“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Terungkap
Setelah mengetahui ibunya diberi obat khusus anjing oleh Saras, kecurigaan Renaya kini mengarah pada satu nama yang sejak awal selalu mencurigakan. Sosok yang memiliki akses penuh untuk mendapatkan obat semacam itu tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun.
Bagantara.
Pria itu bekerja sebagai apoteker di salah satu rumah sakit daerah. Bukan hal mustahil jika ia dan Saras telah lama bersekongkol dalam permainan kotor ini. Dan pagi ini, Renaya memantapkan diri untuk memastikan kebenaran itu secara langsung.
Dia menapaki pelataran rumah sakit dengan langkah cepat, wajahnya menegang menahan emosi. Sesampainya di area apotek, Renaya menahan diri. Ia tak serta-merta menerobos masuk, melainkan memilih mengamati Bagantara dari kejauhan, berdiri di balik pilar beton.
Baru saja ia hendak melangkah lebih dekat, tiba-tiba seseorang datang dari arah berlawanan, tergopoh-gopoh menghampiri Bagantara. Dan Renaya terbelalak—Saras.
“Ngapain Saras datang pagi-pagi begini ke tempat kerja Mas Bagantara?” bisiknya penuh curiga.
Dadanya sesak oleh kecurigaan yang makin menebal. Ia terus mengamati dari balik kerimbunan pohon kecil dekat parkiran. Gerak-gerik mereka tampak mencurigakan, berbicara dengan ekspresi tegang. Tak lama kemudian, Bagantara masuk ke area dalam apotek, lalu muncul kembali membawa sesuatu.
Renaya menyipitkan mata, matanya tak berkedip. Dari saku jasnya, Bagantara mengeluarkan plastik kecil berisi beberapa kapsul berwarna hijau gelap.
“Itu... itu obat yang Saras kasih ke Ibu!” gumam Renaya, suaranya nyaris tercekat.
Tanpa menunggu lama, ia berbalik arah, berjalan cepat menuju motor yang diparkirnya. Amarah menyalak di dadanya. Rasa curiga yang selama ini berusaha ia redam, hari ini pecah tanpa bisa dikendalikan lagi. Ia menyalakan mesin motor, melaju pulang untuk segera menyampaikan temuannya kepada sang ibu.
Kini semuanya jelas. Dugaan baik yang sempat muncul di benaknya terhadap Bagantara perlahan runtuh. Meskipun pria itu pernah tampak membela Sandrawi dan bahkan menghajar Dodi karena membela kehormatan sang adik, kenyataan berkata lain. Ada sisi kelam yang berusaha Bagantara tutupi rapat-rapat.
Bagantara tetaplah sosok paling mencurigakan dalam keluarga mereka. Apalagi setelah mengetahui ia sendiri yang menyerahkan obat mencurigakan itu kepada Saras, jelas-jelas dengan maksud yang tak baik.
......................
Di rumah, Ratih duduk bersandar santai di ruang tengah, matanya menatap televisi yang menayangkan sinetron sore. Hanya ia dan Baskoro saja yang berada di rumah. Sementara Renaya sejak pagi sudah pergi entah ke mana.
Ratih tak banyak tanya. Ia tahu, putrinya sedang mengupayakan sesuatu, menyelidiki segala kemungkinan yang berhubungan dengan kapsul misterius itu.
Namun lain halnya dengan Baskoro yang duduk tak jauh darinya, membawa sepiring irisan mangga matang.
“Ke mana lagi tuh Renaya? Setiap hari pergi nggak jelas begitu, jangan-jangan lagi sibuk melayani pelanggan,” dengus Baskoro sambil meletakkan piring buah di meja.
Ratih menoleh, bibirnya melengkung tipis. “Renaya bukan perempuan macam itu, Pak. Jangan asal menuduh.”
“Ah, kamu selalu bela dia. Itu anak makin besar kepala gara-gara kamu,” tukas Baskoro tajam, menyuapkan sepotong mangga ke mulutnya.
Ratih tetap tenang. “Mungkin Rena memang lagi sibuk ngurus sesuatu yang kita nggak tahu, Pak. Tolong jangan terlalu cepat menuduh. Dia bukan anak seburuk itu,” sahutnya lembut.
Baskoro hanya mendengus keras, menahan ketidaksukaannya. Ia mengulurkan piring berisi mangga ke arah istrinya.
Ratih tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Sudahlah, Pak, jangan marah terus ke anak sendiri.”
Baru saja percakapan itu menggantung di udara, terdengar ketukan dari arah pintu.
Tok! Tok!
“Permisi...”
Ratih dan Baskoro spontan menoleh ke arah ruang depan, mendengar pintu rumah berderit perlahan, disusul suara Saras menyapa dari ambang pintu. Seketika dada Ratih menegang, ada rasa tak nyaman yang menyusup pelan. Sejak kejadian obat hijau gelap itu, nalurinya tak lagi bisa percaya sepenuhnya pada perempuan itu.
