Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Gereja tua itu berdiri di sebelah timur benteng pusat Yogya.
Surya memilih tempat ini sebagai titik balik. Di satu sisi, menara gereja yang tinggi bisa menghalangi pandangan tentara Belanda yang siaga di benteng pusat. Bahkan jika mereka sadar ada pasukan republik yang menyeberangi Kali Sinar dari arah timur, peluru meriam Belanda dari dalam kota tidak akan bisa menjangkau dengan efektif.
Di sisi lain, dari titik ini para pejuang bisa menyusuri muara kali untuk mencapai daratan tanpa harus memutar jauh melewati pos-pos Belanda.
Komisaris Zulfan dan Mayor Wiratmaja memimpin rombongan ke arah gereja di tengah kegelapan malam. Di antara pasukan, ada pula perempuan dan anak-anak—keluarga para pejuang yang terpaksa ikut karena rumah mereka di dalam kota sudah diduduki tentara Belanda.
Sebagian besar keluarga ini bukanlah keluarga perwira yang utuh. Banyak di antara suami atau ayah mereka sedang berada di luar kota, ikut bergerilya atau gugur dalam pertempuran sebelumnya.
Artinya, ketika agresi militer pecah, banyak anak kehilangan ayah, banyak istri kehilangan suami.
Bima memperhatikan, sebagian besar dari mereka bahkan tidak berpakaian lengkap. Agresi militer Belanda dilancarkan pada dini hari, sekitar pukul empat pagi. Orang-orang terbangun dalam kepanikan, banyak yang hanya sempat lari dengan pakaian tidur seadanya.
Anak-anak memandang sekitar dengan mata ketakutan, bersembunyi di balik dekapan para ibu. Tatapan mereka kosong dan penuh ketidakberdayaan.
Sementara pasukan bersiap menghadapi kemungkinan serangan, Surya merogoh ranselnya, mengeluarkan beberapa keping bekal kering dari markas sejenis biskuit lapangan yang jarang mereka dapatkan.
Ia hanya ingin mengganjal perut, namun tak disangka tindakannya itu langsung menarik perhatian banyak mata di sekitarnya. Anak-anak menatap biskuit di tangan Surya dengan tatapan lapar dan penuh harap.
Bima tertegun. Baru ia sadari, keadaan di pusat kota jauh lebih sulit ketimbang pos-pos gerilya di pedesaan. Di benteng Belanda, semua logistik dikuasai, sementara rakyat di sekitar gereja ini bahkan sulit mendapat segenggam beras.
Tanpa banyak pikir, Surya mengeluarkan semua biskuit dari ranselnya, lalu menyerahkannya. Anak-anak segera berebut, namun tetap dalam diam. Tak ada yang menangis atau berteriak, hanya suara bungkus kertas yang disobek cepat dan gumaman lirih, "Terima kasih, Kak…"
Surya terdiam. Mereka hanyalah anak-anak, sebagian bahkan belum genap sepuluh tahun, tetapi mereka sudah tahu bagaimana caranya bertahan hidup dalam sunyi, tanpa menimbulkan kegaduhan.
Medan perang membuat mereka dewasa sebelum waktunya.
“Tidak kau sisakan sedikit untuk dirimu, Surya?” tanya Okta, salah satu pejuang muda yang melihatnya.
Surya tersenyum tipis. “Apakah menurutmu kita masih bisa hidup kalau hanya mengandalkan biskuit segini?”
Okta terdiam sejenak, lalu tertawa pahit. “Benar juga!” Ia lalu mengeluarkan sisa makanan kering dari tasnya dan menyerahkannya kepada anak-anak.
Melihat itu, Malik dan kawan-kawan lain ikut melakukan hal serupa. Makanan yang tadinya dijatah untuk pasukan kini terbagi rata dengan rakyat kecil.
“Rofiq!” Tiba-tiba terdengar suara lantang Mayor Wiratmaja dari kejauhan. “Bawa beberapa orang, beri kabar ke Joko, katakan kita siap mundur kalau keadaan mendesak!”
“Siap, Komandan!” Rofiq menjawab sambil melambaikan tangan, lalu memimpin beberapa pejuang melesat ke dalam gelapnya malam.
