Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Gendis X Mentari
Di dalamnya terdapat tumpukan berkas lama, surat-surat, dan beberapa foto usang. Salah satu foto itu menunjukkan seorang wanita muda yang sangat dikenalnya, Mentari. Akan tetapi, bukan Mentari yang berdiri dengan gaun mewah atau tersenyum angkuh seperti biasanya. Ini Mentari yang masih sangat muda, mengenakan baju rumah biasa, menggendong bayi kecil.
Gendis menggigil. Perlahan dia meraih surat yang diselipkan di bawah foto itu. Tangannya gemetar saat membaca tulisan tangan yang rapi namun penuh rasa.
“Untuk Gendis, putriku tercinta .…”
Napas Gendis tercekat. Dia membaca ulang kalimat itu. Mungkin salah lihat. Mungkin hanya kebetulan. Namun, isi surat itu membuat tubuhnya lunglai.
"Maafkan Mama karena tidak bisa bersamamu sejak kamu bayi. Banyak hal yang tidak bisa Mama ceritakan saat itu. Tapi ketahuilah, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Apa pun yang terjadi, kamu adalah darah dagingku ...."
Tangan Gendis gemetar hebat. Air matanya jatuh satu per satu tanpa bisa dibendung.
“Tidak ... ini tidak mungkin ... Tante Mentari... ibuku?”
Gendis menggali lebih dalam isi koper itu dan menemukan akta kelahiran lama. Namanya tertera jelas Gendis Mentari Hapsari. Nama belakangnya ternyata diambil dari nama tengah ibunya. Bukan dari ayahnya, bukan pula dari keluarga mana pun yang dia kenal sekarang.
Kepalanya mendadak pusing. Dia terduduk di lantai berdebu ruang bawah tanah itu, sambil terus menatap foto dan surat itu.
“Jadi selama ini Tante Mentari adalah ibuku sendiri? Kami dekat, tetapi kenapa dia tidak benar-benar memelukku? Sebenarnya apa maunya!” teriak Gendis frustrasi.
Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Gendis menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis sejadi-jadinya. Selama ini dia merasa tidak dicintai oleh siapa pun, merasa sendirian, merasa paling sengsara.
Namun satu pertanyaan terus menghantui benaknya. Kenapa Mentari tidak pernah mengaku? Kenapa membiarkannya tumbuh dalam kebencian dan kesendirian?
Tangis Gendis makin keras. Sementara di atas, angin malam menerpa jendela-jendela rumah besar itu, seakan menjadi saksi atas retaknya dunia Gendis malam itu.
Gendis mulai menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, dia merapikan surat-surat itu dan membawanya naik ke kamarnya. Di sana, dia duduk di lantai, menatap surat itu dengan tatapan kosong.
“Kalau benar kamu ibuku … kenapa kamu buat aku seolah bukan siapa-siapa? Kenapa kamu tinggalkan aku? Kenapa kamu terus berada di sisi Noah sebagai anakmu dan menjadikanku alat?”
Suara Gendis lirih, serak, dan nyaris tanpa tenaga. Telepon genggamnya bergetar. Ada pesan masuk. Dari Mentari.
“Datanglah ke rumah. Kita harus bicara.”
Gendis menatap layar ponsel itu lama. Pikirannya berkecamuk antara rasa benci, penasaran, dan luka yang belum berdarah sempurna. Tangannya gemetar saat akhirnya menekan tombol balas.
“Besok. Aku akan datang. Ada yang ingin aku tanyakan. kamu harus jelaskan semuanya.”
Sementara itu mobil Hiro sudah menjauh dari kawasan Darmo. Di dalam mobil, Ayden melirik Hiro yang tampak melamun sejak tadi.
“Pak, menurut Bapak ... Gendis akan baik-baik saja?”
Hiro menatap ke luar jendela. “Nggak tahu. Tapi dia butuh waktu. Dan mungkin ... bukan aku yang bisa menyembuhkan dia.”
Ayden hanya mengangguk pelan. Dia tahu, dalam nada suara Hiro, ada beban yang tidak biasa. Bukan sekadar iba, tetapi rasa sayang yang mungkin tidak akan pernah sampai.
