NovelToon NovelToon
Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Light Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Michon 95

Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.

Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.

Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 : Kengerian Di Balik Lencana

Diam-diam aku memasang kuda-kuda. Kita nggak tahu apa yang terjadi di sini. Apakah semua bermain adil sesuai peraturan, ataukah mereka tidak segan-segan menyingkirkan lawan-lawan mereka demi menjadi anggota organisasi paling berkuasa di sekolah ini?

Perlahan, cowok itu melangkah maju hingga jarak kami hanya terpaut beberapa langkah.

"Adelia?"

Aku tertegun. Itu suara Ralfa!

"Beneran ini kamu kan, Adelia?" bisik cowok itu, yang kini tak diragukan lagi adalah Ralfa, pacarku yang sangat aku cintai.

Aku hanya mengangguk dan melepaskan topengku.

"Kamu udah nemu lencananya?"

"Belum, kalau kamu?"

"Aku udah," katanya sambil menunjukkan lencananya. "Oh ya, aku ingin bilang sesuatu padamu."

"Apa itu?"

"Aku belum bilang ini pada Danny sama Cindy, tapi aku punya firasat buruk soal acara ini."

"Firasat buruk seperti apa?"

"Entahlah, aku juga tidak yakin. Juga, sepertinya semua CCTV di sekolah dimatikan selama ujian berlangsung."

"Benarkah?" tanyaku tidak percaya, karena sekolah kami adalah sekolah elit, jadi tidak mungkin CCTV-nya dimatikan.

Ralfa hanya mengangguk dan berkata, "Mulai sekarang, kamu harus terus ada di sampingku. Sekarang ayo kita cari lencana untukmu," katanya sementara aku mengenakan kembali topengku.

"Emangnya kamu nemu lencananya di mana?"

"Ruang guru."

"Bukannya ruangan itu biasanya dikunci?" tanyaku penasaran. "Kok kamu bisa masuk ke sana?"

"Pintu itu emang tertutup, tapi nggak dikunci."

Ralfa menggandeng tanganku lalu berbalik dan kami berjalan pergi keluar dari dalam ruangan itu. Sungguh menyenangkan melihat Ralfa menggandeng tanganku, sama seperti saat kami pergi berkencan, walaupun ini bukan acara kencan.

"Sekarang kita akan ke mana, Fa?"

"Kita akan pergi ke gedung lab."

"Tapi," kataku ragu, "ruangan-ruangannya kan terkunci semua."

"Tepat sekali."

Kami pun berjalan menuju gedung laboratorium yang gelap gulita. Koridor lantai satu memang masih cukup terang, soalnya penjaga sekolah terkadang berpatroli melewatinya (bicara soal penjaga sekolah, aku heran tidak melihatnya dari tadi). Kami berjalan menaiki tangga.

"Fa, gimana kalau akhir pekan ini kita pergi berkencan?"

"Boleh, aku juga sudah sangat ingin berkencan dengan pacar tercintaku," kata Ralfa dengan nada jail yang langsung membuat pipiku merona.

Kami mendekati ruang lab komputer. Sesaat Ralfa terlihat ragu, lalu dia memutar hendel pintu ruangan itu dan pintu itu langsung terbuka.

Kami masuk ke dalam ruangan dan mencari-cari di seluruh ruangan yang dipenuhi berbagai perangkat keras komputer. Dalam waktu singkat, aku berhasil menemukan benda itu, rupanya tergeletak di antara tumpukan perangkat keras yang tampak tidak dibutuhkan.

Kami keluar dari ruangan itu dan menutup pintunya, lalu kembali ke lapangan basket. Kali ini kami juga berjalan sejajar, tapi tidak bergandengan tangan seperti tadi untuk menghindari kecurigaan para peserta yang lain.

Kami menuruni tangga lalu menuju lapangan basket. Di lapangan, aku melihat Cindy dan Kak Putri sedang duduk-duduk di tepi lapangan. Dari sikap santainya, kusimpulkan mereka sudah mendapatkan lencana.

Yang tak kuduga, Wahyu juga sudah nangkring di meja di tepi kantin bersama cewek yang tidak kukenali, juga ada Danny di dekat sana.

Aku berjalan menuju arah Cindy, mendadak kami dicegat oleh satu-satunya anggota yang berjaga di situ.

"Sudah dapat lencannya?" tanyanya dengan suara keset rusak yang jutek.

"Sudah," sahut Ralfa sambil menyerahkan lencana yang ditemukan.

Tanpa bicara, aku ikut menyerahkan lencana itu. Aku berbalik dan berjalan ke arah Cindy sementara Ralfa menuju ke arah Danny. Aku duduk di samping Cindy. Dia tidak memandang ke arahku dan seperti tidak peduli denganku, tapi lalu, tanpa disangka-sangka, kudengar suaranya yang rendah dan pelan.

