NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:152.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Aroma Ironi

Lalu seseorang melangkah mendekatinya.

Perempuan itu bercadar, sama seperti dirinya. Tubuhnya cukup tinggi, posturnya anggun. Suaranya lembut, seperti bisikan kasih seorang ibu pada anak yang baru saja pulang setelah lama menghilang.

“Ayo, Nak… kita pulang.”

Tangan itu menggenggam jemari Kanya dengan penuh kelembutan.

Dan saat jemari itu menyentuh kulit tangannya, ada sesuatu yang hangat menyusup—sebuah rasa yang hampir ia lupakan.

“Ibu…”

Suara itu hampir tak terdengar, tapi cukup membuat mata perempuan itu berkaca.

Di balik cadar, dua wanita itu saling menatap. Saling mengenali meski belum pernah bertemu.

Dan Kanya… untuk pertama kalinya sejak luka itu menganga… merasa diperlakukan sebagai bagian dari keluarga.

“Ayo, Nak,” ulang ibu Kian sekali lagi.

Tak ada paksaan. Tak ada tuntutan.

Hanya peluang.

Untuk berbicara. Untuk menyembuhkan.

Untuk pulang—bukan ke rumah, tapi pada kenyataan yang selama ini mereka lupakan: bahwa ia adalah istri sah yang terluka dan baru kembali setelah menata hati.

Kian masih berdiri terpaku.

Ia menatap sosok perempuan bercadar yang kini berjalan disamping ibunya.

Dan saat Kanya melewati Kian, ia tak menunduk. Tak pula mempercepat langkah.

Ia hanya menoleh sekilas.

Sekilas saja.

Cukup untuk membuat Kian tahu—

Bahwa ini belum selesai.

Dan luka yang ia tinggalkan… masih menunggu untuk dijelaskan.

------

Lobby hotel mulai lengang.

Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya redup yang membentuk bayang-bayang panjang di marmer lantai. Di antara langkah kaki yang meninggalkan ballroom, Kanya tiba-tiba berhenti.

Matanya menangkap dua sosok yang sangat dikenalnya—Kyai Zubair dan Umi Farida.

Mereka berdiri tak jauh dari pilar besar, menatapnya dengan tatapan penuh kelegaan, seakan hanya ingin memastikan Kanya benar-benar baik-baik saja.

Langkah semua orang otomatis terhenti.

Kanya berbalik, mendekat. Tak ada kata pertama selain senyum tipis di balik cadarnya dan mata yang mulai menghangat.

“Kyai… Umi…”

Suara Kanya nyaris berbisik, namun cukup untuk menyapa dengan utuh.

Aisyah, ibu Kian, menyipitkan mata. Tatapannya berpindah dari Kanya ke dua orang sepuh bersahaja di hadapannya.

“Mereka…?” tanya Aisyah lembut, setengah penasaran, setengah khawatir.

Kanya menjawab pelan, namun jelas.

“Mereka… yang menolong saya setelah saya kecelakaan dan terdampar di tepi laut.

Yang menampung dan merawat saya, menganggap saya seperti putri mereka sendiri.

Seperti keluarga.”

Umi tersenyum hangat. Kyai hanya mengangguk tenang.

Keynan, ayah Kian, menatap mereka dengan hormat. Ada kerutan baru di dahinya yang barangkali bukan karena usia, melainkan beban batin yang mendadak harus ia tanggung.

“Kyai… Umi…” ucap Keynan, suaranya berat namun tetap menjaga etika.

“Jika tak keberatan, silakan beristirahat di hotel ini malam ini. Saya ingin berbincang dengan Anda berdua… esok pagi.”

Kyai tersenyum tipis dan menunduk hormat.

“Tentu, InsyaAllah, kami bersedia.”

Dengan satu isyarat halus, Keynan memanggil seorang staf hotel yang berdiri tak jauh.

“Tolong antar tamu kami ke kamar eksklusif. Pastikan mereka mendapatkan pelayanan terbaik,” ujarnya datar, namun tak ada nada meremehkan.

Staf itu memberi hormat kecil dan bersiap mempersilahkan Kyai dan Umi ke arah lift tamu VIP.

Keynan memberi anggukan sopan, lalu berbalik.

Aisyah—masih menggandeng lengan Kanya—ikut memberikan anggukan.

Kanya membungkuk hormat ke arah Kyai dan Umi.

“Terima kasih, Kyai... Umi,” ucapnya lirih.

Kyai dan Umi hanya tersenyum.

Mereka lalu melangkah menyusul Keynan yang telah lebih dulu berjalan.

Di belakang mereka, Kian melangkah perlahan. Ia sempat menunduk singkat ke arah Kyai Zubair dan Umi Farida, memberi penghormatan dalam diam.