***
Matahari siang di kota Surabaya begitu menyengat siang itu. Gendis kembali ke rutinitas biasa sebelum menjadi sekretaris Noah. Dia hanya bersantai menggulirkan layar ponsel untuk mengamati situasi di liar sana melalui sosial media.
Sebuah ketukan pintu di kamarnya, membuat Gendis menghentikan aktifitas. Tak lama pintu terbuka menampilkan sosok pelayan pribadinya yang berpakaian seperti maid negara barat di masa lampau. Perempuan tersenyum tersenyum lembut sebelum akhirnya menyampaikan maksud kedatangannya.
"Nyonya Mentari ingin menemui Anda, Nona Muda."
"Aku akan turun sebentar lagi." Gendis beranjak dari ranjang.
Situasi kacau di kamarnya sudah kembali rapi begitu Gendis membuka mata. Tanpa menunggu perintah, pelayan yang ada di rumah itu langsung membereskan kekacauan yang terjadi setelah Gendis menelan obat tidur dan langsung terlelap.
Gendis menatap cermin baru yang menggantikan cermin sebelumnya. Matanya sembab dengan lingkar hitam mengelilingi area sekitar sana. Bibirnya kering, sedikit pecah-pecah, dan ada yang mengeluarkan darah.
Gendis tidak meneguk air sedikit pun setelah pulang dari pesta resepsi Noah dan Ivy. Dia melangkah ringan seakan tidak mampu berpijak pada lantai. Sesekali pandangannya buram karena kekurangan nutrisi.
"Ndis, kamu baik-baik saja, Sayang?" Mentari langsung berlari menghampiri Gendis.
Tubuh Gendis sedikit limbung ketika berhasil melalui anak tangga terakhir. Beruntungnya Mentari menangkap tubuh Gendis tepat waktu. Mentari memapah perempuan tersebut ke ruang tengah.
Usai mendudukkan Gendis ke atas sofa, Mentari hendak meletakkan punggung tangannya pada dahi perempuan tersebut. Namun, tiba-tiba Gendis menepisnya dan memalingkan wajah. Melihat tingkahnya yang terbiasa tentu membuat Mentari mengerutkan dahi.
"Ndis, kamu baik-baik saja?" tanya Mentari dengan nada penuh kekhawatiran.
"Nggak usah pura-pura peduli! Sejak duku sebenarnya kamu nggak benar-benar peduli sama aku!" seru Gendis sambil menyipitkan mata.
"Kamu ngomong apa? Ndis, apa kamu masih marah karena Tante meninggalkan kamu semalam? Maaf, tapi Tante sangat terpukul. Bagaimana pun juga Noah ...." Ucapan Mentari menggantung di udara.
"Kamu memang bukan ibu yang baik! Kenapa harus berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak orang lain! Kamu menelantarkan anakmu sendiri demi mengasuh anak orang lain! Ibu macam apa itu?" Gendis tersenyum miring sambil menatap tajam Mentari.
"Gendis, apa maksudmu?" Mentari berusaha mendekati Gendis, tetapi gadis tersebut langsung menangkis sentuhannya.
"Apa aku dibiarkan begitu saja karena anak hasil selingkuhan?"
Bibir Mentari terbuka lebar, tetapi tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari sana. Gendis merogoh sakunya. Mengeluarkan sebuah lipatan kertas dan menepuknya keras ke atas meja.
Mentari terbelalak. Kini di hadapannya ada masa lalu yang terungkap oleh putri kandungnya sendiri. Rahasia yang selama ini dia ingin kubur dan simpan.
Jemari Mentari gemetar ketika meraih selembar kertas di atas meja tersebut. Tak lama berselang, Gending kembali menggebrak meja. Kali ini sebuah foto kebersamaan ayahnya dan Mentari terpampang jelas.
"Kamu nggak bisa berkilah lagi! Apa maksudmu dengan semua ini? Jelaskan!" teriak Gendis dengan suara bergetar.