilang.

Sarah memegangi wajah Serena, menatap mata anak itu yang sembab dan hancur. "Jangan pernah bilang kayak gitu lagi, Sayang ... tolong jangan ...." bisiknya di antara tangis yang menyesakkan. "Kamu berharga. Kamu itu hidup Bunda sekarang. Jangan pernah berpikir kamu nggak pantas hidup ...."

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!