NovelToon NovelToon
ZAYRA

ZAYRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: MayLiinda

Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".

"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

AUTHOR POV – HALAMAN GUDANG

Suara besi beradu pecah di udara. Dentuman keras, jeritan pendek, dan raungan mesin motor bercampur jadi satu. Bau besi, darah, dan asap rokok memenuhi malam Jakarta yang udah jadi arena perang.

Lampu-lampu neon redup bergetar, kadang mati-nyala, bikin bayangan anak-anak Brightzone dan Stardom kayak siluet monster saling hajar di bawah cahaya neraka.

Zayn berdiri di tengah lingkaran, rantai baja melilit tangan kanannya, darah netes dari pelipis sampai rahangnya. Nafasnya berat, pundaknya naik-turun. Matanya… udah nggak ada rasa takut, cuma api yang kebakar sama satu hal: Amira.

Dia maju selangkah, hadapin Robi yang berdiri santai di ambang pintu gudang. Robi pegang pisau lipat di tangan, mainin bilahnya kayak predator yang nikmatin mangsa sebelum cabik. Senyum liciknya nggak pernah hilang.

“Lo datang juga, Bro,” ucap Robi pelan, nadanya kayak racun. “Gue suka cowok yang punya nyali.”

Zayn ngepalin tangan sampe rantai di pergelangan bunyi nyeret. Suaranya rendah, berat, hampir nggak kedengeran sama suara berisik di luar.

“Lepasin dia.”

Robi ketawa kecil, santai. “Lepasin? Lo pikir gue bawa dia ke sini buat apa? Buat lo peluk lagi? Sorry, Bro. Gue nggak secengeng itu.”

Dia angkat HP-nya, tunjukin layar ke Zayn. Amira ada di sana—terikat di kursi besi, jilbabnya sedikit lepas, pisau Robi tadi nempel di bawah dagunya. Mata Amira basah, tapi sorotnya keras, sekeras doa yang dia bisikkan ke Tuhan.

“Lo sentuh dia lagi…” suara Zayn turun satu oktaf, tajam kayak besi yang diasah. “…dan lo nggak bakal bisa ketawa lagi, Rob.”

Robi mendekat pelan, jarak mereka tinggal lima langkah. Pisau lipat di tangannya berkilat kena cahaya lampu neon yang goyah.

“Gue tunggu, Zayn. Tunjukin semua taring lo. Karena malam ini… bukan soal siapa kuat. Ini soal siapa paling tega.”

---

POV ZAYN

Gue ngerasa udara di sekitar gue jadi berat. Setiap tarikan napas rasanya kayak hisap api neraka. Di belakang gue, suara anak Stardom masih hajar anak Brightzone. Besi ketemu tulang, teriakan nyatu sama dentuman knalpot. Tapi gue nggak peduli. Gue cuma liat satu orang.

Robi.

Mata liciknya, senyum bangsatnya, cara dia mainin pisau di tangan kayak lo main spinner pas lagi bosan. Gue tau ini bukan sekadar mainan buat dia. Ini game—game yang dia bikin buat bikin gue jatuh.

“Ya Allah…” doa itu keluar di hati gue pelan, “…kasih gue kekuatan. Jangan biarin dia nyentuh Amira.”

“Gue nggak mau banyak omong,” suara gue berat, nembus bising. “Dimana dia?”

Robi senyum miring. “Lo pengen ketemu dia? Menang dulu lawan gue. Fair and square.”

Fair? Gue ketawa sinis dalam hati. Apa ada kata fair di dunia Robi?

Gue buang jaket, jatuhin ke lantai. Kaos hitam gue udah basah darah lawan yang gue tebas tadi. Gue lilit rantai lebih kenceng di tangan, bunyi besinya bikin bulu kuduk berdiri.

“Lo yang minta,” gumam gue pelan.

Satu langkah gue maju. Satu langkah lagi. Sampai jarak kami cuma setengah meter. Gue bisa cium bau asap rokok dari bajunya.

