Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Kediaman Angelina
Suasana rumah keluarga Marissa siang itu berubah ricuh begitu kabar mengejutkan terlontar. Angelina yang baru saja mendengar penuturan ibunya langsung membelalak tak percaya.
“Apa?! Kak Nicholas udah punya calon istri?!” pekiknya, wajahnya seketika memanas.
“Iya,” jawab Nyonya Marissa dengan nada kesal, masih tak bisa menerima kabar itu. “Katanya nanti malam, Tante Amanda mau ketemu sama calon mantunya.”
Angelina menatap ibunya tak percaya. “Siapa, Ma? Kok aku nggak tau sih?!”
“Ya mana Mama tau,” gerutu Nyonya Marissa, melipat tangannya di dada. “Mama aja kaget pas dia bilang udah punya calon mantu.”
Angelina mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan emosi. “Nggak bisa... Aku nggak bakal biarin Kak Nicho jadi milik orang lain.” Suaranya bergetar menahan amarah, matanya menyala penuh tekad.
“Mama tau nggak mereka ketemuan di mana?!” tanyanya lagi, mendesak.
“Enggak,” Nyonya Marissa menggeleng cepat. “Mama nggak nanya. Kan aneh kalau Mama nanya, nanti malah bikin Tante Amanda curiga.”
Angelina mendengus kesal, lalu meraih ponselnya. Ia melangkah menjauh, mencari sudut tenang untuk menghubungi seseorang. Jemarinya bergerak cepat di layar, sementara hatinya dipenuhi satu tekad bulat: Nicholas harus jadi milikku.
*********
Pukul 7 malam – Kediaman keluarga Anna
Di rumah keluarga Aditama, suasana justru dipenuhi tawa dan canda. Anna yang sudah berdandan rapi tampak memeriksa pantulan dirinya di cermin besar ruang keluarga. Gaun sederhana berwarna pastel membuat wajahnya tampak semakin manis, ditambah riasan tipis yang menonjolkan sisi anggunnya.
“Wah, cantik banget anak Mami,” puji Mami Tania dengan mata berbinar.
Papi Aditama ikut menggoda sambil menegakkan kacamata di hidungnya. “Mau ngedate ya sama Nicholas?”
“Ihh apaan sih, Pi,” gerutu Anna sambil manyun. “Aku kan perginya bareng Abang.”
Tawa Papi Aditama pecah. Pandangannya beralih ke arah pintu saat Jason muncul dengan kemeja santai. “Bang, jangan pulang terlalu malam ya. Kasihan adikmu masih capek,” pesannya.
“Iya, Pi. Tenang aja, sebentar doang kok,” jawab Jason ringan. Ia lalu menoleh ke arah Anna. “Ayo, Dek.”
Anna mengangguk, mengambil tasnya, dan berpamitan pada kedua orangtuanya lalu berjalan beriringan dengan Jason menuju mobil. Begitu pintu mobil tertutup, ia langsung menoleh curiga.
“Bang, kita sebenarnya mau ke mana sih?” tanyanya tak sabar.
“Ketemu calon mertua kamu,” jawab Jason santai seolah itu hal biasa.
Anna sontak terbelalak. “Hah?!”
“Loh, kamu nggak tau?” Jason ikut kaget. “Bukannya Nicho udah kasih tau kamu kalau dia bakal kenalin kamu ke Tante Amanda?”
Anna menggigit bibir, wajahnya berubah panik. “Kasih tau sih... tapi katanya dua hari lagi, di rumah. Aku kira acaranya nanti, bukan sekarang.”
Jason terkekeh kecil melihat wajah panik adiknya. “Itu buat ketemu keluarga besar kita. Tapi sekarang, Nicholas mau ngenalin kamu dulu ke Tante Amanda sebagai calon istri. Mereka udah nunggu di kediaman pribadi Nicho. Abang ikut nemenin sebagai wakil orang tua. Tadi Abang juga udah izin ke Mami sama Papi.”
Anna terdiam sejenak, lalu merengut. “Kok nggak bilang-bilang ke aku sih...”
Jason tersenyum geli, lalu mengusap kepala Anna lembut. “Lha ini kan udah dikasih tau.”
Anna mendengus kesal, melipat tangannya di dada sembari cemberut.
Hening beberapa detik, lalu ia menoleh penasaran. “Ngomong-ngomong, sejak kapan Abang tau kalau aku sama Kak Nicho beneran jadian? Aku kan belum pernah cerita.”
Jason tersenyum tipis, matanya mengarah ke jalanan. “Udah dari kalian berangkat ke Kanada. Waktu itu, Nicho bilang ke Abang kalau dia mau confess.”
Anna membeku, matanya melebar. “Hah?!”
“Sebenarnya Abang udah tau dari awal kalau Nicho suka sama kamu,” lanjut Jason, suaranya tenang. “Abang setuju-setuju aja kalau dia mau jalin hubungan sama kamu. Cuma Abang selalu wanti-wanti, karena jarak usia kalian lumayan jauh. Abang nggak mau dia deketin kamu pas kamu masih terlalu muda. Jadi Abang selalu bilang ke Nicho buat sabar nunggu kamu dewasa dulu.”
