NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Si Penghancur Tengkorak

Pintu menuju skenario Pembunuhan Tengah Malam tertutup dengan bunyi yang jelas. Suara itu bagai belenggu yang menjerat hati sekelompok mahasiswa kedokteran yang baru saja melangkah masuk, menambah rasa tegang yang sudah lebih dahulu hinggap di dada mereka.

“Julian, berdasarkan pengalaman sebelumnya, menurutmu apa tindakan terbaik yang harus kita ambil?” salah seorang di antara mereka bertanya dengan cemas.

“Cari jalan keluar secepat mungkin,” jawab Julian tegas.

Setelah mengunci pintu, Dion segera menghubungi Dinda dan memintanya menemuinya di ruang properti.

“Mas, mengapa terburu-buru? Bukankah para pengunjung sudah berada di dalam gedung?” tanya Dinda. Dengan riasan pucat menyerupai mayat dan gaun pengantin hantu dari set Pernikahan Hantu, penampilannya sudah cukup menakutkan ketika berlari kecil di sepanjang lorong gedung.

“Aku telah menyiapkan sebuah skenario baru di lantai tiga, namanya Pembunuhan Tengah Malam. Sekelompok mahasiswa kedokteran itu akan menjadi subjek uji coba pertama yang sempurna.” Dion mendorong pintu ruangan hingga terbuka, lalu menelusuri daftar barang yang dibutuhkan melalui tablet hitam di tangannya.

“Tetapi bukankah setiap skenario baru harus diperiksa terlebih dahulu oleh pihak manajemen taman sebelum dipakai?” tanya Dinda sambil mengangkat rok tradisional yang dikenakan agar tidak tersandung. “Sebenarnya apa yang sedang Mas cari?”

“Seragam yang khusus kusiapkan untukmu,” jawab Dion datar.

“Seragam?” Dinda mengulang dengan ragu.

Di sudut terdalam ruangan, Dion melihat sebuah kotak kayu yang tampak dikenalnya. Ia tertegun, kotak yang dulu pernah berisi boneka dan tablet hitam itu ternyata muncul kembali di hadapannya. Dion mendekat, lalu membuka penutupnya perlahan. Di dasar kotak, terdapat sebuah palu aneh, jubah berlumuran darah, serta lembaran pemberitahuan orang hilang yang telah menguning.

“Ketemu,” Dion menarik jubah itu keluar. Anehnya, meski sekilas tampak seperti pakaian dokter biasa, jubah itu terasa sangat berat. Rupanya, pada bagian dalam kain dijahit rantai-rantai besi yang diukir dengan wajah-wajah manusia dalam berbagai ekspresi siksaan.

“Mas… ini seragam yang dimaksud untukku?” tanya Dinda, tanpa sadar melangkah mundur. Dari jubah itu tercium aroma besi dan darah yang menusuk indera penciumannya. “Apakah aku benar-benar harus memakainya?”

“Pemeran tambahan di Rumah Hantu adalah seorang aktor, Dinda. Ingatlah ajaran gurumu, seorang aktor harus mampu melebur dalam setiap peran yang diberikan.” Dion mengembangkan jubah itu, dari lipatan kain terjatuh sebuah topeng kulit manusia palsu. Dion tidak menduga topeng itu disertakan bersama jubah, membungkuk mengambilnya, dan hanya dengan sekali pandang, bulu kuduknya berdiri.

Topeng tersebut tampak seperti wajah beberapa pria yang dijahit menjadi satu. Jahitannya kasar, namun justru hal itu menambah kesan mengerikan.

“Mas… jangan katakan aku juga harus mengenakannya.” Dinda semakin mundur, hingga hampir menyentuh daun pintu.

“Cobalah, tolong, dan aku ingin melihat penampilannya secara utuh. Nanti aku sendiri akan memerankan hantu lain, bukan hanya dirimu. Jadi, turuti lah…” Ucapan Dion terdengar lembut, namun nadanya menyerupai bisikan iblis yang menggoda manusia untuk melakukan dosa.

“Baiklah… aku akan mencobanya,” ucap Dinda akhirnya menyerah. Ia menerima jubah dan topeng itu, lalu melepas pakaian pengantin hantunya di hadapan Dion tanpa mempermasalahkan kehadirannya. Ia berganti dengan seragam barunya, “Terus terang, definisi Mas tentang seragam perlu ditinjau ulang.”

Begitu rantai melilit tubuhnya, jubah berlumuran darah itu menyelimuti bahunya, dan topeng kulit menutupi wajahnya, perubahan samar terjadi pada diri Dinda. Sikapnya yang sebelumnya biasa saja, kini perlahan dipenuhi aura kekejaman, kegilaan, dan kegelapan yang menyesakkan.

“Lumayan,” gumam Dion. Ia sengaja tidak membiarkan Dinda menatap cermin, khawatir gadis itu akan terkejut melihat dirinya sendiri. “Bawa juga benda ini.”

