Dijual kepada mafia kejam, Arini disiksa dan dikurung dalam neraka bernama cinta. Tapi tak seperti gadis lemah dalam dongeng, Arini memilih bangkit. Karena tidak semua cinta pantas diperjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfrida Sitorus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
suara burung pagi terdengar jedela kamar arini.tapi arini tidak tertarik mendengar kicauan kehidupan diluar.ia sibuk menghapus bekas tinta dijarinya,menyembunyikan buku catatan rahasinya kembali dicelah papan lantai,dan kembali duduk didepan kaca dan berpura-pura menyisir rambutnya.
paginya dia terlihat tenang dari biasannya
tapi jantungnya selalu siaga.
sudah enam hari sejak ia dikurung di dalam rumah.enam hari sejak sijual keluarganya sendiri.tapi tidak satupun dari mereka yang bertanya kedaannya.bahkan sekedar menelepon atau menghubungi pun tidak.
dan leonardo
pria itu mengatakan akan keluar kota tiga hari.tapi pagi ini,langkah kaki asing terdengar dari arah lorong.berat.pelan dan berwibawa.
arini langsung tahu.
leonardo pulang lebih cepat.
pintu kamar diketuk dua kali.tak menunggu jawaban,seseorang langsung membukanya.
leonardo berdiri disana.masih menggunakan jas warna gelap,rambutnya tertata,tapi wajahnya tetap datar, tidak ada senyum,dan tidak ada sedikit pun keleleahan.mata tajamnya langsung mengamati arini dari ujung kepala sampai kaki.lalu melihat sesisi ruangan ataua kamar arini.yang tampak rapi.
aku dengar kau sangat bersikap baik selama aku pergi.katanya tenang
arini mengangguk kecil."sekarang aku belajar...untuk tidak melawan lagi."
leonardo mengangkat alisnya."itu terdengar bijak...dan sangat tidak seperti gadis yang menggigit pertama kali datang kesini."
arini menunduku."aku sedang lelah menjadi musuh dunia! makanya aku lebih baik berbuat baik."
leonardo masuk pelan,langkahnya mengelilingi ruangan kamar arini.matanya menyapu segala hal.lemari,meja rias,karpet,bahkan bawah ranjanag arini.
arini menahan napas saat pria itu mendekat kesisi ia menyimpan buku rahasianya.
langkahnya berhenti
"lantai disini agak longgar."sambil menginjak papan dekat tempat rahasia arini."
darah arini serasa membeku
"wajar !! rumah tua."katanya santai,lalu berbalik.
"selamat,walaupun hanya sementara."batin arini
leaonardo menatap arini.tatapanya menusuk.tapi bukan amarah.bukana juga nafsu.tapi,lebih mirip...rasa ingin tahu.
"aku selalu tertarik pada gadis-gadis yang pembangkang sepertimu,katanya mendekat."kau tahu kenapa ?"
arini menggelengkan kepalanya
"karna saat mereka tunduk...itu lebih menyenangkan dan nikmat."bisiknya ditelinga arini sambil senyum menyirangi.
ia meraih dagu arini.tapi kali ini bukan untuk menyakiti.hanya untuk memperhatikan ekspresi ketakutan yang mulai merayap diwajah gadis itu.
"jangan melakukan hal yang bodoh,arini...
aku bisa sabar.tapi kesabaranaku ada batasnya.
arini hanya mendengarkana saja dalam hati arini dia memaki laki laki itu.
setelah leonardo pergi,arini jatuh tertunduk.tangannya lemas,tangana masih menggigil. karingat dingin membasahi punggungnya.
nyarais...
nyaris ketahuan buku rahasinya.
ia membuka lantai perlahan,memastikan buku cacatanya masih ada disana.masih utuh.masih rahasia.
tanganaya mengambil pena,lalu menulis
"Hari keenam. Leonardo pulang lebih cepat. Ia mencium ada sesuatu. Tapi aku lebih cepat darinya. Untuk sekarang.Setiap hari bersamanya adalah permainan hidup dan mati. Tapi aku mulai menguasai permainannya.Aku hanya butuh waktu. Dan satu celah. Sekali saja… aku akan keluar dari neraka ini."
diluar kamar,leonardo berdiri dibalik tembok dia belum benar-benar pergi, iamendengarkana suara pena dibalik pintu.
ia tersenyum tipis
"jadi benar kau sedang menyembunyikan sesuatu didalam kamar itu,arini..."
"menarik"
keesokan harinya,cahaya matahari menyusup pelan dari balik tirai krem dibalik kamar arini.hari rabu,tapi semua terasa sama,datar.mati.sepi.seperti lukisan ini indah yang kehilangan makna.
arini duduk didepan cermin,menyisir rambutnya, pelan,bukan karena ingin terlihat rapi, tapi karena tak ada hal lain yang bisa ia kendalikan dari hidupnya. Dalam senyap, pikirannya terus bekerja.
tadi malam,ia menulis satu halaman penuh tentang keluarganya.tentang luka.tentang penghianatan.dan tentang tekadnya ıntuk keluar dari tempat ini hidup-hidup.
buku cacatan rahasinya ia sembunyikan kembali dicelah lantai dekat sisi ranjang.
suara roda mobil terdengar dari halaman depan.Biasanya, pelayan akan memberitahu jika tamu datang. Tapi pagi ini, tidak ada yang bicara. Tidak ada ketukan. Tidak ada aba-aba.
langkah sepatu kulit menyentuh lantai marmer dilorong luar.
tiba-tiba...terdengar ketukan
tok!tok!
