"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 31
Matahari sore menyinari wajah Caca yang masih berkeringat. Pulang sekolah, ia langsung disambut oleh Nenek Nunung yang menunggu di depan pintu rumah mereka yang sederhana di pinggiran kota . Aroma masakan sederhana, sambal terasi dan ikan goreng, tak mampu mengusir ketegangan yang selalu membayangi Caca setiap kali ia bertemu neneknya.
"Caca, Nenek butuh dua juta," pinta Nenek Nunung, suaranya datar tanpa basa-basi.
Caca menghela napas. Baru saja ia melangkahkan kaki ke rumah, sudah dihadapkan pada permintaan uang yang tak pernah ada habisnya. "Nek, aku nggak punya uang," jawabnya kesal. Ia lelah dengan tuntutan finansial neneknya yang tak pernah berakhir.
"Minta saja sama sugar daddy-mu," desis Nenek Nunung, nada suaranya tajam seperti pisau. "Cepat, Nenek sangat butuh uang ini!"
Caca menggigit bibirnya. Ia terpaksa berbohong lagi. "Pak Liam lagi nggak bisa dihubungi, Nek. Mungkin lagi sama istrinya," jawabnya. Kebohongan itu terasa pahit di lidahnya, namun ia tak punya pilihan lain. Hubungannya dengan Liam, seorang pria yang jauh lebih tua darinya, memang rahasia yang ia jaga rapat-rapat. Ia menggunakan uang Liam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk memenuhi permintaan Nenek Nunung yang tak pernah puas.
"Seandainya kamu tidak ketahuan berbohong kepada keluarga Wijaya, Nenek bisa hidup mewah sampai sekarang," gerutu Nenek Nunung, amarahnya meledak. Caca tahu, Nenek Nunung masih menyesali kegagalannya dalam memanfaatkan hubungan Caca dengan keluarga kaya tersebut.
"Lah, kenapa menyalahkan aku? Ini karma untuk Nenek karena memanfaatkan aku untuk hidup mewah. Sekarang kita miskin, jadi Nenek nggak usah lagi bergaul dengan teman-teman sosialita itu!" Caca membentak, lalu bergegas masuk ke kamarnya, meninggalkan Nenek Nunung yang terdiam di ruang tamu.
Di dalam kamar, Caca memeluk erat bantalnya. Air matanya mengalir deras. Ia merasa lelah, sangat lelah. Setiap hari ia dihantui tuntutan uang dari neneknya. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung. Pikirannya melayang pada apartemen mewah milik Liam. Apartemen yang selalu ia impikan sebagai tempat pelarian dari realitas pahit yang ia hadapi.
"Kalau begini terus, aku bisa gila. Mungkin aku harus pergi dari sini, tinggal di apartemen Om Liam saja. Aku sudah tidak peduli dengan Nenek," gumam Caca dalam hati. Keputusan itu terasa berat, namun ia merasa tak punya pilihan lain. Ia harus menyelamatkan dirinya sendiri dari jeratan hutang moral dan tuntutan finansial yang tak pernah ada habisnya. Ia harus memilih antara hidupnya sendiri dan hubungan yang penuh tekanan dengan neneknya. Keputusan itu akan mengubah hidupnya selamanya. Ia harus berani mengambil resiko.
caca semakin kesal karena gak di sekolah , gak di rumah dia selalu kesel.. apalagi neneknya yang selalu minta uang berjuta-juta setiap hari..
caca membereskan semua barangnya sambil menangis karena lelah dengan perlakuan neneknya dan memutuskan untuk meninggalkan neneknya hari ini juga.. caca akan menunggu neneknya keluar dulu baru dia pergi..
Nenek Nunung masih berdiri di ruang tamu, tatapannya kosong namun dipenuhi amarah yang membara. Suara Caca yang tertahan dari dalam kamar tak mampu meluluhkan hatinya. Ia merasa dikhianati, ditinggalkan, dan sendirian dalam kemiskinan. Bayangan masa lalu, saat ia masih bergaul dengan teman-teman sosialitanya yang kaya raya, kembali menghantuinya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Umpatan itu terlontar dari bibir Nenek Nunung, suaranya serak. "Setelah Nenek membesarkanmu, begini balasanmu? Nenek susah, kamu malah bersembunyi di kamarmu seperti pengecut!" Ia berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal kuat.
"Uang itu penting, Caca! Kau tidak mengerti betapa pentingnya uang itu untuk Nenek! Kau pikir Nenek senang meminta-minta padamu? Kau pikir Nenek senang melihat diri Nenek seperti ini?" Suaranya meninggi, dipenuhi kepedihan dan kemarahan yang bercampur aduk. Ia merasa dirinya telah gagal sebagai seorang nenek. Ia merasa telah gagal membimbing cucunya.