Robi angkat pisau, gerakin pelan, seolah ngajak dansa. “Ayo, Bro. Tunjukin lo masih raja jalanan atau cuma pecundang yang sembunyi di balik doa.”

Gue nggak jawab. Karena di kepala gue cuma ada satu kalimat,

'Kalau malam ini harus ada darah jatuh… biar darah gue. Asal bukan Amira.'

---

AUTHOR POV – DALAM GUDANG

Lampu redup, tembok penuh graffiti, udara dingin bercampur bau karat dan darah. Di pojok ruangan, Amira duduk terikat di kursi besi. Tangannya luka, pergelangan memerah karena gesekan tali kasar. Mata tertutup kain hitam, tapi suara dari luar cukup buat bikin tubuhnya bergetar.

Brak!

Suara benturan keras bikin kursi goyang. Nafas Amira makin pendek. “Zayn…” bisiknya, nyaris nggak bersuara. “Ya Allah, lindungi dia. Jangan biarkan dia terluka karena aku.”

Suara langkah berat mendekat. Kain di matanya ditarik paksa. Cahaya lampu neon langsung nyerang retina, bikin dia merem sejenak sebelum penglihatannya jelas.

Dan yang pertama dia liat… Robi.

Senyum iblisnya. Mata gelap yang nyimpen bara dendam. Pisau di tangannya muter pelan, ngeluarin bunyi gesekan yang bikin bulu kuduk berdiri.

“Cantik,” suara Robi pelan, tapi bikin tulang belakang Amira dingin. “Lo kuat juga. Cewek lain udah teriak-teriak minta ampun kalau ada di posisi lo.”

Amira tarik napas dalam, berusaha tegar. “Apa… yang kamu mau?”

Robi jongkok di depannya. Tatapannya tajam dan menusuk seperti ada kilatas kebencian di matanya, bikin Amira pengen nutup mata tapi nggak bisa. “Gue mau lo liat… cowok lo jatuh. Gue mau lo sadar kalau pahlawan lo… nggak bisa nyelamatin lo.”

Dia dekatin pisau ke dagu Amira, dinginnya nyentuh kulit. Amira meringis, tapi tetap nggak ngeluarin suara.

“Kalau lo mau keluar dari sini hidup-hidup…” Robi senyum miring. “…lo bilang di kamera,‘Zayn, tolong gue.’”

Air mata Amira jatuh, tapi dia geleng. “Aku… nggak mau dia datang buat mati.”

Robi ketawa kecil. “Sweet. Tapi percuma.” Dia arahkan HP ke wajah Amira, siap rekam. “Karena game ini… nggak bisa lo berhentiin.”

CLICK!

Foto pertama terkirim ke Zayn. Caption singkat,

“Udah telat 10 menit. Gue mulai pemanasan.”

Pisau itu turun pelan, nyeret kain jilbab Amira sampai robek sedikit. Bukan buka semuanya—cukup buat bikin video ini kelihatan… salah. Salah banget.

Robi senyum. “Gue pengen dia gila sebelum nyampe ke sini.”

---

AUTHOR POV – HALAMAN GUDANG

Suara besi beradu memekakkan telinga. Knuckle, rantai, dan baseball bat saling hantam. Percikan darah muncrat di lantai beton. Bau besi dan asap motor bercampur dengan teriakan yang bikin bulu kuduk berdiri.

Anak-anak Stardom dan Brightzone jatuh satu per satu, tapi nggak ada yang mau berhenti. Ini bukan sekadar ribut jalanan lagi. Ini perang harga diri.

Di tengah kekacauan, Zayn dan Robi berdiri saling berhadapan.

Lampu neon kuning redup, angin malam masuk dari celah-celah pintu gudang yang udah penyok. Bayangan mereka panjang di lantai, kayak dua siluet iblis yang siap saling cabik.

Robi mainin pisaunya, muter pelan, senyum bengis nempel di bibirnya. “Lo siap, Bro? Gue udah lama nunggu momen ini.”

Zayn nggak jawab. Rahangnya keras, napasnya berat. Rantai baja dililit makin kenceng di tangan kanannya. Setiap bunyi gesekannya kayak suara amarah yang dikasih bentuk.

