Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Pagi itu, Maura melangkah masuk ke kantor dengan wajah datar. Lebih dingin dari biasanya. Ia masih kesal dan marah karena perdebatannya dengan Marvel semalam. Ia kesal pada dirinya sendiri yang selalu tidak bisa melawan. Hal itu membuat moodnya hancur.
Tangannya menenteng dua cup kopi, satu untuknya sendiri, satu lagi untuk bos brengseknya. Begitu sampai di meja, ia meletakkan tas dengan agak kasar, menarik napas, lalu melangkah ke meja Marvel meletakkan satu cup kopi tanpa mengatakan apa pun.
Belum sempat kembali ke kursinya, telinganya menangkap suara tawa lirih dari bibir Marvel. Bukan tawa sinis atau meremehkan seperti biasanya, melainkan nada rendah dan lembut yang jarang sekali keluar dari bibir Marvel. Maura refleks menoleh, pandangannya menyipit. Ada sesuatu dalam suara itu yang membuat dadanya panas karena ia tahu, Marvel hanya berbicara begitu jika sedang dalam suasana hati yang baik.
Marvel tampak bersandar santai di kursinya, ponsel menempel di telinga. “Neni, jangan manja seperti anak kecil. Kalau jatuh, bilang sakit sedikit saja, jangan dibuat dramatis.” Nada suaranya lembut, hangat dan entah kenapa terdengar romantis di telinga Maura.
Jantung wanita itu langsung berdetak cepat.
Neni?
Nama itu belum pernah ia dengar. Akan tetapi, dari cara Marvel berbicara, ia yakin itu tunangannya. "Jadi sekarang dia memanggilnya Neni?" batinnya, dengan bibir mendecih sinis.
Wajahnya seketika memanas, rasa kesal menguasai dada. Betapa mudahnya pria itu berperan dua wajah, dingin dan kejam pada dirinya, tetapi lembut pada wanita lain.
Ia menegakkan tubuh, mencoba menenangkan diri. Tidak ada gunanya menunjukkan reaksi. “Pak Marvel,” suaranya tenang dan datar, “jangan lupa, ada meeting penting dengan klien Tokyo jam dua belas.”
Marvel menoleh, masih dengan ponsel di telinga. Senyuman samar terukir di bibirnya. “Batalkan.”
Darah Maura sontak berdesir. “Apa?”
“Batalkan meeting itu,” ulang Marvel tegas. “Saya ada urusan penting."
Sekilas Maura ingin memprotes, tetapi tatapan mata pria itu seolah mengunci lidahnya. Akhirnya ia menarik napas panjang, lalu mengangguk dan kembali ke kursinya. “Baik.”
Telepon klien tidak berjalan mulus. Begitu mendengar pembatalan mendadak, pihak Tokyo langsung marah. Suara tinggi meluncur tanpa jeda, menuding profesionalitas perusahaan. Maura hanya bisa menunduk, menerima serangan kata demi kata. Ujung-ujungnya, telpon ditutup dengan kasar secara sepihak.
Dengan wajah pucat ia kembali ke meja Marvel, menahan kekesalan yang mendidih. “Mereka marah besar. Bahkan mengancam untuk membatalkan kontrak.”
Marvel meletakkan ponsel, menatapnya dengan dingin. “Lalu apa masalahnya?”
“Masalahnya?” Maura menatapnya tak percaya. “Itu klien penting! Kamu menyuruh aku untuk membatalkan meeting begitu saja, tanpa penjelasan apa pun. Lalu aku yang dimarahi habis-habisan. Apa kamu pikir—”
“Diam.” Suara Marvel rendah, menekan, cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa berat. Ia tidak langsung bergerak, hanya bangkit perlahan dari kursinya dan berjalan mendekat. “Sepertinya kamu lupa posisi kamu di sini, Maura.”
Maura merasakan punggungnya menegang. Tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku hanya mengingatkan sesuatu yang penting. Kamu tidak bisa semaumu—”
Tangan Marvel terangkat, mencengkeram dagunya kasar. Ia menunduk, sorot matanya tajam. “Dengar." Suaranya rendah penuh ancaman. “Saya tidak suka diperlakukan seperti bawahan yang bisa kamu marahi. Satu kata saja dariku bisa membuatmu kehilangan segalanya.”
Maura mencoba menepis tangannya, tetapi genggamannya terlalu kuat. “Lepaskan!”
Senyum tipis melintas di bibir pria itu. “Atau apa?” Ia mendekat, jarak wajah mereka tinggal sejengkal. Nafas hangatnya mengenai kulit Maura, membuat wanita itu kaku. “Kamu boleh marah, boleh benci. Tapi jangan pernah lupa siapa yang selalu bisa mengendalikanmu. Dimana sosok Maura Adriana yang sangat jujur dan penurut semalam, hem? Kenapa bisa berubah secepat ini?”
Tanpa aba-aba, bibir Marvel menekan bibir Maura. Keras. Panjang. Menuntut.
Maura membelalak, tubuhnya menegang. Ia mencoba mengelak, tetapi tangan Marvel sudah berpindah ke tengkuknya, menahan agar tak bisa lari. Ciuman itu begitu dalam, seakan menuntut seluruh protes yang ingin ia teriakkan. Napasnya terhimpit, tubuhnya lemas.
