Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAKIT
Pagi ini terasa tak seperti biasanya, Meru melihat Ara masih tidur meski jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Setelah sholat subuh tadi, Ara kembali tidur, sesuatu yang jarang sekali dilakukan karena biasanya kalau tidak membantu Mami dan Bibi di dapur, pasti mengajaknya jalan-jalan di halaman belakang, olah raga tipis-tipis. Olahraga? Ah, sejak pertengkaran hari itu, Ara tak pernah lagi rewel memaksanya bangun, mengajak olahraga.
Ya, sejak pertengkaran hari itu, tepatnya seminggu yang lalu, Ara jadi lebih pendiam, wanita itu hanya bicara seperlunya saja. Jika biasanya Meru akan kesal tatkala Ara dengan alasan ngidam, minta dibelikan ini itu, minta dipijetin kakinya, atau ngomel jika dicuekin, terlalu lama ditinggal main game, tapi seminggu ini, tak terdengar lagi rengekan Ara. Ibarat ponsel, Ara seperti sedang berada dalam mode silent. Hal yang dulu bikin kesel, sekarang ia merindukan itu. Rindu rengekan serta omelan Ara.
"Ra," panggil Meru yang baru saja mengambil pakaian basketnya dari dalam almari.
"Hem, iya," Ara membuka mata, suaranya terdengar lemah.
"Aku mau ke sekolah, tanding basket sama adik kelas." Pertandingan ini sudah direncanakan sejak beberapa hari yang lalu. Itung-itung perpisahan, setelah ini mungkin sudah tak bisa lagi main basket disana, juga sudah jarang ketemu dengan teman-teman.
"Iya."
"Buruan bangun, sarapan. Ini udah jam 9." Tadi pagi, Ara melewatkan sarapan, Meru tak membangunkannya karena kasihan, istrinya itu susah tidur kalau malam.
"Iya."
"Mau nitip sesuatu gak?"
"Enggak."
"Gak pengen rujak, atau salad buah?"
"Enggak."
"Kalau tiba-tiba pengen sesuatu, segera kirim pesan atau telepon, mumpung aku lagi di luar."
"Hem."
Meru berharap mendengar kalimat yang panjang, bukan hanya sekedar kata ya, tidak, atau deheman, tapi sepertinya, harapan tinggalah harapan. Ara masih sama seperti beberapa hari yang lalu, diam.
"Ya udah, aku pergi dulu," Meru menyempatkan mengecup kening Ara sebelum akhirnya keluar kamar dengan ransel di punggungnya. Kalau saja perut Ara tidak sebesar saat ini, ia pasti akan mengajak istrinya itu. Teriakan Ara yang duduk di tribun, merupakan salah satu mood boosternya. Dan rasa lelah, akan hilang saat Ara dengan senyuman manisnya, datang membawakan ia minum saat tiba waktu istirahat.
"Mau kemana?" tanya Mami saat Meru pamitan.
"Basket di sekolah. Perpisahanlah Mi, sebelum nanti kami jarang ketemu karena kesibukan kuliah dan jarak. Teman-teman Meru banyak yang lanjut kuliah di luar kota."
"Ru," raut wajah Mami mendadak terlihat serius.
"Ada apa, Mi?"
"Kamu ada masalah apa sama Ara? Jani bilang, beberapa hari yang lalu, dengar kalian bertengkar. Mami lihat, akhir-akhir ini Ara murung. Ada masalah apa sebenarnya? Oh iya, Mami sampai lupa nanyain, gimana hasil SNBT Ara, pengumumannya udah keluarkan? Apa jangan-jangan, Ara gak lolos, terus kamu marah-marah?"
"Em... " Meru mengusap tengkuk sambil menunduk, ragu untuk cerita.
"Ada apa, Ru?" Mami khawatir saat tahu mereka bertengkar. Awalnya tak mau ikut campur, tapi melihat Ara yang murung beberapa hari ini, ia merasa harus ikut campur untuk menyelesaikan masalah mereka yang sepertinya berlarut-larut tersebut.
"Ara ingin kuliah di luar kota, Mi. Dia keterima di universitas yang ada di Jogja."
"Jogja! Itu jauh loh. Bisa 7 sampai 8 jam kalau ditempuh dengan jalur darat. Mungkin kalau Bandung, Bogor, sekitaran Jawa Barat, masih ok lah, tapi ini Jogja, jauh."
"Itulah Mi, makanya Meru gak kasih izin dia lanjut kuliah disana." Meru lalu menceritakan alasan Ara memilih universitas tersebut. Menurutnya, apapun alasannya, meninggalkan anak yang masih bayi itu, jelas tidak benar.
Mami jadi ikutan pusing. Meru dan Ara memang sepatutnya belum berumah tangga, belum memiliki anak, mereka belum siap menjadi orang tua. Ego keduanya masih sama-sama tinggi. Masih ingin menempuh pendidikan, masih ingin senang-senang, kumpul dengan teman, bukan di rumah ngurusin bayi. Mendengar lantunan lagu di konser, rasanya lebih menarik daripada mendengar tangisan bayi.