Dan malam itu…

Untuk pertama kalinya, Kanya melangkah ke dalam lingkaran keluarga suaminya.

Bukan lagi sebagai orang yang dikaburkan,

bukan pula sekadar rahasia yang harus disembunyikan,

tetapi sebagai perempuan yang akhirnya datang membawa pertanyaan—

dan mungkin… jawaban.

Di depan hotel, dua mobil telah menunggu.

Keynan melirik singkat putranya.

“Kau satu mobil dengan istrimu. Biar kami di belakang,” ucapnya tenang, tegas.

Tanpa protes, semua mengikuti arahan itu. Sebuah mobil hitam yang masih dihias bunga dan pita—mobil pengantin yang semula disiapkan untuk Kian dan Friska—kini membawa dua orang yang seharusnya telah lama sah, namun tak pernah benar-benar bersama.

Di dalam mobil, hening begitu pekat.

Kanya duduk tenang di kursinya, tapi hatinya jauh dari kata sederhana.

Sekilas, matanya menangkap hiasan bunga melati dan mawar putih yang menggantung di kap mobil. Aromanya menguar lembut—tapi baginya, itu bukan aroma kebahagiaan. Itu aroma ironi.

“Dulu… aku dinikahi di rumah sakit,” batinnya lirih.

“Dengan uang lusuh yang dikeluarkan dari dompet Kian. Uang sisa.”

Ia masih ingat jelas. Wajah Kian saat itu—datar, tapi matanya meredup. Dengan tangan gemetar, Kian mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dompetnya.

Penghulu terdiam.

Pengacara hadir sebagai saksi.

Dokter mengangguk pelan.

Dan para perawat ikut membisikkan doa.

“Bahkan, mas kawinku ditambah jam tangan Kian… karena uangnya tak cukup.”

Ia menghela napas dalam diam.

Tadi, laki-laki itu hendak menikahi gadis lain—di ballroom hotel mewah, dikelilingi lampu gantung kristal dan hamparan bunga mawar Eropa.

Dengan mas kawin yang direncanakan matang.

Dengan cinta yang dirayakan.

“Meski nilainya jauh lebih besar mas kawinku… tapi tetap saja, aku hanya pernikahan darurat.”

Kanya menunduk. Matanya jatuh pada jemarinya sendiri. Hampa.

Ia tak tahu apa yang menantinya saat tiba di rumah pria itu.

Tak tahu harus bicara apa.

Atau siapa yang bisa ia percaya.

Wanita bercadar tadi begitu hangat menyambutnya…

Tapi… siapa dia sebenarnya?

“Apa dia… ibu Kian? Tapi kenapa bercadar seperti aku? Apakah ini kebetulan atau… peringatan?”

Di sisi lain, Kian duduk membatu. Sorot matanya mengarah ke luar jendela, tapi pikirannya tidak berada di sana.

“Sial…”

Itu satu kata yang berputar di benaknya.

Malam ini bukan cuma impian yang ambruk—tapi juga harga diri.

Ia mengepalkan jemari, masih teringat jelas momen memalukan itu.

Bagaimana Kanya berdiri di depan ratusan tamu, lalu bersuara lantang: “Tidak sah.”

Malam yang seharusnya jadi kenangan manis, kini menjadi luka yang disaksikan banyak mata.

Ia melirik Kanya, yang kini duduk diam seperti tak pernah terjadi apa-apa.

“Dulu… aku dibuat malu ayahnya karena tak bisa menyiapkan mas kawin layak.

Sekarang… dia mempermalukanku di depan semua orang.”

Kian ingin bicara. Ingin marah. Ingin bertanya.

Tapi tenggorokannya terasa terkunci.

Dadanya sesak.

Dan ia sadar, di depan sana ada sopir yang menyetir dengan pendengaran tajam.

Jadi, ia memilih diam.

Diam yang menyiksa.

Diam yang menusuk.

Dan mobil terus melaju, melewati lampu-lampu kota Jakarta yang mulai redup.

Membawa mereka… pada rumah yang tak tahu akan menjadi neraka atau tempat menata ulang takdir.

Mobil itu berhenti perlahan di depan sebuah pagar tinggi yang terbuka otomatis—seolah menyambut siapa pun yang datang, meski tidak semua yang datang merasa disambut. Bahkan, sudah tiga kali Kanya mencoba masuk ke rumah itu, tapi pagarnya selalu tertutup rapat.

Kini, untuk pertama kalinya, pagar itu terbuka untuknya.

Kanya menggenggam erat ujung kerudungnya. Lampu-lampu taman menari lembut di kaca jendela, memantulkan cahaya kekuningan yang hangat—tapi terasa asing. Mobil melaju masuk, melewati pekarangan luas dengan taman yang tersusun rapi. Setiap sudut tampak seperti bagian dari dunia lain—dunia yang terlalu mewah bagi seseorang yang biasa hidup sederhana sepertinya.