Pintu kamar terbuka. Tanpa aba-aba. Tanpa sopan santun.
Arini membeku di tempatnya. Matanya menatap bayangan tinggi di ambang pintu. Pria itu… Leonardo.
Jas hitam, dasi longgar, wajah letih, tapi mata tetap tajam. Seperti binatang pemangsa yang baru pulang dari perburuan panjang dan siap menerkam mangsa yang ditinggal sendirian di sarang.
“Kau tampak terlalu nyaman,” katanya pelan sambil masuk.
“Aku berusaha menyesuaikan diri,” Arini menjawab lirih.
“Bagus.” Ia berjalan mengelilingi kamar, setiap langkahnya berat, berirama pelan. “Tapi kadang… kenyamanan bisa membuat orang lupa kalau mereka masih dalam sangkar.”
Arini menunduk. Napasnya berat.
“Kenapa kau pulang lebih cepat?” tanyanya, mencoba terdengar netral.
Leonardo berhenti tepat di belakangnya. Arini bisa merasakan hembusan napasnya di tengkuknya. “Karena aku ingin tahu… apakah gadis kecil yang dulu memberontak itu sudah bisa diajak bicara.”
Tanpa aba-aba, Leonardo berjalan ke arah sisi kamar. Matanya menyapu lemari, laci, dan… lantai.
Ia berdiri di atas lantai bagian pojok dekat ranjang. Lantai itu sedikit longgar. Suaranya berbeda saat diinjak. Arini tahu. Itu tempat rahasianya.
“Hmm…” Leonardo menunduk sedikit. Mengetuk lantai dengan ujung sepatunya.
Arini menahan napas. Jantungnya berdentum keras.
“Papan tua,” gumam Leonardo. “Atau mungkin kau menyimpan sesuatu di sini?”
Arini berdiri, berusaha terlihat bingung. “Apa maksudmu?”
Leonardo menatap matanya dalam-dalam. Wajahnya dekat. Sangat dekat. “Tak perlu pura-pura polos. Aku tahu kau bukan gadis biasa.”
Ia berjalan ke jendela. Membuka tirai lebar-lebar. Cahaya menyapu wajah Arini, memperlihatkan luka samar di pelipis yang belum sepenuhnya hilang sejak pelariannya.
“Kau masih berpikir bisa kabur?” tanyanya pelan.
Arini menggenggam jemarinya. “Aku tak berpikir apa-apa lagi.”
“Kau bohong.”
Hening. Udara di kamar terasa berat. Arini bisa mencium wangi parfum mahal Leonardo, bercampur dengan aroma logam halus—entah dari jam tangannya atau... senjata yang selalu tersembunyi di balik jas.
“Kalau aku tahu kau menyembunyikan sesuatu… kau akan menyesal, Arini.”
Setelah Leonardo pergi, pelayan masuk membawa sarapan. Nasi, ayam rebus, buah, dan susu. Semua tampak normal. Tapi Arini tidak menyentuhnya. Ia masih terpaku di tempat.
Tangannya gemetar saat membuka kembali papan lantai. Matanya langsung menatap buku kecil bersampul cokelat yang masih ada di sana. Selamat.
Ia menariknya pelan. Lalu menulis:
"Hari keenam.
Leonardo mencium bahwa aku menyembunyikan sesuatu. Dia hampir menemukan buku ini. Tapi aku tenang. Aku berhasil menipu matanya. Untuk sekarang.
Mungkin aku mulai belajar… untuk menjadi pembohong yang baik.
Aku bukan Arini yang dulu. Aku adalah gadis yang dibentuk oleh luka. Dan luka itu, jika tak kubunuh, akan kujadikan peluru."
Tangannya berhenti. Ia menatap kata-kata itu dengan mata panas.
Tapi sebelum menutup bukunya, ia menulis satu kalimat tambahan.
Aku akan bertahan. Sampai dunia tahu bahwa gadis yang dijual, bisa membeli kembali hidupnya… dengan harga yang jauh lebih mahal.
Ia menyelipkan buku itu kembali ke dalam lantai. Kali ini lebih hati-hati. Lebih dalam.
Di luar kamar, Leonardo berdiri memandangi layar monitor pengintai. Ia memutar ulang rekaman gerak-gerik Arini.
Ia tak bisa mendengar suara. Tapi ia melihat tangan gadis itu mencoret sesuatu di buku yang disembunyikan.
“Kau pikir aku tidak tahu? Aku hanya menunggu kau membuat kesalahan, Arini.”
“Permainan ini baru dimulai.”