“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 35
"Laila, sudah siapkah dirimu mencuri tulang rusuk para korban di gubuk Suryo?” tanya Mbah Patmi.
"Sudah, Mbah,” jawabnya tegas. Dia baru saja selesai membereskan peralatan selam. Untuk pakaian, dibakar dikarenakan matanya sakit saat melihat warna belang, dan hatinya pun ikutan emosi.
"Apa kau perlu pakaian selam lagi?” sebuah suara bariton terdengar di belakang punggung si wanita.
“Sepertinya Anda senang sekali melihatku mengenakan pakaian warna tai, dan juga menantang bahaya di dasar air.” Laila menoleh menatap tajam.
“Jangan macam-macam! Di Dalam ragaku, ada jiwa tertidur istrimu, Juragan. Berani mengumpati, nanti gantian ku balas dengan menyiksanya,” senyum smirk itu terlihat puas.
Pramudya tidak jadi membalas kata-kata tajam Laila, sekarang dia paham makna senyum aneh yang disuguhkan sang bidan beberapa waktu lalu.
‘Ha ha ha … ada untungnya juga kau masuk kedalam ragaku, Mbak Nilam. Suamimu yang mirip patung Kera di gubuknya Suryo, tak berkutik,’ dalam hati dirinya tertawa puas.
Laila yang merasa lelah setelah seharian tanpa jeda melakukan hal berat, dia memilih untuk pulang, karena nanti malam harus beraksi lagi mencuri tulang rusuk, sebelum Suryo mengendus kejanggalan saat hendak mengendalikan para arwah, serta kehilangan salah satu pengikut setianya.
Jabrik selalu siap sedia mengantarkan kemana saja sang majikan baru. Kuda itu sama sekali tidak terlihat enggan.
.
.
“Lelahnya. Rasanya tulang belulang ku remuk redam,” wanita yang sudah tiba dirumah dinas dan kini tengah berbaring di atas tilam langsung memejamkan mata. Dia masih punya waktu sekitar tiga jam sebelum masuk waktu Maghrib.
“Kemana perginya Anto?!”
Teriakan Sopyan membangunkan Laila, dia langsung terduduk. Kepalanya terasa pusing, saat melihat jam tangan masih pukul lima sore, berarti dirinya cuma tidur satu jam saja.
“Bedebah satu itu apa tak bisa diam barang sehari saja? Apa perlu Kalajengking ku kirim kerumahnya, biar dirinya bungkam.” Laila turun dari ranjang, berjalan ke ruang tamu, sedikit menyibak kain jendela, bersiap menguping.
‘Sungguh tak terpuji kau Laila Ngatemi! Selain nyolong alat suntik dan obat di puskesmas, kini dirimu pun merangkap jadi tukang nguping,’ rutuknya mengatai diri sendiri.
"Eh … bodohnya!” Laila menjentik pelipisnya. “Segel indera keenam dan ilmu hitam mu kan sudah dilepaskan, tanpa mengintip seperti ini bisa mendengar perdebatan Sopyan. Dasar tukang pelupa!”
Laila kembali menghujat dirinya sendiri, lalu dia mengambil satu ekor Kalajengking yang sedang tidur di pojok kusen jendela. Diajaknya duduk pada sofa sambil mendengarkan suara tinggi Sopyan si pemuja Iblis.
“Bohong! Anto tak ada dibalik bukit, kawanan Kambingnya di angon orang lain! Cepat katakan dimana anak bodoh itu!” Urat leher Sopyan tertarik hingga menonjol, giginya bergemelatuk, habis sudah kesabarannya.
“Mana kami tahu, Pak. Setelah menemani dia ambil hadiah lomba, aku dan Ibuk langsung pulang. Anto bilang mau langsung ke rumah juragan Pram,” kilah Mia.
“Makanya kalau dikasih nafkah itu diterima! Jangan sok-sokan nolak padahal kalian masih kekurangan. Gaya betul tak mau makan uang haram, sudah macam orang suci saja! Akhirnya ya begini – aku sebagai kepala keluarga, MALU! Kerja di kantor kelurahan, tapi anak istri jadi babu!” Sopyan berkacak pinggang, menatap nyalang wajah jelek istrinya.
“Kau juga, Astuti! Jadi wanita sudah gagal dikarenakan tak bisa merawat diri. Jadi istri pun tak becus, tak pandai memanjakan suami. Jadi ibu juga demikian – bodohnya tak ketulungan! Lantas, apa keistimewaan mu? Wajah kusam, tubuh ringkih, tak ada gunanya kau hidup!” hinanya tanpa hati.
Kedua tangan Astuti terkepal disamping tubuh, dia harus tetap memerankan sosok istri lemah, diam saja saat dihina, agar pria jahanam di hadapannya ini tak curiga, dan bisa saja melaporkan ke dukun Suryo atas perubahan sikapnya.