Kata-kata Jason membuat dada Anna terasa sesak. Ia tidak pernah tahu kalau Jason, kakak yang selama ini paling protektif, ternyata sudah mengetahui rahasia besar itu sejak lama.
Jason tersenyum tulus, lalu melirik adiknya. “Abang setuju kamu sama Nicho. Dia bukan tipe playboy, dia baik, mapan, dan dewasa. Abang yakin dia bisa nuntun kamu jadi lebih baik, dan yang paling penting... Abang yakin kamu bakal bahagia kalau sama dia.”
Anna hanya bisa terdiam. Bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Di balik keterkejutannya, ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hatinya.
********
Kediaman Nicholas – Malam Hari
Nyonya Amanda sejak tadi duduk di ruang tamu, sesekali melirik ke arah pintu sambil memegang cangkir tehnya yang sudah mulai dingin. Sesungguhnya ia tidak sabar menantikan pertemuan malam ini, pertemuan pertama dengan sosok yang disebut-sebut Nicholas sebagai calon istrinya.
Deru mesin mobil terdengar dari halaman depan, membuat Nyonya Amanda segera bangkit. Senyum lebar langsung menghiasi wajahnya, seolah tak sabar melihat siapa gerangan calon menantunya. Namun senyum itu perlahan memudar begitu pintu mobil terbuka, menampilkan sosok Jason dan Anna yang turun bersama.
Wajah Nyonya Amanda seketika berubah bingung. Ia menoleh ke arah putranya dengan dahi berkerut.
“Loh... Kamu undang Jason sama Anna juga?” tanyanya heran. “Nicho, kamu ini gimana sih? Acara keluarga kok malah undang teman sama sekretaris kamu.”
Nicholas hanya tersenyum tipis, tidak langsung menjawab. Ia malah melangkah ke arah Anna, menatapnya dengan penuh kasih.
“Cantik banget, sayang,” ucapnya pelan, hanya untuk Anna.
Anna terdiam, pipinya merona merah, sementara Jason di sampingnya hanya memutar bola mata dengan ekspresi jengah.
“Selamat malam, Tante,” sapa Jason sopan sambil tersenyum.
“Eh, malam, Nak Jason. Ayo masuk dulu.” Meski bingung, Nyonya Amanda tetap menyambut dengan ramah.
Mereka pun masuk dan duduk di ruang tengah, saling berhadapan. Suasana hening sejenak, sebelum Nicholas akhirnya memecahnya.
“Mah...” panggilnya pelan.
Nyonya Amanda menoleh. “Ya?”
“Aku mau kenalin seseorang ke Mama.”
Nyonya Amanda semakin heran. “Loh, itu Jason sama Anna kan Mama udah kenal, Nicho.”
Nicholas tersenyum, Jason ikut menahan senyum, sedangkan Anna hanya menunduk. Jari-jarinya saling meremas, jelas memperlihatkan kegugupannya. Saat Nicholas tiba-tiba menggenggam tangan Anna, gadis itu tersentak kecil. Nyonya Amanda pun semakin kebingungan.
Dengan nada tegas, Nicholas menatap ibunya lurus-lurus. “Perempuan yang selama ini aku cintai... adalah Anna.”
Ruang tamu mendadak sunyi. Nyonya Amanda membeku beberapa detik, menatap anaknya tanpa ekspresi. Lalu tiba-tiba—
“APAAA?!” pekiknya kaget, membuat semua orang terlonjak.
“Jadi... yang kamu maksud itu Anna?” tanyanya terbelalak.
“Iya, Mah,” jawab Nicholas tenang, matanya mantap.
Nyonya Amanda terdiam, menatap Anna lama sekali, kemudian kembali ke arah putranya. Napasnya sedikit berat.
“Nicho, Mama merestui dengan siapa pun kamu menjalin hubungan, tapi...” ia menahan ucapannya, lalu menatap Anna penuh pertimbangan.
“Mama nggak setuju aku sama Anna?” tanya Nicholas datar, ada dingin di nada suaranya.
“Bukan begitu, tapi...” Nyonya Amanda menghela napas. “Anna masih terlalu muda, Nicho. Kamu mikir nggak, kalau masa depan karier Anna masih panjang, dan kamu udah ngajak nikah? Dia baru 23 tahun, ulang tahunnya ke-24 aja masih enam bulan lagi kan?” suaranya terdengar khawatir.
Nicholas menatap Anna, lalu menggenggam tangannya lebih erat. Tatapannya beralih lagi pada ibunya.
“Aku nggak akan halangin kalau Anna mau tetap ngejar kariernya. Nikah bukan penghalang, Mah. Aku cuma mau lebih banyak waktu bareng dia. Aku udah nggak muda lagi buat nunggu sampai Anna dianggap cukup matang.”
Nyonya Amanda menghela napas panjang, kemudian menatap Anna penuh keseriusan.
