Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Kamar
“Jani….aku ada urusan sebentar. Kau jangan ke mana-mana dan tidur saja duluan.” Jani mengangguk, ada perasaan lega karena Calvin keluar meninggalkan dirinya di kamar seorang diri.
“Jantung rasanya mau copot sejak tadi…… Padahal orangnya cuma duduk saja sibuk mainin ponselnya, tapi kenapa aku ini rasanya seperti sedang di perhatikan.”
Monolog Jani dengan dirinya sendiri sambil mengusap dadanya lega.
Jani turun dari kasurnya, kebetulan perutnya keroncongan sejak tadi tapi malu untuk menyentuh makanannya. Jani mencoba mengigit buah apel yang sudah terkupas menjadi beberapa potongan panjang.
“Rasanya berbeda sekali dengan apel yang aku suka makan. Apa ini apel orang kaya yah? Hahahaha…..Mas Angga pasti belum pernah makan apel ini.”
Cekrekkkkk…….
Jani memotretnya.
“Rasanya manis sekali seperti ada madunya.”
Pesan di bawah gambar yang Jani kirimkan pada Mas Angga.
“Makanan apa itu Jan? Mas biasanya makan apel terasa ada asam-asamnya.”
Jani antusias karena pesannya di balas cukup panjang.
“Ini beda Mas, sepertinya ini apel orang kaya jadi tidak ada asem nya. Manis banget Mas.”
“Oh yah….Mas jadi penasaran.”
“Kapan-kapan aku minta Kak Calvin bawakan ke rumah Mas yah.”
“Kau istirahat ya sayang, jangan kelelahan. Mas menyayangi mu Jan.”
Jani terharu sekali, tidak terasa ujung matanya sedikit basah.
Mas Angga tidak pernah bicara selembut ini pada dirinya, dia dingin, bicaranya irit tidak suka bertele-tele. Tapi ini manis sekali setelah adiknya jauh.
Jani mengusap layar ponselnya dengan penuh sayang, tidak salah dirinya berkorban sedikit demi kebaikan Mas Angga dan keluarga kecilnya yang sangat berharga.
Triitt…..
Pintu kamar terbuka lebar.
Jani langsung membuang muka setelah secara langsung bertatapan denga mata bulat Calvin yang begitu indah.
Jantung Jani kembali berpacu tidak terkendali, masih takut berhadapan langsung dengan Calvin seperti ini.
“Kau lapar?” Jani mengangguk pelan. “Aku pesankan makanan sebentar.”
Calvin langsung menghubungi seseorang lewat ponselnya.
Jani hanya mendengar sekilas Calvin meminta seseorang membawakan makanan ke rumah mereka.
Jani kebingungan, harus apa dirinya sekarang. Mulutnya kelu dan sekujur tubuhnya terasa tegang tidak karuan. Situasi yang tidak pernah Jani bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.
Bisa-bisanya menikah dengan laki-laki yang nama lengkapnya saja baru dirinya tahu di hari pernikahan mereka.
Calvin kembali duduk di sofa panjang, sepertinya tempat favoritnya. Dia kembali sibuk dengan ponselnya sedangkan Jani sibuk membolak balik halaman ponselnya tak tentu arah. Dia hanya berusaha terlihat tenang agar Calvin tidak tahu dirinya sedang sangat tegang.
“Jan…”
“Yahhhhh…!!!” Jani juga kaget dengan suaranya sendiri. “I…iya Kak…” Jani menunduk malu. Ada senyum di sudut bibir Calvin melihat tingkah Jani.
“Apa aku semenakutkan itu?” Jani menggelengkan kepalanya tentu saja.
“Hahahahaha…..gak Kak, Jani tidak begitu kok Kak merasanya. Kenapa Kak?” Padahal sorot mata Jani sudah menjelaskan semuanya.
“Tolong turun sebentar ambilkan aku map putih yang ada di atas meja makan.” Calvin tahu Jani butuh ruang untuk bernafas, dia belum terbiasa.
“Siap Kak, Jani segera ambilkan.” Calvin menggeleng gemas, dia bahkan belum bilang map warna apa dan berada di sudut mana yang harus Jani ambil.
“Ya Tuhan…..sebanyak ini map nya, kok gak di kasih tahu harus ambil yang mana aku ini.” Gerutunya merasa kesal dan bingung.
Tringgg…..tringggg……
Eh kodok….
Aduh…..
Jani memegangi dadanya sendiri merasa terkejut mendengar suara telpon rumah berdering cukup keras. Jani segera melangkah menuju meja telpon yang ada di dekat sofa ruang tengah.