"Meskipun saat ujian seleksi pun kalian berdua tetap menempel satu sama lain."

"Ya," gumamku.

Lalu aku bertanya, "Kamu nemu lencanamu di mana?"

"Ruang BK, tempat kamu dan Ralfa saling bertemu."

Aku harus menahan senyum, karena di situlah tempat aku dan Ralfa bertemu waktu kejadian ada yang memfitnah kami berdua.

Kami tidak berbicara lagi dan lebih memusatkan perhatian pada sekeliling kami. Kusadari anak-anak yang sedang berkumpul saat ini adalah anak-anak yang berhasil menyelesaikan misi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Mungkinkah hal ini dianggap prestasi oleh para anggota organisasi? Bagaimana pun, anggota yang akan terpilih nanti hanyalah tujuh orang, dan kebetulan, saat ini sudah ada tujuh orang yang berkumpul di sini. Penantian yang lama membuat kami mulai bosan.

Kurang lebih setengah jam setelah aku dan Ralfa tiba, cowok kurus jangkung yang tadinya sempat memprotes kehadiran Wahyu muncul dengan gaya pongah, menyerahkan lencana yang didapatkannya. Beberapa lama kemudian seorang calon anggota cewek muncul. Lalu pada akhirnya, salah satu cowok antara Amirudin atau Yuhal muncul sendiri.

Teng-teng-teng-teng-teng! Entah dari mana, para anggota organisasi yang tadinya tak kelihatan, kecuali si anggota jutek yang tadi mencegat kami untuk memeriksa lencana, muncul kembali. Si Hakim Tertinggi memeriksa lencana yang sudah dikumpulkan, lalu berpaling pada kami. "Waktu sudah habis," katanya. "Kita akan menunggu peserta yang tersisa untuk pengumuman seleksi malam ini."

Kami yang tadinya sudah berdiri dengan penuh semangat langsung menjatuhkan diri ke tempat semula. Jadilah kami semua berdiam diri dan menunggu si anggota terakhir, namun setelah lima belas menit berlalu, cowok yang seingatku tinggi tegap itu tetap tidak muncul-muncul juga.

"Oke, kita sudah terlalu lama menunggu," kata si Hakim Tertinggi seraya berdecak tak sabar. "Benar-benar membuang waktu saja! Siapa yang tadi terakhir melihat peserta terakhir?"

Setelah beberapa detik yang terasa bagaikan setengah jam, salah satu dari kami mengangkat tangan. "Tadi saya melihatnya menuju gedung auditorium."

"Kalau begitu coba kamu cari dia sekarang," perintah si Hakim Tertinggi dengan penuh wibawa, sehingga orang yang diperintah sama sekali tidak sanggup menolak. Lalu dia berpaling pada salah satu anggota organisasi. "Kamu, temani dia."

Keduanya segera melesat menuju gedung auditorium. Dari kejauhan, kami melihat mereka menaiki tangga depan pintu gedung auditorium. Saat pintunya terbuka, kulihat lampu menyala di dalamnya.

Mendadak saja perasaanku tak enak. Ada sesuatu yang tak beres di sini. Lalu mendadak, teriakan penuh kengerian memecahkan keheningan malam. Saat itu, seluruh situasi bagaikan berubah menjadi adegan film lambat. Aku bisa melihat dengan jelas, Cindy dan Kak Putri berdiri lebih cepat dari pada orang-orang lain, diikuti oleh Danny, Ralfa, Wahyu, si Hakim Tertinggi, dan cewek yang tidak kukenali. Mereka berlari dengan sangat cepat menuju asal suara itu. Aku, tentu saja, menyusul dengan berjalan. Lambat tapi selamat (dan tidak ngos-ngosan), aku tiba juga di depan gedung auditorium. Saat memasuki pintu raksasa itu, kulihat semua orang hanya berdiri terpana di depan pintu. Aku menyelinap di belakang punggung orang-orang lain dan tiba di pinggiran kerumunan. Dan aku ikut terpana melihat apa yang membuat mereka shock. Di tengah-tengah auditorium, lantai yang dilapisi granit berwarna krem digambari dengan cairan berwarna merah yang tercium amis. Gambarnya tidak lain adalah sebuah perisai dengan pedang di tengah-tengahnya, simbol The Judges. Sementara itu di atas panggung, duduklah cowok pendek kekar yang juga menjadi peserta dengan kaki berlumuran darah. Dan tak salah lagi, tempurung lututnya dipaku sampai hancur.

1
Mbak Inama
bagus banget ceritanya,dari segi alur sangat menarik
Matsuri :v
Gak akan bosan baca cerita ini berkali-kali, bagus banget 👌
Hachi Gōsha: makasih/Smile/
total 1 replies
Star Kesha
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
Hachi Gōsha: terima kasih
total 1 replies
Raquel Leal Sánchez
Bikin adem hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!