“Anna, apa kamu siap nikah muda?” tanyanya tegas.
Anna tercekat. Pandangannya beralih pada Nicholas yang menatapnya dengan sorot penuh harap. Jujur, hatinya ragu—dia belum benar-benar siap. Tapi di sisi lain, ia tahu hubungan mereka sudah melangkah jauh. Ia tak ingin semua itu berujung salah.
Akhirnya Anna mengangguk kecil. “Saya siap, Bu. Saya yakin Kak Nicho bisa nuntun saya jadi istri yang baik.”
Nyonya Amanda menoleh pada Jason, seolah meminta restu tambahan.
“Jason, gimana tanggapan keluarga kamu?”
Jason tersenyum santai. “Kami percaya sama Nicholas, Tante. Makanya kami setuju kalau Anna menikah dengan dia. Usia Anna memang masih muda, tapi sikap dan pikirannya dewasa. Kalau Anna udah yakin dan siap buat nikah, kami keluarganya nggak punya alasan buat melarang.”
Nyonya Amanda mengembuskan napas panjang sekali lagi. Wajahnya lembut, meski jelas masih menyimpan kekhawatiran.
“Ya sudah kalau begitu, Mama setuju.”
Wajah Nicholas berbinar senang. Anna menunduk malu, sementara Jason menghela napas lega.
“Anna,” ucap Nyonya Amanda, menatap calon menantunya dengan senyum hangat. “Sekarang jangan panggil Ibu lagi, ya. Panggil Mama. Mama janji bakal jadi mertua yang baik buat kamu. Jangan sungkan sama Mama. Dan Mama makasih banyak karena kamu mau nerima Nicho yang udah ketuaan buat kamu.”
Nicholas mendelik. “Mah, anak sendiri kok dibilangin tua sih.”
Jason malah terkekeh, sementara Anna tersenyum malu.
“Lha emang iya, Nicho. Anna baru mau 24 tahun, kamu udah 32,” goda Nyonya Amanda sambil tertawa kecil.
Nicholas menghela napas kesal, lalu menoleh ke Anna. “Kamu nggak masalah kan, Sayang? Aku nggak tua kok.”
Anna tersenyum lembut, menatap matanya. “Nggak kok, Kak. Kakak ganteng.”
Senyum lebar langsung terbit di wajah Nicholas, nyaris tak bisa ditahan. Ia sudah hendak mengecup pipi Anna, tapi tangan Jason cepat menahan.
“Asal main cium aja lo,” semprot Jason ketus.
Seketika ruangan dipenuhi tawa, mencairkan ketegangan yang tadi sempat membeku.
********
Esok Harinya – Kantor Nicholas
Hari itu suasana kantor terasa berbeda. Tidak ada suara riang Anna yang biasanya membuat ruangan hidup. Tidak ada langkah ringannya yang sibuk keluar masuk membawa berkas, atau celotehan kecilnya yang diam-diam selalu membuat Nicholas tersenyum. Semua terasa terlalu sepi.
Anna memang sengaja diberi libur oleh Nicholas. Baginya, Anna perlu istirahat. Dan meski kantor hening tanpanya, Nicholas tahu ia bisa bertemu Anna kapan saja.
Pukul dua siang, Nicholas masih tenggelam dalam pekerjaannya. Kedua matanya fokus menatap layar komputer, jemarinya sibuk menari-nari diatas keyboard. Tiba-tiba, suara dering ponsel yang cukup nyaring membuatnya terlonjak kaget. Ia segera meraih ponsel di meja tanpa berpaling dari layar.
“Emm... kenapa?” tanyanya setelah melihat nama Jason tertera di layar.
Namun jawaban di seberang membuat tangannya membeku di udara.
“Nich... G-gue mau kabarin... K-kalau Anna kecelakaan.” Suara Jason bergetar, terdengar menahan panik.
Nicholas sontak menegakkan tubuhnya. “APAAA?!” pekiknya, wajahnya seketika memucat.
“Keadaan Anna parah, Nich...” suara Jason lirih, hampir pecah. Di sela-sela sambungan telepon, Nicholas bisa jelas mendengar tangisan histeris Mami Tania, juga suara berat Papi Aditama yang terdengar mencoba menenangkan namun ikut tercekat.
Dunia Nicholas seolah berhenti berputar. Jantungnya mencelos, seakan ada tangan tak kasat mata yang meremasnya dengan kuat. “D-dimana? Di rumah sakit mana?!” tanyanya cepat, napasnya memburu.
Begitu mendapat jawaban, ia langsung berdiri tanpa pikir panjang. Kursi kerjanya terhuyung ke belakang, nyaris terjatuh. Nicholas berlari keluar dari ruangannya, langkahnya tergesa, nyaris membentur beberapa karyawan yang kaget melihat wajah pucat pucatnya.
Matanya panas, dadanya sesak, dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Semua pikirannya hanya satu: Anna.
“Sayang...” bisiknya dalam hati, dengan rasa takut yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.