Lalu rumah itu muncul di depan matanya. Tinggi. Megah. Berdiri angkuh, seolah menyatakan bahwa hanya yang terpilih yang pantas masuk.

Untuk sejenak, Kanya merasa kecil.

Namun ada satu hal yang ia genggam erat—fakta bahwa ia adalah istri Kian. Dan tak ada kemewahan atau rasa minder yang bisa mengubah itu.

Mobil berhenti.

Keynan dan Aisyah turun dari mobil lebih dulu. Tanpa satu kata pun, Kian membuka pintu dan keluar.

Hening.

Kanya ragu.

Tapi mau tak mau, ia ikut turun. Angin malam menyapu tubuhnya, mengibarkan hijabnya, membuat langkahnya sedikit goyah. Sebelum sempat mencari pijakan, langkah lembut seseorang menghampiri.

Seorang wanita elegan dengan sorot mata teduh—Aisyah.

Tanpa berkata banyak, ia menggamit lengan Kanya dengan lembut.

“Ayo, masuk,” ucapnya—suara lembut yang mengandung kehangatan keibuan.

Kanya menunduk, lalu mengangguk kecil, mengikuti langkah sang ibu mertua.

Di ambang pintu, Keynan berdiri tegak. Tatapannya tenang, namun penuh wibawa. Ia memandangi Aisyah, Kanya, dan Kian bergantian.

“Kita bicara di ruang keluarga,” ucapnya. Suaranya rendah, namun tak bisa dibantah.

Tak ada satu pun yang menyela. Tak ada waktu untuk ragu.

Malam itu, di balik pintu rumah megah yang dingin, satu demi satu kebenaran menunggu untuk dihadapi.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Momz Haikal Sandhika
friska kenapa ga pulang aja sih,,, klo mau sekedar menunjukan rasa Terima kasih kan bisa dateng pagi atau siang nya ga mesti nginep dong,,,
tapi bagus deh akhir nya friska denger sendiri pengakuan kian tentang perasaan nya ke friska dan bagai mana perasaan nya ke kanya..
Dek Sri
lanjut
Siti Jumiati
Friska ketahuan kalau ada didalam kamar mandi
Cicih Sophiana
Friska knp gak pulang aja dari td malam... biar kamu ada jg Friska kan gak di anggap ada sama mereka... dari pada lebih sakit hati mending pulang istirahat...
Siti Jumiati
apakah Friska yang mengintip dibalik kamar mandi
Cicih Sophiana
Alhamdulillah Kian sdh sadar...
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Cicih Sophiana
semoga tdk membahayakan nyawa Kian...
phity
sdh kublng kan friska mestiny smlam kmu pamit sj sm kanya ini msh bertahan sja tp ad bagusnya si kmu tau yg sebenarnya...smoga itu menyadarkanmu
asih
hancur sudah lah hatinya friska ..niat .au mencari yg lebih baik Dari Kian ehh malah KTM sama yg kayak ngono kasian Kali kau fris
anonim
Looooo...Friska kenapa masih di rumah sakit - menginap pula.
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... Pokoknya Sampai Kanaya Hamil Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Puji Hastuti
Lanjut kk
Puji Hastuti
Friska ternyata kamu bukan rumah bagi kian /Grin/
septiana
Alhamdulillah... sekarang mereka sudah saling terbuka.. untuk Friska,jadikan ini semua sebagai pelajaran semoga kamu segera mendapatkan jodoh yg terbaik.
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
bukan juga .. alasannya akhlaknya Kanya..bukan kerana kecantikan isterinya semata-mata
Felycia R. Fernandez
setelah dihadang penjahat, setelah hampir meninggal...
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
Anitha Ramto
kasihan banget kamu Friska...dengar Pengakuan Kian pada Kanya yang sangat takut kehilangan Kanya,ternyata Kian hanya mengagumimu bukan mencintaimu,sekarang kamu dengar sendirikan kalo Kian dan Kanya saling nencintai dan mereka pasangan yang serasi,, Kanya ada apa yaaa sampe kaget begitu...

di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
far~Hidayu❤️😘🇵🇸: baguslah biarkanlah dia tahu yg benar supaya dia berhenti menjadi pelakor
total 1 replies
Liana CyNx Lutfi
Nahkan sdh saling terbuka dan sdh saling mencintai,friska belajarlah dr kanya soal kesabaran dan keikhlasan jngn krn sakit hati trs mencari pelarian carilah yg bnr2 tulus menerima
Sri Hendrayani
ooh ketahuan deh
Upi Raswan
iiih thor..kenapa sih seneng banget bikin penisisriiin ..tapi gpp deh.selalu menunggu dengan setiaaah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!