"Mi, keputusan Meru sudah benarkan? Meru heran, bisa-bisanya Ara lebih mementingkan pendidikan daripada anak?"
"Itu karena dia belum siap menjadi ibu," Mami mengusap punggung Meru, berusaha menenangkan putranya yang tampak mulai emosi. "Jangan terlalu menyalahkan dia. Anak dalam kandungannya ada tanpa perencanaan, hal itu yang membuat dia belum siap menjadi ibu. Dan kamu," Mami menunjuk dada Meru. "Tanya pada diri kamu sendiri, sudah siap belum jadi ayah? Mami lihat masih suka jalan sama temen-temen, masih suka ngegame. Udah siap belum jika harus begadang jagain bayi?" ia meraih tangan Meru, mengusap punggung tangannya. "Makanya, kalau mau melakukan sesuatu, fikir dampak kedepannya. Jangan hanya memikirkan kesenangan sesaat. Kenapa sekks di luar nikah dilarang, dan kenapa pemerintah menentukan batas minimal usia pernikahan? Semua itu ada alasannya, Ru."
Meru terdiam, matanya berkaca-kaca. Nasihat Mami, langsung ngena, nusuk di hatinya.
"Kalian berdua dipaksa keadaan, mau tak mau harus siap menjadi orang tua. Dan itu karena kesalahan kalian sendiri. Makanya lain kali, pikir dulu sebelum melakukan sesuatu, apalagi sesuatu itu, sudah jelas-jelas salah, maksiat. Kita berdoa saja, semoga saat anak itu lahir, jiwa keibuan Ara akan muncul. Siapa tahu, nanti ia sendiri yang akan mengurungkan niatnya untuk kuliah di luar kota, karena terlalu sayang, dan tidak mau meninggalkan bayinya."
"Aamiin."
...----------------...
Perut lapar, membuat Ara yang kepalanya pusing, bangun untuk makan. Beberapa hari ini, ia merasakan sakit kepala ringan, namun pagi ini, rasa tersebut semakin berat, sakit sekali.
"Bi," Ara menghampiri Bi Yana yang ada di dapur. "Tolong ambilin Ara makan ya, Bi. Ara tunggu di meja makan."
"Mbak Ara kenapa, sakit?" Bi Yana khawatir melihat wajah pucat Ara. Wanita itu juga terlihat lemas.
"Sakit kepala, Bi." Ara memijat tengkuk untuk meringankan sakit kepalanya. "Sudah beberapa hari ini, Ara sakit kepala."
"Mending di bawa ke dokter, Mbak. Apa mau Bibi panggilkan Ibu, biar diantar ke Dokter?" Selama ini, memang Mami yang selalu mengantar Ara ke dokter, bukan Meru. Bukan karena Meru tak mau, tapi untuk mencegah dari omongan orang.
"Nanti aja lah Bi, lagian dokter langganan Ara gak praktek hari ini, jadwalnya besok. Ara tunggu di meja makan ya Bi," dengan langkah pelan, Ara meninggalkan dapur, menuju meja makan. Perut besar, juga kaki bengkak, membuat ia sulit berjalan. Tak perlu lama menunggu, makanan untuknya sudah diantarkan oleh Bi Yana, termasuk segelas air putih. "Makasih ya, Bi."
Bi Yana khawatir dengan kondisi Ara. Sakit kepala yang sudah berhari-hari, jelas tak bisa dianggap sepele, apalagi bagi seorang wanita hamil seperti Ara.
Pyar
Suara sesuatu yang pecah, membuat Bi Yana yang ada di dapur langsung mendatangi sumber suara. "Mbak Ara." Melihat Ara duduk di kursi, memijat kepalanya. Di sekitar kaki Ara, ada pecahan piring.
"Maaf ya Bi, piringnya pecah. Tadi mau aku bawa ke dapur, tapi tiba-tiba kepalaku sakit banget."
"Ada apa?" Mami juga datang akibat suara tersebut.
"Mbak Ara sakit kepala, Bu," sahut Bi Yana yang sekarang memijat tengkuk dan punggung bagian atas Ara.
"Astaga Ra, kamu pucet banget," Mami ikut khawatir.
"Mending dibawa ke Dokter aja, Bu, udah berhari-hari loh sakit kepalanya," saran Bi Yana.
"Ya udah, suruh Pak Slamet siap-siap, bilang Ibu mau ke rumah sakit."
kapokmu kapan?
pinternya si lala....
terus seperti itu lala biar papamu nyadar diri..../Chuckle//Chuckle/
seperti itulah dulu ara,saat kau tuduh dn kau sudutkan....
sakit,apalagi sampai kau sebut wanita murahan.....