Menatap pintu kamar utama sebelum mengangkat telpon yang berbunyi.
“Jan….bawa tumpukan kertas paling ujung yang ada buku catatan di atas nya.” Telpon terputus tanpa sempat Jani menjawabnya.
Segera Jani melangkah kembali menuju meja makan panjang yang cukup berantakan saat ini.
“Ini kan yah….Cuma ini yang ada buku catatannya.” Tangan mungilnya tidak sengaja menjatuhkan buku catatan yang akan dirinya raih.
Foto wanita cantik dengan tulisan Kesayangan membuat jantung Jani berdetak cukup tidak beraturan. Tangannya sedikit gemetar meraih buku catatan dan segera menutupnya rapat.
“Apa sih Jan….santai aja Jan. ini baru awal Jan, kau tidak boleh memikirkan yang tidak perlu Jan.” Bicara pada dirinya sendiri agar tetap tegar.
Ini konsekuensi karena Jani benar-benar tidak mengenal sama sekali siapa Calvin dan masa lalunya. Jani mencoba mengatur nafasnya, tidak boleh membuat Calvin merasa terganggu dengan perasannya yang tidak benar ini.
Jani….Kau hanya di nikahi karena keinginan Calvin, bukan karena cinta atau hal lain Jan.
“Sadar Jani….” Ucapnya lagi setelah cukup tenang untuk kembali naik ke atas.
Pintu kamar terbuka lebar, ekspresi wajah Jani sedikit mengusik Calvin.
“Everithing ok Jani?” Tanya Calvin melihat wajah Jani terlihat begitu tegang. Tatapan mata Calvin membuat Jani kembali gugup.
“Ada apa?” Tanya nya lagi sambil berjalan mendekat pada Jani.
Brukkkk….
Jani menaruh laporan dan buku catatan Calvin buru-buru dan cukup keras di atas meja.
“Aku sakit perut Kak.” Jani lari cukup cepat masuk ke dalam kamar mandi.
Calvin yang melihat tingkah Jani hanya geleng-geleng kepala. Calvin melihat buku catatannya, ada ujung halaman yang tidak sejajar. Calvin membukanya dan tersenyum saat melihatnya.
“Kau melihat ini Jan?” Bicara sendiri. Calvin merobek nya dengan cepat dan membuangnya ke tong sampah.
“Sekarang hanya ada kau Jani.” Gumamnya pelan.
Calvin kembali duduk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena pernikahannya. Banyak berkas yang menumpuk padahal dirinya hanya seharian ini saja absen kerja. Calvin menggaruk tengkuknya merasa suntuk.
Beberapa kali Calvin melirik jam tanganya karena Jani cukup lama berada di dalam kamar mandi. Ingin menanyakan keadaannya tapi kakinya begitu berat untuk melangkah, masih sedikit canggung meski itu bukan sifat Calvin yang suka blak-blakan dan tidak berperasaan.
Tok…tok…tok…
Akhirnya setelah berfikir cukup lama.
“Jani….kau baik-baik saja?” Tidak ada jawaban membuat Calvin sedikit khawatir.
“Jani..Jan….Jani…kau dengar suara ku?”
“Ngapain sih dia ke sini….” Jani mondar mandir di depan pintu kamar mandi. Kuku jempolnya sampai terkikis ujungnya di gigiti Jani sendiri karena merasa tegang.
“Jani….jangan salahkan aku kalau ku dobrak pintu kamar mandinya.”
“Dengar Kak….” Teriak Jani takut Calvin benar-benar mendobrak pintu kamar mandi. “Aku sedikit lagi selesai Kak.”
“Keluar Jani…aku tau kau tidak sakit perut. Cepat keluar.”
“Dia ini punya indera ke enam atau bagaimana sih, darimana dia tau aku tidak sakit perut!!!!” Jani mengusap rambutnya merasa frustasi.
“Keluar Jan….satu…., Ku hitung sampai tiga. Dua…ti…” Pintu terbuka lebar. Jani membuka pintu sambil menunduk takut.
“Wanita yang kau lihat di buku catatan ku sudah masuk tong sampah. Sekarang keluar dan istirahat. Kau bisa sakit kalau kelelahan, ingat…aku tidak mau repot mengurus mu jika sakit.” Jani mengangguk paham.
Kakinya buru-buru melangkah dan naik ke kasurnya seperti anak anjing yang patuh pada pemiliknya.