Tanpa aba-aba

DUARRR!

Zayn hajar duluan. Rantai baja melayang, Robi tepis dengan pisau, gesekan besi ngeluarin percikan kecil. Zayn putar badan, sikut Robi, tapi Robi gesit, nunduk, balas dengan tebasan horizontal. Bilah pisau nyerempet lengan Zayn, bikin darah langsung menetes ke lantai.

“ARGHH!” Zayn mundur setapak, tapi nggak tumbang. Matanya makin gelap. Dia maju lagi, tendang Robi sampai cowok itu mental nabrak drum besi.

Robi ketawa keras. “Gue suka lo kalau lagi marah, Bro!” Dia lompat, tebas vertikal, tapi Zayn tangkis pakai rantai, lalu BRUKK! hantam bahu Robi sampai dia hampir jatuh.

Tapi Robi nggak sendirian. Dari sisi kanan, Juno nyeruduk ke arah Zayn, baseball bat terangkat. Sebelum hantaman jatuh, PLAKKK!—bat itu mental, dipukul Fatah pakai besi panjang.

“Gue bilang apa, Bro? Lo nggak sendirian!” teriak Fatah.

Reza, Vano, Rafi langsung nutup sisi lain. Mereka kayak tembok hidup buat jagain Zayn. Perang di halaman jadi chaos total. Darah, teriakan, bunyi besi nabrak tulang.

Zayn nggak peduli luka di lengannya. Dia cuma punya satu fokus: Amira.

---

SYIFA POV – LOBI MARKAS

Gue duduk di kursi sobek, kaki goyang nggak karuan. Dari balik pintu, suara benturan dan teriakan masuk kayak mimpi buruk. Tangan gue dingin, jantung gue pengen copot.

Ini bukan rencana awal gue. Sumpah bukan. Gue cuma pengen bikin gosip, bikin Zayn balik ke gue, bikin Amira sadar dia nggak cocok buat Zayn. Gue nggak pernah pengen ada darah. Nggak pernah pengen Amira duduk terikat kayak gitu.

Tapi Robi? Dia nggak kayak gue. Dia nggak punya batas.

Pintu ruang inti kebuka sedikit. Gue liat Robi jongkok di depan Amira, pisau di tangannya. Gue liat darah di ujung bilah itu. Gue liat mata Amira—gemetar, tapi berani. Dan gue… gue ngerasa mual.

‘Apa yang gue lakuin? Ya Allah… gue keterlaluan.’

“Syifa!” suara Robi bikin gue kaget. Dia berdiri di pintu, tatapannya tajem. “Ngapain lo diem? Kamera udah siap?!”

Gue bengong. “Buat… apa?”

Robi senyum miring, tatapannya kayak racun. “Buat bikin dia runtuh. Lo mau Zayn milik lo? Atau mau dia mati percuma?”

Gue nggak bisa jawab. Tangan gue gemeter. Gue pengen mundur… tapi kalau gue mundur sekarang, Robi nggak cuma benci—dia bakal hancurin gue juga.

Gue tarik napas panjang, pura-pura tegar, jalan masuk. Tapi hati gue… udah kebelah dua.

---

AUTHOR POV – DALAM MARKAS

Amira duduk kaku di kursi besi. Nafasnya pendek, bahunya gemetar. Tali kasar ngikat pergelangan tangannya sampai merah. Pisau Robi masih main-main di bawah dagunya.

Robi senyum, mata penuh kegilaan. “Cantik… siap jadi bintang malam ini?”

Amira nggak jawab. Air matanya jatuh, tapi bibirnya tetap rapat. Dalam hati, dia ulang doa yang sama:

‘Ya Allah, lindungi Zayn. Lindungi aku. Jangan biarkan aku jadi sebab dia binasa.’

Robi mendekat, nyentuh dagu Amira pakai ujung pisau. “Gue kasih lo kesempatan terakhir. Bilang di kamera… ‘Zayn, tolong gue.’ Kalau nggak—” dia angkat pisau ke leher Amira, ujungnya nyentuh kulit halusnya.