Ironis memang. Republik ini sanggup menggerakkan ribuan pejuang rakyat dengan semangat yang tak pernah padam. Namun, mereka kekurangan alat komunikasi modern. Tak ada radio lapangan memadai, tak ada telepon medan. Yang bisa mereka andalkan hanyalah kurir, sinyal tangan, dan nyawa-nyawa muda yang berlari menembus bahaya demi menyampaikan kabar.
Itulah sebabnya, meski semangat rakyat begitu besar, mereka kerap kalah dalam pertempuran terbuka menghadapi Belanda yang jauh lebih lengkap persenjataannya.
Namun, inti dari semuanya bukanlah sekadar kabar kurir.
Tak lama setelah utusan itu pergi, terdengar suara menggelegar memecah malam. Jika dentuman meriam Belanda sebelumnya sudah terdengar seperti guntur, maka ledakan kali ini jauh lebih dahsyat bagai letusan gunung berapi yang mengguncang langit Yogya.
Seketika bola api raksasa membumbung dari arah Jembatan. Sinar merahnya hampir menerangi seluruh benteng pusat, sementara getarannya terasa hingga ke gereja tua tempat Surya dan kawan-kawan bertahan.
“Apa itu?!” seru Mayor Wiratmaja kaget. “Ledakan macam apa itu?”
Komisaris Zulfan menatap ke arah utara dengan wajah tegang. “Belanda… mereka membawa meriam super. Senjata berat yang selama ini hanya kita dengar kabarnya.”
“Meriam super?” Wiratmaja menatap heran.
“Ya,” jawab Zulfan, suaranya lirih. “Meriam yang dipakai Belanda ini katanya hasil kiriman sekutu. Kami kira kabar itu hanya gertakan, ternyata nyata.”
Bima teringat laporan intel yang pernah ia dengar. Itu bukan meriam biasa, melainkan mortir raksasa kaliber luar biasa. Dirancang untuk meruntuhkan benteng pertahanan. Kini, justru digunakan untuk meluluhlantakkan kota perjuangan Yogya.
Sebelum mereka sempat mengatur barisan, dentuman kedua kembali menggetarkan bumi. Ledakan jatuh hanya ratusan meter dari posisi mereka, membuat kaca jendela gereja pecah, atap kayu berguncang, dan debu berhamburan. Gelombang panas serta pecahan dinding beterbangan, memaksa semua orang tiarap menempel tanah.
“Mereka punya dua!” desis Mayor Wiratmaja sambil menutup kepala.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Zulfan.
“Karena untuk mengisi peluru sebesar itu butuh waktu lama. Tapi dua ledakan terjadi nyaris bersamaan—artinya Belanda menurunkan setidaknya dua meriam super!” jawab Wiratmaja dengan wajah muram.
Dugaan itu benar. Belanda sengaja menempatkan artileri beratnya di dua titik berbeda, untuk memastikan pusat kota Yogya, jantung republik, hancur tanpa sisa.
“Cepat! Semua segera keluar dari sini!” perintah Wiratmaja tegas. “Jangan tunggu lagi!”
Pasukan belum sepenuhnya siap mundur, banyak rakyat masih belum sempat diungsikan. Namun, waktu tidak berpihak pada mereka.
Surya merasa ada yang janggal. Ledakan itu terus diarahkan ke benteng pusat dan sekitarnya, bukan ke garis pertahanan gerilya di pinggiran kota.
Mengapa justru ke pusat? Apakah Belanda sudah mengetahui bahwa para pemimpin republik bersembunyi di wilayah inti Yogya?
Kecurigaannya terbukti benar. Rentetan peluru berikutnya jelas mengarah ke gereja di timur benteng pusat, tempat mereka berada sekarang.
Saat Surya mencoba menenangkan rakyat yang panik, ia melihat seorang prajurit sinyal berlari terseok, menyeret tubuh berdarah kawan-kawannya. Mereka baru saja lolos dari hujan artileri.
“Di mana instruktur Joko?” seru Mayor Wiratmaja sambil menyongsong mereka.
“Kamerad Mayor!” jawab prajurit komunikasi dengan wajah kacau. “Instruktur Joko… tidak akan datang!”
Mata Wiratmaja melebar. “Maksudmu… gugur?”
Prajurit itu menggeleng cepat, napasnya terengah. “Bukan! Mereka yang terluka bilang… instruktur memilih kabur ke pihak Belanda. Membawa beberapa orang bawahan!”
“Apa?!” suara Wiratmaja bergema keras di dalam gereja. Para pejuang yang mendengarnya pun membelalak kaget.