Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian di gua itu. Hujan badai telah lama reda, menyisakan udara segar yang membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang bermekaran di tepi hutan. Cahaya matahari pagi kini menembus dedaunan hijau, memantulkan kilau hangat ke dinding gua yang dulu terasa dingin dan penuh ketegangan.
Wei sudah bisa berjalan walau masih sedikit lemah. Luka di lengannya mulai mengering, meski sesekali ia masih meringis saat bergerak terlalu cepat. Sementara Sanghyun, meski belum sepenuhnya pulih, sudah mampu duduk tanpa bantuan.
Putri Minghua berdiri tak jauh dari mereka, menyiapkan ramuan herbal yang baru ia dapatkan dari Jinhai. Tangannya sibuk menumbuk akar dan daun, namun matanya sesekali melirik ke arah dua pria itu—hatinya bergetar tiap kali pandangannya jatuh pada Sanghyun.
“Seharusnya kalian masih banyak beristirahat,” kata Minghua, suaranya lembut namun terdengar tegas. “Tubuh kalian belum sepenuhnya pulih. Kalau memaksakan diri, lukanya bisa terbuka lagi.”
Wei terkekeh kecil, meski wajahnya masih pucat. “Kalau aku terus berbaring, aku akan gila. Aku bukan pria yang diciptakan untuk diam.”
Putri Xiaolan yang duduk di dekatnya langsung menatap tajam. “Kalau begitu, aku akan mengikatmu di sini agar kau tidak berkeliaran.”
Wei tersenyum tipis, lalu melirik Putri Xiaolan dengan tatapan penuh arti. “Kau benar-benar tega pada orang yang baru saja hampir mati karenamu?”
Pipi Putri Xiaolan langsung merona, ia mengalihkan pandangannya cepat, seolah-olah sedang marah padahal hatinya bergetar. “Jangan bicara bodoh.”
Putri Minghua memperhatikan interaksi mereka dengan senyum samar. Meski suasana penuh luka dan rahasia, ia bisa melihat ada kehangatan di antara mereka. Dan entah mengapa, kehangatan itu sedikit menenangkan hatinya yang masih diliputi banyak tanya.
Sanghyun yang duduk bersandar pada batu, menatap Putri Minghua lama. “Kau tampak berbeda,” ucapnya tiba-tiba.
Putri Minghua terkejut, menoleh. “Berbeda bagaimana?”
“Dulu matamu selalu terlihat sepi. Tapi sekarang…” Sanghyun berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. “…ada cahaya yang tidak pernah kulihat sebelumnya.”
Wajah Putri Minghua memanas. Ia mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan menunduk, sibuk menambahkan air ke dalam ramuan. “Kau terlalu banyak berkhayal. Itu hanya sinar matahari pagi.”
Sanghyun tersenyum tipis, namun tatapannya tidak berpaling darinya. “Tidak. Itu karena kau sudah mulai menemukan alasan untuk bertahan.”
Wei yang mendengar itu terkekeh kecil. “Hm, rupanya Sanghyun bisa juga berkata manis.”
Sanghyun menoleh padanya, tatapannya tajam. “Diamlah. Kau tak tahu apa-apa.”
Wei mengangkat bahu, tapi senyumnya masih terukir di wajahnya. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh seseorang yang pernah menyimpan luka yang sama.
Putri Xiaolan menghela napas panjang, mencoba mengalihkan suasana. “Yang jelas, kita tidak bisa terus bersembunyi di gua ini. Cepat atau lambat, orang-orang akan menemukan jejak kita.”
Seketika keheningan menyelimuti.
Putri Minghua menggenggam erat sendok kayu di tangannya. Ia tahu Putri Xiaolan benar. Mereka tidak bisa selamanya tinggal di gua ini. Tapi… ke mana mereka harus pergi?
Sanghyun menunduk, suaranya rendah namun tegas. “Kalau aku benar, musuh kita tidak akan berhenti. Luka ini hanya permulaan. Mereka akan datang lagi, dan kali ini tidak akan ada ampun.”
Wei menatap Sanghyun lama, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita harus siap. Aku tidak akan lari lagi.”
Putri Minghua menatap keduanya dengan cemas. “Tapi kalian baru sembuh! Bagaimana bisa bicara tentang pertempuran lagi?”
Sanghyun menoleh padanya, tatapannya dalam, penuh tekad. “Minghua… kau harus tahu. Selama ini aku menjauh darimu bukan karena aku membencimu. Aku takut menyeretmu ke dalam dunia ini. Dunia di mana darah dan pengkhianatan menjadi makanan sehari-hari.”
Putri Minghua terdiam. Hatinya berdesir hebat, dadanya terasa sesak mendengar pengakuan itu.
Wei menambahkan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kau punya pilihan, Putri Minghua. Kau bisa meninggalkan kami sekarang, kembali ke istana, menjalani hidup yang tenang. Itu lebih aman untukmu.”
Tapi sebelum Wei sempat melanjutkan, Putri Minghua berdiri, menatap mereka dengan mata yang berkaca-kaca namun penuh keberanian. “Tidak. Aku sudah membuat pilihanku sejak hari aku menemukan kalian. Aku tidak akan lari. Kalau kalian harus menghadapi bahaya, aku akan tetap berada di sisi kalian.”
Keheningan kembali jatuh. Hanya suara angin pagi yang masuk ke dalam gua.
Sanghyun menatapnya dalam, matanya bergetar. Wei memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum samar, seakan menyerah pada keteguhan hati Putri Minghua.
Putri Xiaolan hanya bisa menunduk, menggenggam erat kain di tangannya. Air matanya hampir jatuh, bukan karena sedih, tapi karena ia tahu—perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tidak akan ada jalan kembali.