CLICK!

Kamera HP Robi nyala. Tapi sebelum dia sempat rekam, suara pintu dibanting keras bikin semua orang nengok.

BRAKKKKK!

Pintu gudang kebuka lebar. Zayn muncul. Nafasnya berat, darah netes dari pelipis dan lengan. Rantai baja di tangan, mata merah kayak bara. Di belakangnya, Stardom masuk, tubuh penuh luka tapi tatapan tajam.

“Lepasin dia.” Suara Zayn pelan… tapi bikin ruangan mati seketika.

Robi ketawa, keras, gila. “Akhirnya lo datang juga, Bro. Pas banget… gue lagi nyiapin ending yang epik.”

Dia tarik rambut Amira kasar, bikin cewek itu meringis kesakitan. Pisau ditempelin ke lehernya lagi. “Langkah salah satu lagi… dan gue potong napasnya.”

Zayn maju satu langkah. Rantai di tangannya bunyi nyeret. “Robi… kalau lo nyentuh dia lagi… gue sumpah ini malam terakhir lo napas.”

Robi senyum miring. “Coba.”

---

AUTHOR POV – RUANG INTI MARKAS

Hening yang cuma diisi suara tetesan darah dari pelipis Zayn. Bau logam, keringat, dan asap rokok nempel di udara. Robi dan Zayn berdiri berhadapan di tengah ruangan sempit, cahaya lampu kuning redup bikin bayangan mereka kayak dua siluet iblis.

Amira terikat di kursi besi, mata membelalak, napasnya tersengal. Pisau Robi masih nempel di lehernya. Ujungnya bikin garis tipis merah. Air matanya jatuh, tapi bibirnya menggigil sambil berbisik pelan:

“Ya Allah… selamatkan dia…”

Zayn maju satu langkah. Tatapan matanya dingin, hitam, penuh bara. “Gue kasih kesempatan terakhir, Rob. Lepasin dia.”

Robi ketawa pelan. Tawa yang nggak punya rasa takut, cuma penuh kegilaan. “Lo pikir ini film drama? Lo pikir lo hero? Bro, ini jalanan. Hero mati duluan di sini.”

Dia dorong kepala Amira pakai ujung pisau. “Cantik ini bakal jadi alasan lo jatuh malam ini. Semua yang lo lindungi… bakal gue potong satu-satu.”

Zayn nggak tahan lagi.

PRAAAANG!

Dia lempar rantai ke tangan Robi, bikin pisau mental jatuh ke lantai. Robi mundur, tapi cuma sedetik sebelum Zayn terjang, hantam rahangnya keras.

BRAKKK!

Robi terhuyung, darah muncrat dari bibirnya. Dia nggak jatuh. Dia malah ketawa. “Finally… ini yang gue tunggu!” Dia ambil besi panjang dari lantai, hantam ke arah Zayn.

Zayn tangkis pakai rantai, suara besi beradu bikin telinga panas. Dia balas dengan tendangan, Robi mental ke tembok, tapi langsung bangkit lagi.

Mereka nggak kayak manusia. Mereka kayak dua binatang buas yang lagi rebutan napas. Tiap pukulan bikin suara tulang berderak. Darah ciprat ke lantai, ke dinding, ke wajah mereka sendiri.

---

SYIFA POV – SUDUT RUANGAN

Gue berdiri kaku, tangan dingin, jantung mau copot. Gue liat Zayn… berdarah. Gue liat Robi… ketawa sambil mukul. Gue liat Amira… terikat, mata penuh doa.

Gue ngerasa… ini salah gue. Kalau gue nggak ikut main, kalau gue nggak mau rebut Zayn dengan cara kotor… semua ini nggak akan kejadian.

“Ya Allah… gue harus ngapain?” Gue gigit bibir sampai perih. Pilihan gue cuma dua: ikut Robi sampai akhir, atau… lawan darah gue sendiri.

Tapi kalau gue lawan Robi? Dia bakal benci gue. Dia bisa bunuh gue.