Dion mengangkat palu aneh dari dalam kotak, panjangnya sekitar empat puluh sentimeter, dengan gagang menyerupai tulang belakang manusia. Pada ujungnya terdapat kait yang dapat dihubungkan dengan rantai di dalam jubah, sementara di kedua sisi kepala palu terpasang jarum runcing yang tampak dirancang untuk mengeluarkan darah. “Palu ini berongga, jadi tidak terlalu berat. Jika terasa merepotkan untuk membawanya berlari, seret saja di sepanjang lantai.”

Dinda tidak lagi melawan gagasan aneh Dion, hanya mengangguk dan menerima palu itu dengan patuh.

“Letakkan ponselmu di saku luar jubah, pastikan earpiece berfungsi, dan jaga saluran tetap terbuka. Jika sudah jelas, maka saatnya kita memulai.”

“Kita? Apakah Mas juga akan masuk ke dalam skenario?” Dinda menoleh, suara merdunya keluar dari balik topeng kulit dengan nada yang menyeramkan.

“Tentu saja,” jawab Dion mantap. “Ayo kita bergerak, para pengunjung tidak boleh menunggu terlalu lama.”

Dion meminta Dinda memasuki skenario Pembunuhan Tengah Malam, sementara dirinya kembali ke ruang kontrol utama. Hanya dalam hitungan menit, bayangan tujuh mahasiswa muncul di layar pengawas. Ketujuh orang itu tampak lebih penakut daripada Tiara, dari ekspresi wajah mereka, kegugupan jelas terpancar.

“Mereka masih saja berputar di sekitar pintu masuk setelah sekian lama? Sepertinya aku perlu memberi sedikit dorongan,” gumam Dion.

Ia mengganti latar musik menjadi lagu Malam Jumat Kelabu, lalu segera menghubungi Dinda.

“Dinda, skenario ini sangat luas, tidak hanya meliputi lantai tiga, tetapi juga sebagian lantai satu dan dua. Terdapat tangga di ujung kiri dan kanan, dan jangan berjalan tanpa arah, atau kamu akan tersesat. Dengarkan perintahku baik-baik,” instruksinya tegas.

“Dimengerti,” jawab Dinda singkat.

Setelah menutup komunikasi, Dion mulai merias dirinya. Ia memasuki skenario Pembunuhan Tengah Malam melalui lorong khusus pekerja. Dengan tablet hitam di tangannya, ia mampu mengendalikan lebih dari sepuluh properti dan jebakan secara bebas. Hanya dengan perangkat itu saja, kendalinya jauh lebih besar dibandingkan pada skenario Pernikahan Hantu maupun Malam Mayat Hidup.

Di salah satu kamar yang gelap, sebuah bak mandi didorong ke samping. Dion merangkak keluar dari sana, lalu dengan hati-hati mengembalikan benda itu ke posisi semula.

“Dinda, mereka sepertinya berada di sekitar Kamar 207. Bersiaplah di tangga sebelah kiri dan tunggu instruksi berikutnya,” ucap Dion melalui sambungan suara. Setelah itu, ia membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan, lalu menaiki tangga kanan menuju lantai tiga.

Sementara itu, kelompok mahasiswa kedokteran itu masih belum menyadari bahwa bahaya perlahan mendekat. Mereka sibuk memeriksa berbagai properti dengan penuh kehati-hatian, berharap menemukan petunjuk yang dapat membantu mereka keluar.

“Selain pencahayaan redup dan suhu dingin, tempat ini tidak terlihat menakutkan. Apakah kita tidak terlalu berhati-hati?” ujar Leon, yang dikenal paling kecil tubuhnya sekaligus paling banyak bicara. “Mas Zeno, sebaiknya kita membagi diri menjadi dua kelompok. Dengan begitu, pencarian akan lebih cepat. Kalau kita terus bergerak bersama, kemajuan akan sangat lambat.”

Pemuda tinggi yang disebut sebagai Zeno merenung sejenak, menyadari bahwa semua persiapan mereka tampak sia-sia setelah masuk ke skenario Pembunuhan Tengah Malam. Namun seiring waktu, ia juga mendapati tempat itu tidak semenakutkan bayangannya. “Usulanmu masuk akal juga, baiklah, Leon dan Vano, kalian berdua bersama dua gadis itu, periksa kamar di sebelah kiri, dan kami bertiga akan menyelidiki kamar di sebelah kanan.”

“Seharusnya kita sudah melakukannya sejak awal, aku tidak mengerti mengapa kalian begitu ketakutan! Tempat ini lebih mirip taman hiburan dibandingkan kamar mayat di fakultas kita,” sahut seorang gadis berambut dicat. Berbeda dengan Lingga, merias wajahnya tipis dan penampilannya terlihat lebih dewasa daripada kebanyakan mahasiswa lain.

“Kakak Sinta, Mas Zeno, sebaiknya kita jangan lengah, menurutku kita tetap harus bersama-sama.” Julian yang sejak awal tampak gelisah, bersembunyi di tengah kerumunan dengan raut cemberut. “Bos Rumah Hantu ini bukan orang yang bisa dipahami dengan logika biasa. Kalian tidak melihat siaran langsungnya, tetapi aku pernah menontonnya. Dia benar-benar gila, seseorang yang sama sekali tidak peduli dengan hidupnya sendiri!”

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!