"Kau berbohong tentang Liam! Nenek tahu kau berbohong! Kau punya uang, Caca! Kau menyembunyikannya dari Nenek!" Tuduhan itu dilontarkan dengan penuh emosi. Nenek Nunung merasa dikhianati oleh cucunya sendiri. Kepercayaan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun runtuh seketika.
Ia menendang kursi kayu di dekatnya, membuat suara berderak yang menggema di ruang tamu yang sunyi. "Kau pikir Nenek akan terus membiarkanmu hidup enak sementara Nenek menderita? Kau salah besar, Caca! Kau harus bertanggung jawab atas kehidupan Nenek!" Amarahnya memuncak. Ia merasa tak berdaya, terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang membuatnya semakin frustrasi.
Dari dalam kamar, Caca hanya diam. Ia mendengar setiap kata-kata neneknya, namun ia memilih untuk tidak menanggapi. Bukan karena ia tidak peduli, namun ia merasa lelah berdebat. Tangisnya telah habis, digantikan oleh rasa kosong dan hampa. Ia merasa terbebani oleh tuntutan neneknya, namun ia juga merasa tak berdaya untuk mengubah keadaan.
Ia hanya bisa diam, menelan semua amarah dan kecewa yang ditujukan padanya. Di dalam hatinya, ia merasakan campuran rasa sakit, penyesalan, dan juga sebuah tekad yang perlahan mulai tumbuh. Tekad untuk mengubah hidupnya, untuk lepas dari jeratan ini, bahkan jika itu berarti harus meninggalkan neneknya. Diamnya bukanlah tanda kelemahan, tetapi sebuah bentuk perlawanan yang tenang. Ia akan mencari jalan keluarnya sendiri.
*********
Caca sampai di apartemen mewah Liam. Pemandangan kota dari balkon lantai atas begitu kontras dengan rumah sederhana yang baru saja ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, menenangkan debar jantungnya yang berdetak kencang. Di dalam, ia menemukan Liam tengah duduk di sofa kulit, membaca koran. Ia terlihat terkejut namun tak menunjukkannya secara terang-terangan.
"Caca? Ada apa? Kenapa kau datang kemari?" tanya Liam, suaranya lembut namun sedikit formal.
Caca menggigit bibirnya, ragu-ragu. Ini adalah percakapan yang paling sulit dalam hidupnya. Ia menatap Liam, matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha untuk tetap tegar.
"Om Liam," Caca memulai, suaranya sedikit gemetar. "Aku... aku butuh bantuan Om."
Liam menurunkan korannya, menatap Caca dengan penuh perhatian. "Ceritakanlah," katanya, suaranya penuh empati.
Caca menceritakan semuanya, mulai dari pertengkarannya dengan Nenek Nunung hingga kebuntuan yang ia rasakan. Ia menceritakan tentang tuntutan uang yang tak kunjung berhenti, tentang kebohongan yang ia pertahankan, dan tentang beban yang semakin berat ia pikul. Ia menceritakan semuanya dengan jujur, tanpa menyembunyikan sedikit pun air mata yang perlahan mulai mengalir di pipinya.
Liam mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk tanda mengerti. Ketika Caca selesai bercerita, Liam terdiam sejenak, merenungkan apa yang telah ia dengar.
"Jadi, kau ingin tinggal di sini?" tanya Liam akhirnya, suaranya tenang.
Caca mengangguk, air matanya kini mengalir deras. "Aku... aku tidak tahu harus ke mana lagi, Om. Aku lelah."
Liam menghela napas. Ia tahu hubungannya dengan Caca rumit dan penuh resiko. Namun, melihat keadaan Caca yang begitu terpuruk, ia merasa tak tega untuk menolaknya.
"Baiklah, Caca," kata Liam, suaranya lembut. "Kau boleh tinggal di sini untuk sementara waktu. Kita akan bicarakan semuanya nanti." Ia mengulurkan tangannya, menghapus air mata Caca dengan lembut.
Caca memeluk Liam erat-erat, rasa syukur dan lega memenuhi hatinya. Ia tahu, keputusannya untuk tinggal di apartemen Liam bukanlah solusi permanen, namun setidaknya, untuk saat ini, ia merasa aman dan terlindungi. Ia berharap, di tempat ini, ia bisa menemukan ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi masa depannya. Namun, ia juga menyadari, jalan ke depan masih panjang dan penuh tantangan. Ia harus memikirkan bagaimana menyelesaikan masalahnya dengan neneknya, dan juga bagaimana menghadapi konsekuensi dari hubungannya dengan Liam.
di balik tingkah laku nya yang buruk, caca adalah gadis belia yang masih kasih sayang orang tuanya dan butuh bimbingan juga.. dia sering menangis tengah malam melihat hidup yang di jalani nya..
!!!!
gak tau diri bgt sihhh loe cha