Gue pegang HP di saku, jempol gue gemeter. Gue bisa hubungi polisi. Tapi kalau polisi datang… Zayn kena. Robi kena. Gue juga kena.

‘Apa ini harga buat cinta yang salah?’ pikir gue sambil nyeret langkah pelan mendekat ke Amira.

---

AUTHOR POV – PERTARUNGAN MEMUNCAK

Robi hantam besi horizontal. Zayn jongkok, elak, terus balas dengan hantaman rantai ke punggung Robi. BRUKK! Robi teriak, tapi masih ketawa. Dia putar badan, tonjok rahang Zayn, bikin kepala Zayn jedug ke tiang besi.

Darah Zayn muncrat lagi. Dia goyah, tapi nggak jatuh. Dia tarik napas berat, tatapan makin gelap. Dengan tenaga terakhir, dia ayunkan rantai ke lengan Robi sampai besinya mental.

PRAAANG!!

Pisau Robi jatuh. Rantai Zayn melilit leher Robi. Dia tarik keras sampai urat leher Robi nongol.

“Lepasin dia… atau gue patahin leher lo!” suara Zayn berat, pecah, tapi bikin udara mati.

Robi nyengir meski lehernya kecekik. Napasnya seret. “Lo kira… lo menang… Bro?” Dia lempar pandang ke Amira. “Liat belakang lo…”

Zayn nengok cepat dan matanya membelalak.

Amira… udah berdiri. Ikatannya dilepas. Dan di belakangnya… Syifa.

Syifa gemeter, pisau di tangan. Wajahnya pucat. “Zayn…” suaranya lirih. “Gue… nggak mau ini semua kejadian…”

Robi ketawa makin keras, meski hampir nggak bisa napas. “Dia kembaran gue, Bro! Lo pikir lo punya temen? Semua ini game keluarga gue!”

Zayn bener-bener kebakar emosi. Dia dorong Robi ke tembok, hantam wajahnya berkali-kali sampai lantai basah sama darah. Rantai terlepas. Robi jatuh, tapi masih hidup… dan masih ketawa kecil.

“Belum selesai…” bisiknya sebelum pingsan.

---

AUTHOR POV – DETIK KRITIS

Zayn lari ke Amira, peluk dia erat. “Lo nggak apa-apa?” Napasnya pecah. Darah netes dari pelipis ke bahu Amira.

Amira nangis, suara tercekat. “Zayn… aku takut… aku kira kamu—”

“Gue di sini.” Zayn cium keningnya, pelan tapi penuh janji. “Gue nggak akan tinggalin lo. Nggak pernah.”

Tapi momen itu hancur sama suara sirene dari luar.

WEE-OOO WEE-OOO!

Lampu biru-merah masuk dari celah pintu.

Fatah teriak dari luar, “BRO! POLISI!”

Syifa jatuh duduk di lantai, HP-nya kebuka dengan layar telepon darurat. Air matanya jatuh. “Gue… yang nelpon mereka…”

Zayn noleh, tatapannya campuran shock dan marah. Tapi sebelum dia bisa ngomong—

DORRR!

Suara tembakan bikin semua orang kaget. Semua nengok. Robi… nggak ada di lantai.

Dia berdiri lagi, darah di wajah, tangan gemetar sambil pegang pistol. Ujungnya nempel ke pelipis Zayn.

“Kalau gue jatuh, lo jatuh sama gue, Bro.” Senyum Robi miring, gila. “GAME OVER.”

---

ENDING BAB 29

Suara tembakan kedua pecah. Tapi… siapa yang kena? Layar gelap.

---

To Be Continued...🫶✨️

1
Tarwiyah Tarwiyah
critanya jngan bertele" kak jdi bosen .maaf ya bukan mksd apa" cuma saran
MayLiinda: Siap. Terima kasih kak atas masukkannya .., 🫶
total 1 replies
Rukawasfound
Baca cerita ini jadi penghilang suntukku setiap hari
MayLiinda: Terima kasih 🙏😊
total 1 replies
Donny Chandra
Bagus banget thor! Bisa jadi film nih!
MayLiinda: Terima kasih .., 🙏😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!