Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA MOKONDO
Ada pertemuan di gedung SMA terkait laporan prestasi siswa dan guru berikut juga evaluasinya. Rapat dibuka oleh Pak Surya selaku kepala sekolah, dan dilanjutkan oleh tim pengembangan. Hawa, Amelia dan Bu Dyah ikut dalam pertemuan ini. Sejak tadi Amelia sudah menatap tajam kepada Tera, karena dia termasuk salah satu wali kelas XI yang terundang laporan ini, berikut dengan beberapa guru yang menjadi pembina lomba.
"Sepatu heels gue siap dilempar ke wajah songongnya," gumam Amelia di tengah-tengah mendengar penjelasan Pak Surya memberi pengantar.
"Tahan, Bu. Heels Mbak Amel cuma 3 cm, kurang keras. Tunggu kalau pakai wedges 15 cm, nyaho tuh jidat," tambah Hawa semakin mengompori Amelia untuk ekskusi pada perempuan yang sok cantik itu. Sempat menatap Amelia juga, dengan wajah sok baik tanpa mengingat permasalahan di luar sekolah kemarin.
Hawa mulai presentasi, menyampaikan jumlah siswa yang telah meraih juara di berbagi lomba. Dibandingkan dengan bulan lalu, untuk bulan ini mengalami penurunan. Tak masalah karena memang pembinaan yang berlangsung untuk persiapan bulan selanjutnya. Hawa juga menyampaikan siswa kelas X memiliki antusias yang tinggi dalam mengikuti lomba, setiap poster lomba ditempel, G-form yang disematkan oleh Hawa lekas diisi dan untuk seleksi tingkat sekolah pun mereka datang tepat waktu. “Terimakasih kepada Bapak Ibu Wali Kelas atas perhatian Bapak Ibu sekalian yang selalu memotivasi mereka untuk berprestasi,” ucap Hawa sebelum menutup presentasi.
Setelah Hawa, giliran Amelia presentasi. Prestasi guru masih terbatas pada lomba menulis dan guru yang mengikuti hanya itu-itu saja. "Ayo dong Bapak Ibu semangat ikut lomba, sejalan dengan semangat siswa-siswi mengikuti lomba. Saya yakin Bapak Ibu guru juga bisa seperti mereka. Tetap menjadi guru yang berprestasi dan menginspirasi," ucap Amelia mengakhiri presentasinya. Hawa senang karena Amelia bisa profesional meski ingin menendang Tera sejak tadi. Rapat pun dilanjutkan dengan Bu Dyah terkait hadiah bagi siswa dan guru yang menjuarai lomba, beliau juga menjelaskan bagaimana alur pembinaan dan diharapkan pembinaan hanya dilakukan di area sekolah, agar pembinaan terkontrol dan progressnya terlihat.
Menjelang akhir, kepala TU datang dan membisiki sesuatu pada Pak Surya, tampak beliau kaget setengah mati dan langsung mengambil mic. "Kabar duka," ucap beliau yang membuat peserta rapat langsung fokus pada beliau dengan wajah kaget. "Istri dari Pak Jayadi meninggal dunia, mari kita kirimkan surat Al-Fatihah untuk almarhumah," semua langsung mengucap innalillahi, dan membaca surat Al-Fatihah untuk beliau. Komentar para bapak ibu guru terkait Pak Jayadi dan istrinya pun mulai terdengar, dan Pak Surya mengintruksikan kepada bapak ibu guru yang tidak ada jam mengajar, segera takziyah ke rumah duka.
Beberapa orang mengamati Tera, tampak biasa saja, dan tak merasa bersalah. Bahkan Bu Zakiyah, guru senior dengan spontan menyindir Bu Tera. "Bu Tera harus takziyah loh, memberi penghormatan terakhir pada beliau, agar Bu Tera paham baktinya almarhumah pada Pak Jayadi."
"Lah kenapa saya harus paham juga, Bu?" tanya Bu Tera balik. "Gak ada hubungannya sama saya," jawab Bu Tera sangat berani. Beberapa guru menarik Bu Zakiyah untuk tidak memperpanjang. Percuma juga menasehati perempuan ini, wajahnya terbuat dari tembok, gak akan pernah punya malu dan merasa bersalah.
