NovelToon NovelToon
Istri Siri Om Majikan

Istri Siri Om Majikan

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.

Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.

Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…

Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 26

Pagi itu, Syifa berangkat lebih awal dari biasanya. Tas kecil berisi perlengkapan imunisasi Ayla sudah ia siapkan sejak semalam. Kandungannya yang mulai membesar di usia kehamilan lima bulan membuat tubuhnya cepat lelah, tapi semangatnya tak pernah surut.

Ia menggendong Ayla yang kini sudah berusia hampir empat bulan cerah, aktif, dan mulai bisa mengoceh. Di tangan satunya, ia membawa hasil pemeriksaan rutin bidan bulan lalu untuk dikonsultasikan ulang ke rumah sakit terdekat di daerah perbatasan Jakarta-Bandung, tempat ia kini menetap.

Syifa duduk menunggu giliran sambil mengelus perutnya perlahan. Pandangannya sesekali tertuju ke Ayla yang tertidur di stroller kecil pinjaman dari tetangga. Tapi yang tak ia sadari, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya dari seberang ruang tunggu.

Seorang pria, sekitar akhir dua puluhan, duduk diam dengan map hasil rontgen di tangan. Sejak tiga bulan terakhir, sejak pertama kali melihat Syifa di warung kecil dekat mushola, ia seperti tersihir diam-diam. Sosok perempuan yang sederhana tapi begitu tenang berbeda dari kebanyakan.

Hari ini, secara kebetulan atau takdir? Dia kembali melihatnya. Di rumah sakit, di tempat yang seharusnya penuh kebisingan dan antrean, dunia justru terasa pelan di sekeliling perempuan itu.

Ia memperhatikan bagaimana Syifa menenangkan Ayla yang terbangun, lalu memanggil suster dengan sopan saat dipanggil untuk imunisasi. Bahkan saat masuk ke ruang pemeriksaan kandungan, senyum kecil Syifa tak pernah benar-benar hilang.

Ketika Syifa keluar kembali, membawa hasil USG dan menggandeng stroller, pria itu masih di tempat. Tapi kali ini, ia memberanikan diri berdiri. Hanya beberapa langkah dari arah pintu keluar.

“Permisi...” suaranya agak pelan tapi jelas.

Syifa menoleh, sedikit terkejut. Pria itu berdiri kaku, wajahnya gugup, tapi tatapannya dalam. Seperti menyimpan sesuatu yang sudah lama tertahan.

“Saya... pernah lihat Mbak sebelumnya. Di warung dekat mushola waktu subuh. juga pas Mbak bawa anak imunisasi bulan lalu. Maaf, bukan maksud ganggu. Tapi boleh saya tahu nama anak ini siapa?”

Syifa menatapnya lekat-lekat, menimbang. Lalu tersenyum pelan, seperti biasa.

“Namanya Ayla. Dan saya... Syifa.”

Pria itu tersenyum kembali. “Ayla... cahaya yang lembut ya, artinya?”

Syifa mengangguk. Tapi hatinya mulai bertanya-tanya siapa pria ini sebenarnya? Dan kenapa rasanya pertemuan ini seperti bukan sekadar kebetulan?

Begitu pria itu melangkah pergi meninggalkan jejak tanya di hati Syifa beberapa ibu-ibu yang duduk di ruang tunggu mulai berbisik pelan. Tapi tidak cukup pelan untuk tidak terdengar.

"Ya ampun, anaknya masih merah, tapi perutnya udah gede aja..." Ejeknya.

"Hamil lagi, padahal kayaknya belum lama lahiran, tuh." Cibirnya.

"Jangan-jangan... ah, zaman sekarang ya, nggak tahu malu." Oloknya yang lainnya.

Syifa masih berdiri sambil menata hasil USG-nya ke dalam tas. Ia mendengar jelas semua kata-kata itu. Tapi alih-alih marah atau menunduk malu, ia hanya menarik napas pelan dan menatap para wanita itu dengan senyum tenang.

"Maaf, Bu saya tahu mulut orang memang lebih cepat dari hati untuk menghakimi. Tapi saya juga tahu Allah lebih dulu mendengar doa dibanding gunjingan manusia."

