NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Arshen Alverio

5 p.m

Pintu utama terbuka perlahan. Alaric masuk lebih dulu, melepaskan jas dan melemparnya asal ke sandaran sofa. Renzo menyusul dari belakang, langkahnya ringan tapi penuh antusias.

Dari ruang tengah terdengar tawa.

Callindra duduk di karpet empuk, memangku Arshen yang dibalut pakaian halus. Di sebelahnya, Senara sedang mengangkat mainan kerincing ke udara, membuat si bayi menggeliat senang.

Callindra tersenyum. “Arshen makin aktif. Tadi nendang-nendang pas disuapin susu.”

Renzo langsung menghampiri, berlutut dengan ekspresi cerah. Ia meraih tangan mungil Arshen dan membiarkan bayi itu menggenggam jarinya.

Renzo dengan lembut berkata, “halo, Pangeran Kecil. Kamu nunggu Om, ya?”

Arshen mengoceh tak jelas. Tawa hangat mengisi ruangan.

Sementara itu, Alaric hanya melirik sekilas, mengangguk kecil pada Mama dan adiknya lalu berjalan ke arah kamar tanpa sepatah kata. Tangannya sudah sibuk membuka kancing kemeja, meninggalkan keramaian di belakang.

Senara menggumam sambil mengelus kepala Arshen. “Kasihan kamu, Shen. Punya Papa dingin kayak gitu. Untung ada aku sama Om Renzo yang bisa nemenin main tiap hari. Yaaaa. Mwah!”

Callindra tersenyum tipis. “Itu gaya Alaric. Dingin di luar, ribut di kepala.”

Renzo mengangkat kepala, sekilas menatap arah kamar tempat Alaric baru saja masuk. Ekspresi tak terbaca, seakan menyimpan lebih dari sekadar kekhawatiran.

Renzo duduk bersila di karpet, tak jauh dari tempat Callindra bermain dengan Arshen. Di depannya, sebungkus camilan gurih sudah terbuka, tangannya refleks mengambil sepotong keripik dan langsung memasukkannya ke mulut.

Callindra menoleh cepat.

Callindra dengan nada cemas berkata, “Renzo! Itu beneran kamu makan? Bukannya kamu baru beberapa hari lalu operasi?”

Renzo menggigit pelan, lalu menahan kunyahan. Matanya membulat, sadar dirinya ketahuan.

Renzo cengengesan, sambil menutup bungkus. “Hehe… lapar, Tante. Cuma sedikit kok.”

Callindra menghela napas panjang. Ia berdiri lalu melangkah ke kulkas, mengambil wadah plastik bening berisi lauk. “Mending makan ini. Tante bawa lauk khusus tadi, sehat dan empuk. Kalau kamu sampai kambuh lagi, siapa yang repot?”

Renzo tersenyum. “Makasih, Tante. Tapi aku punya ‘Mommy’ yang selalu kirim lauk juga. Nggak tega nolak. Banyak banget sampai kulkasku nggak muat.”

Callindra duduk kembali di karpet, lalu menatap Renzo yang sedang bermain dengan Arshen. Bayi kecil itu berbaring santai di atas karpet yang sudah dilapisi kasur kecil.

Callindra penasaran. “Tante jarang ketemu sama Mommy kamu, Ren. Lebih sering Mama kamu yang sifatnya kaya Anabelle.”

“Mama jangan gitu!” ujar Senara lalu tersenyum pada Renzo. 

Renzo menarik napas pelan. “Mommy itu sibuk bolak-balik luar negeri. Alverio ngasih cabang di luar jadi aku ketemu paling cuman sebentar.”

Callindra melirik Arshen yang sudah kenyang minum susu dan tertidur di pangkuan Senara. “Kadang seorang ibu bisa terlalu fokus pada ambisi. Tapi… kamu tetap anaknya. Jangan terlalu keras ke diri sendiri, Renzo.”

Renzo hanya tersenyum tipis. Tangannya sibuk membenahi bungkus camilan yang sudah ia lipat rapi. Tapi sorot matanya kosong sesaat, seolah memikirkan beban yang tidak terlihat.

Callindra duduk di karpet sambil mengipasi Arshen yang tertidur, dengan majalah parenting. Renzo duduk santai di karpet, memandangi TV yang menyala menyiarkan berita.

Senara berjalan ke dapur membawa botol susu kosong. Ia meletakkannya ke dapur kecil lalu balik ke ruang tengah. Pandangannya jatuh ke arah Renzo yang masih anteng di karpet.

Senara dengan nada iseng berkata, “Ma, angkat Bang Renzo aja jadi anak ketiga. Kasian, ‘kan. Biar dapet kasih sayang Callindra juga.”