"Siap-siap dihantui tuh, Bu Tera minta maaflah pada saya," ucap Amelia memancing perkara, sengaja, dengan menakuti Tera layaknya dia seperti hantu.
"Mana ada menghantui, saya gak ada salah sama dia!"
"Perempuan kok suka menyakiti hati perempuan lain, gak takut karma, Bu?" Amelia belum puas sebelum memberi pelajaran pada Tera, bahkan ia sengaja menyamakan langkah dengan Tera saat keluar ruang meeting. Hawa menggelengkan kepala dan tak ikut serta pada Amelia, langsung berbalik arah menuju kantor yayasan saja.
"Selagi kita bahagia, gak usah berpikiran tentang karma. Hidup cuma sekali, dinikmati saja meskipun kata orang jalannya salah," ujarnya dengan tawa sinis, sungguh kalau tidak di area sekolah, mungkin Amelia langsung mencakar wajah sok cantik Tera.
Kok ada ya perempuan begitu terobsesi dengan milik orang lain, katanya cantik kenapa tidak mencari yang single. Sikap Tera yang begini, mungkin disebabkan dia menderita sakit mental, suka pada milik orang lain, dan dia merasa bahagia serta puas bila ada yang marah akan sikapnya. Cantik parasnya, sakit jiwanya.
Sedangkan Hawa dan Bu Dyah ikut takziyah sekarang, mumpung longgar dan menjelang makan siang juga. Mereka niatnya boncengan saja tapi Pak Bima menawarkan tumpangan karena hari ini bawa mobil. Pak Zul dan Pak Iqbal ikut juga, Amelia yang baru masuk kantor langsung ikut juga.
Hawa diminta duduk di depan bersama Pak Bima, agar Pak Zul dan Pak Iqbal di jok sama, sedangkan Amelia dan Bu Dyah duduk di jok lain bersama. Hawa memonyongkan bibir, Bu Dyah sengaja sekali mengaturnya. "Pak Zul tahu rumah Pak Jayadi?" tanya Pak Bima yang memang sengaja jadi sopir, tak enak juga meminta Pak Zul atau Pak Iqbal yang menyetir, tak patut saja Bima yang muda menyuruh beliau.
"Iya, Pak Bima, di daerah perumahan Z. Rumah beliau berada di sisi sebelah kiri setelah pintu masuk perumahan," ucap Pak Zul. Bima mengangguk paham.
"Kasihan Bu Jayadi setelah terkena serangan stroke setahun yang lalu," ujar Pak Iqbal memulai obrolan di dalam mobil.
"Iya, mana Pak Jayadi terlibat banyak kasus!" sahut Pak Zul yang mendengar dari beberapa sumber.
"Kasus apa, Pak Zul?" tanya Bima ikut obrolan.
"Perselingkuhan dengan Bu Tera," sahut Bu Dyah spontan, padahal beliau duduk di jok paling belakang. Bima langsung berdecak sebal.
Hawa melirik Bima, "Bukan aku yang bilang loh ya," lirih Hawa.
"Kalau itu kan barusan saja, Bu Dy!" sahut Pak Zul, kemudian menceritakan tentang kasus Pak Jayadi terkait utang piutang di rumah orang tua Pak Jayadi. Memang rumah orang tua Pak Jayadi jauh dari kota, nah Pak Jay dianggap kaya oleh orang tua beliau. Diminta untuk sewa sawah dan memperkerjakan orang untuk mengolah sawah tersebut, awal sewa sawah sih masih lancar, bahkan saat panen dan upah para pekerja juga aman. Hingga beliau menunggak pemberian upah. Katanya selesai panen, namun sampai garap lagi tak ada pembayaran upah sama sekali. Sehingga orang tua beliau yang membayar upah, namun hasil panennya diambil Pak Jayadi. Alhasil terjadi pertengkaran keluarga, usut punya usut Pak Jayadi ternyata suka main togel.
Bima langsung memijat keningnya, haruskah dia bertindak tegas pada Pak Jayadi? Tapi bukannya dia kaya ya, katanya tuan tanah. "Itu mah harta dari Bu Jayadi, yang kaya kan keluarga Bu Jayadi."
Hawa tersenyum tipis mendengar fakta itu, "Ternyata mokondo," ucap Hawa dan Bima mendengar sebutan itu.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