Suasana hening sesaat. Syifa melanjutkan, suaranya lembut tapi jelas,

"Anak ini bukan dari rahim saya. Tapi saya pilih untuk merawatnya, mencintainya, dan membesarkannya. Saya hamil sekarang, betul. Tapi bukan berarti hidup saya bisa Ibu-ibu ukur hanya dari perut ini. Karena yang paling berat saya bawa bukan kandungan… tapi doa dan amanah."

Salah satu ibu tampak terdiam, menunduk. Yang lain tak lagi bersuara.

Syifa menggendong Ayla dan bersiap pergi, lalu menatap mereka sekali lagi, masih dengan senyum hangat.

"Doakan saja yang baik, Bu. Dunia ini sudah terlalu keras untuk dijadikan ladang saling menyakiti. Kadang kita tidak tahu siapa yang kita cibir hari ini, justru mungkin orang yang paling dicintai Allah karena sabarnya."

Lalu ia melangkah pergi. Bukan dengan langkah yang terburu-buru, tapi pelan dan tegak, seperti seseorang yang tahu benar ke mana hatinya harus melangkah.

Matahari belum terlalu tinggi ketika Syifa mulai membereskan isi lemari kecil di sudut kamarnya. Tangan kirinya sesekali mengelus perutnya yang kini semakin membuncit.

Kandungannya sudah memasuki usia tujuh bulan dan setiap tendangan kecil di dalam perutnya selalu mengingatkannya bahwa ada dua nyawa mungil yang segera datang menyusul Ayla.

“Anak laki-laki ya, Nak…” gumamnya sambil tersenyum kecil, mengingat hasil USG minggu lalu. “Kalian berdua harus jadi pelindung Ayla nanti.”

Ia melipat kembali baju-baju Ayla yang mulai kekecilan, lalu mencatat beberapa kebutuhan penting yang harus ia beli di kota: baju bayi laki-laki, kain bedong, popok kain, minyak telon, dan satu-dua mainan edukatif sederhana untuk Ayla yang mulai belajar duduk sendiri.

Syifa berencana naik angkot ke kota siang ini. Tak mewah, tak ada yang spesial, tapi hatinya begitu berdebar. Ini bukan sekadar belanja ini bentuk cinta. Bentuk harapan. Untuk ketiga anak yang Allah titipkan padanya.

Sebelum berangkat, ia menyusui Ayla dulu, lalu menitipkan gadis kecil itu ke Bu Sumiyati, tetangga yang selama ini selalu siap membantu.

“Ke kota, Fa?” tanya Bu Sumiyati.

Syifa mengangguk. “Mau beli baju buat Ayla sama calon adik-adiknya. Takut nanti udah terlalu besar perutnya, malah susah jalan.”

Bu Sumiyati tersenyum dan mengelus pundaknya. “Kamu kuat sekali, Fa. Sendirian, tapi tetap jalan terus.”

Syifa menunduk, menyembunyikan mata yang mendadak berkaca-kaca. “Saya nggak sendirian, Bu. Ada Allah. Dan ada mereka yang setiap tendangannya bikin saya semangat hidup lagi.”

Hari itu, Syifa melangkah ke kota dengan langkah pelan tapi penuh harapan. Tas kain di pundaknya kosong, tapi hatinya penuh.

Ia membayangkan warna-warna biru langit dan hijau mint untuk bayi laki-lakinya, dan set gaun lucu bermotif bunga untuk Ayla yang mulai belajar tertawa saat dibacakan cerita.

Ia tahu, mungkin tak banyak yang akan paham bagaimana kerasnya hidup sebagai perempuan yang menggendong banyak beban tanpa nama ayah yang jelas di mata orang lain.

Tapi Syifa percaya aak-anaknya tak akan tumbuh kekurangan cinta. Karena ia sudah menyiapkan segalanya dari hati, bukan dari kemewahan.

Di dalam angkot yang bergoyang pelan menyusuri jalanan kota, Syifa duduk sambil memegangi tas belanjanya. Di dalamnya, ada beberapa stel baju bayi laki-laki berwarna biru lembut, sepasang sepatu mungil, minyak telon, dan sepotong gaun bunga-bunga kecil untuk Ayla. Tak banyak, tapi cukup. Bahkan terlalu cukup menurut Syifa.