Mia tidak terima ibunya terus menerus dicaci maki. “Ibuk jadi seperti ini ya karena ulah, Bapak! Andai saja Bapak tak memuja Iblis itu, maka kehidupan kita tak carut marut. Aku masih perawan, bukan gadis sudah bekas. Kita terhindar dari dosa karena telah bersekutu dengan Setan. Terlebih ikut serta dalam proses eksekusi para korban, terutama Bapak yang jadi mata-mata, diam-diam mencari informasi hari lahir remaja perempuan dan laki-laki.”
Cuih!
Sopyan meludahi kaos baju Mia. “Halla! Tahu apa kau, hah?! Kalau aku tak menyembah Tuan Iblis, dan jadi pengikut Juragan besar Suryo – maka keluarga ini dianggap melarat, diremehkan. Harusnya kalian bersyukur saat ada yang mengenali … oh itu istri dan anaknya pak RW.”
“Rumah yang kalian tempati ini, bila bukan dari hasil bersekutu dengan Setan, maka cuma berlantai tanah, dinding tepas. Dan mana mungkin kita punya kebun singkong serta cabai! Tahu diri sedikit kalian para Hama!” Dia sangat muak dengan keluarga jauh dari kata sempurna ini, lalu dirinya melangkah ke depan, membuka dan kemudian membanting daun pintu.
Brak!
“Sudah, Buk! Semoga semua ini segera selesai. Agar kita tak lagi melihat wajahnya setiap hari – entah itu harus beda alam karena kita mati ditangan pemuja Setan, atau dia yang tewas dibunuh seseorang.” Mia merangkul ibunya, mengusap lengan bagian atas.
Ya, Astuti, Mia, Anto – memilih bekerja serabutan demi bertahan hidup. Mereka menolak mentah-mentah uang haram Sopyan. Adapun gaji sebagai staff kelurahan – tak pernah Sopyan berikan kepada keluarganya, habis untuk foya-foya.
***
“Kau lebih pantas jadi Banci Sopyan. Mau disamakan dengan kaum perempuan, aku yang tak rela.” Laila meninju sandaran sofa, hatinya panas layaknya air mendidih.
"Sialan memang si Keparat itu, gara-gara dia tak lagi mengantuk aku!" tak berkesudahan dirinya merutuk ayahnya Mia.
Sisa waktu dihabiskan Laila dengan masak mie instan, dikasih potongan cabai rawit, dan dua telur ceplok. Minumnya jeruk hangat sisa buah beberapa hari lalu yang kulitnya sudah layu. Kemudian dia mandi.
.
.
"Uyut, tolong iringi langkah cicitmu ini. Jangan biarkan termakan godaan setan, serta halangi para hantu agar tidak muncul tanpa terlebih dahulu memberi aba-aba." Laila menarik resleting jaketnya.
"Mungkin kalau tak ada Nyi Hyang, tubuhku sudah rontok satu persatu. Tiap hari diajak atraksi, belum lagi kerja jantung yang bunyinya seperti orang jatuh cinta," gumamnya asal sembari mematikan lampu dalam rumah.
Laila berjalan ke belakang rumah Ida, disana lah Jabrik berada. Supaya langkah kakinya tidak kedengaran Sopyan, sebab masih jam delapan malam tapi dia sudah harus bergentayangan.
"Ayo kita cari musuh! Biar hidup ini tak begitu-begitu saja." Ditepuknya punggung Kuda, lalu dia naik dan duduk di atas pelana.
Jabrik berlari dalam senyapnya malam, ditemani cahaya kunang-kunang yang mengikuti dari samping, dan belakang. Laila berpegangan erat pada tali kalang, matanya sungguh awas, dan instingnya sangat tajam.
Perjalanan kali ini lebih singkat dikarenakan Kuda yang sudah terlatih dimedan jalan sulit itu memilih rute lebih menantang, menanjak.
'Si duda kesepian itu sepertinya sengaja memberi Kuda dengan tenaga prima kepadaku, supaya memudahkan diri ini menuju para Bangsat itu!'
Masih berjarak satu kilo meter dari gubuk, tapi Laila sudah turun dari Kuda. "Tunggu aku, kalau ada bahaya kasih aba-aba!"
Wanita berpakaian serba hitam itu menengadah menatap bulan sabit dan gugusan bintang, cahaya lembutnya menembus dedaunan sehingga membias membuat pola ditanah.
Belum apa-apa, suara detak jantung Laila sudah bertalu-talu, serta aliran darahnya berdesir hangat. Ekor matanya menangkap siluet seperti melayang tak menjejak tanah.
"Anjing!" pekiknya spontan dan tertahan, mulai ambil ancang-ancang hendak berlari atau menghadapi.
.
.
Bersambung.
Kira2 tangan sapa tuhhh
itu anjing mkan tangan siapa
juragan suryo sok2an...siap2 terima lagi kejutan dari laila ngatemi😅