Callindra langsung menurunkan majalahnya dan menatap Senara tajam—tapi tidak bisa menahan senyum. “Ya udah, sekalian aja kamu tukeran. Kamu jadi anaknya mamanya Renzo.”

Senara mengerutkan dahi. “Lho? Kok gitu?”

Callindra menyilangkan kaki, nada suaranya makin menggoda. “Cocok, ‘kan? Sama-sama keras kepala. Sama-sama bikin masalah. Jadi kalau kalian ketahuan bikin onar bareng, tinggal dikirim bareng ke Atlantik. Selesai.”

Renzo nyaris tersedak tawa. Ia menutup mulut, pura-pura batuk.

Senara melotot dramatis. “Atlantik? Nggak bisa gitu dong, Ma! Aku belum siap tinggal bareng hiu-hiu bisnis!”

Callindra tertawa lepas. “Justru biar kamu belajar berenang di dunia orang dewasa. Nggak bisa terus-terusan jadi bocah yang nyusahin Abang CEO-nya.”

Senara memeluk bantal sofa dengan ekspresi pura-pura tersinggung. “Jahat. Padahal aku manis dan lincah. Lagian Mama tuh... favoritnya Bang Alaric terus.”

Callindra mengangkat alis. “Iya dong. Satu-satunya anak yang sejauh ini belum bikin aku mau pensiun jadi ibu.”

Renzo dan Senara tertawa bersamaan. Suasana jadi ringan, penuh kehangatan khas keluarga yang tidak sempurna tapi saling mendukung.

...***...

9 p.m

Lampu ruangan hanya menyala sebagian. Suara tangisan bayi terdengar nyaring dari dalam kamar.

Aluna membuka pintu apartemen perlahan, masih mengenakan pakaian dari lokasi syuting, hoodie menutupi kepalanya. Suara tangis langsung membuat langkahnya tergesa ke dalam.

Ia melepas sepatu cepat-cepat lalu menaruh tasnya di atas meja makan. Kakinya melangkah ke kamar sambil membuka hoodie, rambutnya berantakan karena kelelahan.

Alaric berdiri di dekat boks bayi. Matanya merah. Rambutnya sedikit acak-acakan. Kaosnya kusut. Wajahnya penuh frustasi.

Arshen masih menangis dengan suara tinggi.

Alaric bicara sendiri. “Apa lagi, hah? Udah ganti popok... udah nyusu... Kamu tuh maunya apa sih...”

Tangannya mengguncang botol susu, mencoba memastikan suhunya. Tapi Arshen malah makin menangis keras.

Alaric mengerang pelan, menatap langit-langit. “Demi saham Alverio, ini bayi bisa ngalahin CEO tua marah-marah...”

Tangannya nyaris melempar botol ke atas kasur, tapi hanya dikepal keras. Ia menghela napas berat, matanya mulai panas.

Aluna kaget dan panik. “Alaric! Jangan dibentak dong! Sini… sini, kasih ke aku!”

Alaric menoleh. Matanya memerah, bukan karena marah, tapi lelah. Ia langsung menyerahkan Arshen ke pelukan Aluna. Bayi itu langsung sedikit tenang.

Aluna mengayun lembut Arshen sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Aluna dengan suara tenang berkata, “Arshen sayang… Mama pulang ya… Udah ya…”

Arshen mulai mengeluarkan suara gumaman manja, matanya setengah tertutup. Alaric hanya menatap dari samping, pelan-pelan duduk di pinggir tempat tidur bayi sambil memijat pelipis.

“Mama sama Senara udah pulang dari sore. Aku suruh mereka istirahat. Dari pagi Mama ngurus Arshen. Renzo juga, aku suruh balik. Takut kesehatannya nge-drop lagi. Dari jam enam sampai sekarang aku main sama Arshen ….”

Aluna mengangguk pelan, masih fokus pada bayinya. “Makasih udah jaga Arshen... Maaf, aku pulang malam.”

Alaric mendongak, suara dan wajahnya sedikit retak. “Aku bisa handle... Tapi kalau terus begini, aku ngerti kenapa orang tua bisa depresi.”

Aluna tersenyum simpul, duduk di samping Alaric dengan Arshen yang mulai terlelap di pelukannya. Ia menyandarkan kepala ke bahu Alaric.

“Ya... Tapi kamu masih di sini. Dan Arshen masih hidup. Jadi kamu udah hebat.”

Alaric tidak menjawab. Tapi tangan kirinya naik memeluk bahu Aluna pelan. Malam itu, bukan hanya Arshen yang tertidur lebih damai, tapi juga dua orang tuanya—yang sedang belajar menjadi orang tua.

...***...

5 a.m

Cahaya remang dari lampu tidur menyinari sebagian ruangan. Aluna sudah tertidur di sisi kanan ranjang setelah berhasil menidurkan Arshen. Bayi mereka kini lelap di ranjang khusus di samping tempat tidur besar.