Detik demi detik berjalan lambat. Ketika akhirnya Marvel melepaskan, bibir Maura memerah basah, napasnya tersengal. Ia menatap pria itu dengan mata berair, campur marah dan gemetar.
Marvel tersenyum puas, menatap wajah Maura yang kacau. Ia menunduk sedikit, berbisik di telinganya, “Kamu bisa benci saya sepuasnya … tapi jangan pernah lupa siapa yang membuatmu bergetar hanya dengan sebuah ciuman.”
Maura menutup matanya rapat, berusaha menahan air mata yang hampir pecah. Ia ingin membalas, ingin memaki, tapi lidahnya kelu. Tubuhnya bergetar—antara jijik, marah, dan sesuatu yang tak ia pahami. Marvel mundur selangkah, lalu berbalik santai ke mejanya, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kerjakan saja pekerjaanmu. Jangan coba-coba mengkonfrontasi apa yang kulakukan. Tugasmu hanya tunduk dan menurut.”
Maura hanya bisa diam terpaku di kursinya, jantungnya berdegup keras, pikirannya kalut. Ia menggenggam erat sisi meja kerjanya, menahan diri agar tidak runtuh di depan pria itu. Bagaimanapun juga ia harus bisa melawan dan melepaskan diri dari pria itu.
“lupakan soal tadi. Anggap saja saya sudah maafkanmu,” suara Marvel terdengar tenang. Ia fokus pada berkas di hadapannya, seakan kejadian barusan hanyalah interupsi kecil. “Dan pesan dua tiket ke Bali. Hari ini juga. Penerbangan paling cepat.”
Kepala Maura terangkat spontan. “Apa?”
Marvel mendongak perlahan, menatapnya dengan sorot dingin yang membuat bulu kuduknya meremang. “Saya ulangi?” Nada suaranya datar, terkesan malas.
Maura menelan ludah. Lidahnya kelu, ingin menolak, ingin berteriak, tetapi tatapan itu membuat seluruh keberaniannya runtuh. “Baik…” suaranya nyaris berbisik. Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, jari-jarinya kaku saat membuka aplikasi pemesanan tiket.
“Business class,” tambah Marvel, seolah baru ingat. “Dan jangan coba-coba menunda. Saya ingin konfirmasi di email saya dalam lima menit.”
Darah Maura berdesir panas. Hatinya menolak, tetapi tubuhnya bergerak patuh. Lima menit kemudian, dua tiket penerbangan menuju Bali sudah terkirim ke email Marvel. “Bagus.” Pria itu menutup laptopnya, lalu berdiri. “Kita berangkat sore ini.”
“Kita?” suara Maura pecah, matanya melebar.
Marvel menyeringai tipis. Ia melangkah mendekat lagi, berhenti tepat di depan mejanya. “Kamu pikir aku akan pergi sendirian? Tidak, Maura. Kamu ikut. Kamu pikir aku akan membiarkanmu berinteraksi dengan pria lain saat saya tidak ada?" Marvel terkekeh samar dengan kepala menggeleng. "Jangan memimpikan kebebasan."
Marvel menyeringai tipis. Ia melangkah mendekat lagi, berhenti tepat di depan mejanya. “Kamu pikir aku akan pergi sendirian? Tidak, Maura. Kamu ikut. Kamu pikir aku akan membiarkanmu berinteraksi dengan pria lain saat saya tidak ada?" Marvel terkekeh samar dengan kepala menggeleng. "Jangan memimpikan kebebasan."
Maura merasakan tenggorokannya tercekat. Ucapan itu lebih mengerikan daripada ciuman paksa yang baru saja ia terima. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Aku tidak mau pekerjaanku menumpuk seperti sebelumnya. jadi, lebih baik tidak usah ikut,” katanya pelan.
“Kamu bercanda?” Marvel tertawa, kemudian mencondongkan tubuh dengan kedua tangan bertumpu di meja. “Selain membuka lebar-lebar kakimu untukku, pekerjaanmu adalah melakukan apa yang saya perintahkan. Tanpa terkecuali. Kalau saya bilang ikut, kamu ikut. Kalau saya bilang diam, kamu diam.”
Maura menahan napas, bola matanya bergetar menahan rasa marah bercampur takut.
“Beritahu sekretaris klien itu—” Marvel berhenti sejenak, bibirnya melengkung licik, “—bahwa meeting dipindahkan minggu depan. Kalau mereka protes, biar saya yang urus. Kamu cukup lakukan bagianmu.”
Ia menegakkan tubuh, merapikan jas dengan gerakan santai, lalu berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, Marvel menoleh sekali lagi. “Kemas barangmu. Kita akan berada di Bali selama beberapa hari. saya tidak suka menunggu.”
Pintu menutup dengan bunyi klik.
Maura terduduk di kursinya, dadanya naik turun cepat. Kepalanya penuh teriakan yang tidak bisa ia keluarkan. Rasanya seperti terjebak dalam penjara tanpa jeruji. Ponselnya bergetar di atas meja, panggilan dari klien Tokyo masuk. Ia menatap layar itu lama, lalu menutup matanya rapat, merasa semakin terperangkap dalam permainan si brengsek itu.
"Aku bersumpah akan membunuhmu, brengsek!" teriaknya, tanpa bisa ditahan.