“Maaf, saya ganggu, ya, Mbak,” ujar Saras dengan senyum seolah-olah tak bersalah.
“Ah, nggak kok, Saras. Ada keperluan apa sore-sore begini?” jawab Baskoro, terdengar ramah seperti biasa.
Sorot mata Saras melirik ke arah Ratih, sekelebat ekspresi terkejut kembali muncul di wajahnya, sama persis seperti hari itu, seolah tak menyangka Ratih masih bisa duduk tegak dengan wajah segar. Dan semakin membuat Ratih yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Saras darinya.
“Begini, saya mau sedikit merepotkan,” Saras kembali menyunggingkan senyum yang tak sepenuhnya tulus.
“Nggak repot sama sekali kok, Saras. Ada apa?” timpal Baskoro santai, tak menyadari ketegangan tipis di ruang tamu.
“Eh… anu… saya ada keperluan ke pasar. Jam segini angkot udah jarang lewat sini, saya takut kelamaan nunggu nanti keburu tokonya tutup. Apa saya boleh minta tolong diantar?”
Baskoro tertawa kecil. “Saya kira mau minta bantuan besar, ternyata cuma minta anter ke pasar,” candanya, membuat Saras tersipu.
“Maaf ya, Mas Baskoro… saya jadi sering ngerepotin. Mbak Ratih juga, maaf ya, saya ganggu lagi.”
Ratih hanya tersenyum tipis. Di balik keramahannya, ia tetap menjaga jarak batin. “Nggak repot kok. Kalau mau, saya aja yang anterin, kebetulan saya juga perlu beli sesuatu.”
“Ah, nggak perlu, Mbak. Mbak Ratih ‘kan masih dalam masa pemulihan,” sanggah Saras cepat.
Ratih mengerling, bibirnya mengulas senyum samar. “Badanku sudah jauh lebih enakan, Saras. Malah sudah bisa beraktivitas lagi. Ini juga berkat obat darimu, makasih, ya.”
Saras tersentak kecil, ekspresinya sempat terputus sebelum kembali menutupnya dengan senyum canggung. “Eh… iya… tapi tetep aja, saya nggak enak kalo Mbak Ratih harus kecapekan nganter saya. Mbak masih butuh banyak istirahat.”
“Iya, Ibu denger Saras aja. Biar saya yang anterin ke pasar, Bu istirahat di rumah. Kalau ada titipan, bilang ke saya sekalian,” sambung Baskoro cepat.
Ratih mengangguk pelan, menelan kembali semua gejolak yang sempat naik ke permukaan. “Titip detergen sama pelembut aja, Pak. Di rumah udah hampir habis.”
“Nanti saya belikan. Saya pergi dulu ya, Bu, anterin Saras sebentar. Buahnya dihabisin, ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon saya.” Baskoro menepuk lembut pundak Ratih, lalu mengecup dahinya sebentar sebelum beranjak.
Ratih tetap duduk di sofa, hanya matanya mengikuti arah langkah mereka yang perlahan menghilang di balik pintu. Namun naluri Ratih tak membiarkannya tenang. Ada suara kecil berdesis di telinganya, mendesaknya untuk mengintip dari balik jendela.
Dan firasatnya benar adanya. Dari sela tirai, Ratih menyaksikan sesuatu yang mengoyak hatinya, Saras dengan santai melingkarkan lengannya di pinggang suaminya, Baskoro tidak menolak, tidak juga menghindar. Ia justru membiarkan perempuan itu menempel tanpa beban.
“Astaga… apa-apaan ini…” Ratih mendesah, dada terasa sesak, matanya panas.
Ia terduduk lemas, tak menyangka kepercayaan yang selama ini dijaganya justru diinjak-injak begitu saja. Saras, perempuan yang kerap ia puji karena kebaikannya, ternyata menyimpan taring beracun. Dan suaminya, lelaki yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, seakan membiarkan semua itu terjadi.
Bibir Ratih bergetar. Pikirannya kacau. Ia tak ingin percaya, namun apa yang baru saja ia saksikan begitu nyata di depan mata.
“Bapak… nggak mungkin… Bapak nggak akan tega selingkuh…” gumamnya mencoba menyangkal, meski hatinya sudah remuk.
Meski matanya menatap televisi, pikirannya melayang ke arah bayangan Saras dan Baskoro. Skenario buruk berputar tanpa bisa dikendalikan, menampar keras kesadarannya bahwa mungkin, selama ini ia terlalu buta.
Tiba-tiba suara mesin motor terdengar dari halaman. Ratih buru-buru menyeka ujung matanya yang mulai basah. Ia tahu, itu Renaya. Dan satu hal yang ia pastikan, Renaya tak boleh tahu dirinya menangis.
Anak itu memiliki darah panas. Ratih sangat tahu, Renaya tak akan tinggal diam jika tahu ada yang menyakitinya.