Alaric duduk menyandar di kepala ranjang. Dadanya naik turun pelan. Ia menatap langit-langit, mata terbuka lebar.

Tangannya memijat kening sendiri, rambutnya kusut, dan napasnya panjang seperti tak selesai-selesai.

Alaric berpikir dalam hati. “He’s my baby. Bayi mungil yang nangis seolah dunia akan runtuh. And me... I don't know what to do.”

Ia melirik Arshen yang tenang, seakan bayi itu tidak pernah rewel. Tapi suara tangisan tadi masih menggema di telinganya.

“Gue tumbuh tanpa kasih sayang Papa. Tanpa pelukan hangat yang bilang semuanya akan baik-baik aja. Papa sibuk kerja. Gue... gak tahu cara jadi Papa.”

Alaric menyandarkan kepala ke dinding, wajahnya tertutup tangan.

“Dan gue bahkan bukan suami yang baik. Aluna... Dia berjuang. Dia gak pernah mengeluh. Bahkan saat tahu gue gak cinta sama dia, dia tetap di sini. Tapi gue?”

Ia melirik ke arah Aluna yang tertidur, rambut berantakan, wajahnya lelah. Tapi damai.

“Apa gue salah? Menikahi dia demi warisan? Kasih dia anak... demi menyelamatkan citra?”

Alaric menghela napas panjang. Tubuhnya jatuh pelan menyamping, berbaring menghadap langit-langit. Ia menatap kosong.

“Renzo... masih sering muncul di pikiran gue Tapi dia bukan milik gue. Dan Aluna... dia di samping gue… Menggendong anak gue. Menanggung semuanya sendirian kalau gue pergi.”

Alaric memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya.

“Harusnya gue merasa utuh. Tapi kenapa gue merasa hampa? Atau... mungkin ini bukan kehampaan. Tapi... ketakutan.”

Ketakutan menjadi suami sungguhan. Ketakutan menjadi ayah. Ketakutan jatuh cinta pada perempuan yang diam-diam membuktikan... bahwa cinta bukan hanya tentang debaran. Tapi tentang bertahan.

Aluna terbangun perlahan. Mata sayunya menyipit, menyesuaikan cahaya remang dari lampu tidur. Ia menyadari posisi ranjang masih sama, hanya kini Alaric berbaring memunggunginya, masih terjaga. Napas pria itu berat, tapi tak teratur. Tidak seperti orang tidur.

Aluna diam sebentar. Lalu bergerak pelan, menggulung selimut dari tubuhnya. Ia mendekat. Tangannya menyentuh punggung Alaric perlahan, lalu menyusuri pundaknya.

“Kamu udah bangun?”

Alaric hanya mengangguk kecil, masih memunggungi Aluna. Tidak ingin menjawab. Tapi tubuhnya yang tegang mengisyaratkan... ia rapuh.

Aluna menghela napas pelan. Ia meraih lengan Alaric dari belakang, menyentuhnya dengan kelembutan yang tidak menghakimi.

“Alaric... Tidur lagi. Kalau kamu gak kuat berdiri nanti pagi... Arshen akan nangis lagi, dan kamu akan pingsan duluan.”

Aluna tersenyum kecil, lalu menarik lengan Alaric pelan, menyuruhnya berbalik.

Alaric sempat menahan, tapi akhirnya menyerah. Ia berbalik pelan, wajahnya mengarah ke Aluna.

Mata mereka bertemu. Aluna mengangkat lengannya sendiri, menawarkannya. “Tidur sini. Pakai lenganku. Biar aku yang jadi bantalmu hari ini.”

Alaric menatap wajah lembut istrinya. Tidak percaya. Aluna benar-benar menawarkan tempat perlindungan... padahal seharusnya ia yang jadi pelindung.

Perlahan, Alaric meletakkan kepalanya di lengan Aluna. Tak nyaman, mungkin. Tapi hangat. Aman. Manusiawi.

Aluna menyentuh rambut Alaric, jari-jarinya menyusuri pelan. “Kamu belum siap jadi Papa? Belum siap jadi suami? Gak apa-apa. Kalau kamu masih harus belajar pelan-pelan, aku akan jadi bentengmu dulu. Aku kuat. Yang penting, kamu tetap di sini. Tetap ada.”

Alaric memejamkan mata. Untuk pertama kalinya sejak malam penuh kebimbangan itu, dadanya terasa sedikit ringan.

“Kalau kamu ada, Arshen punya ayah. Kalau kamu ada, aku punya suami. Itu udah cukup.”

Aluna mengecup pelipis Alaric. Pelan. Bukan untuk membangkitkan cinta. Tapi untuk menguatkan.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!