Ia menatap jendela yang dipenuhi embun karena hujan tadi pagi, lalu perlahan mengusap perutnya yang membesar.

“Alhamdulillah, ya Allah… akhirnya uang itu bermanfaat juga,” bisiknya pelan.

Ia masih ingat jelas beberapa bulan lalu, saat Jordan pergi begitu saja meninggalkan luka dan janji yang tak pernah ditepati.

Tapi sebelum benar-benar menghilang, Jordan sempat meninggalkan segepok uang dalam amplop. Tak banyak bicara, hanya tatapan bersalah dan kata, "Buat kamu dan anak kita… kalau kamu tetap mau lahirkan dia."

Waktu itu, Syifa hanya bisa memandangi uang itu dengan campur aduk, marah, terluka, jijik, tapi juga bingung. Ia bahkan sempat berniat membuangnya, karena rasanya tak pantas menerima apa pun dari pria yang memilih pergi dan sembunyi di balik kehormatan palsunya.

Tapi hidup bukan selalu soal gengsi.

Saat bayi dalam kandungannya terus tumbuh dan Ayla membutuhkan susu, imunisasi, dan perlindungan, Syifa mulai menyadari: mungkin bukan Jordannya yang pantas diterima. Tapi rezeki Allah bisa datang lewat jalan apa saja bahkan dari seseorang yang menyakitinya.

Dan hari ini, di perjalanan pulang dari kota, Syifa tersenyum sendiri. Ia tidak menang tidak juga kalah tetapi ia berdiri. Ia bertahan.

"Uangmu sudah jadi pakaian untuk anak-anak kita, Jordan. Bukan untukku. Tapi untuk titipan Tuhan yang kau tinggalkan begitu saja."

Ia mengusap air matanya diam-diam. Bukan tangis sedih, tapi semacam pengakuan: bahwa luka tak perlu dibalas dengan dendam. Kadang cukup dijahit dengan sabar dan disulam dengan rasa syukur.

Di sebuah toko perlengkapan bayi yang sederhana namun rapi di pusat kota, Syifa berdiri lama di depan rak pakaian newborn. Jemarinya menyentuh perlahan setelan bayi warna hijau mint, membayangkan dua putra kecilnya nanti memakai pakaian kembar. Sesekali ia tersenyum sendiri, membayangkan Ayla akan cemburu jika tidak dibelikan baju juga.

Ia mengambil satu romper motif awan-awan kecil, lalu mulai mencari ukuran untuk Ayla di sisi rak sebelah. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.

Suara tawa perempuan yang sangat ia kenal membelah ruang toko.

“Jon, kamu lihat ini nggak sih? Lucu banget! Cocok buat hampers-nya anaknya Bu Viona.”

Suara itu. Syifa menegang. Ia tak butuh waktu lama untuk mengenali nada bicara lemah lembut itu milik Casandra.

Dan di samping Casandra, berdiri seorang pria muda dengan gaya kasual dan wajah yang sangat mirip Jonathan. Adik kandung Jordan.

Jantung Syifa berdetak kencang. Tangannya refleks meraih tudung syal yang sempat tergantung di leher dan menutup sebagian wajahnya. Ia mundur perlahan ke arah sudut rak sepatu bayi, bersembunyi di balik tiang besi tinggi yang menumpuk kardus.

Dalam hati, Syifa panik,” kenapa mereka ada di sini? Bukan Jakarta? Apakah mereka tinggal di Bandung sekarang? Atau hanya berkunjung? Apa mereka melihatku?

Ia mengintip sedikit. Casandra masih asyik memilih boneka dan baju bayi sambil tertawa-tawa. Jonathan tampak bosan dan sibuk dengan ponselnya. Mereka tampaknya tidak menyadari kehadiran Syifa.

Syifa tahu, jika Casandra sampai melihatnya hamil dengan stroller bayi di sisi kirinya itu akan jadi bahan gosip yang bisa menghancurkan hidupnya lagi.

Napasnya makin cepat. Ia meraih dua potong pakaian dengan cepat, lalu bergegas ke kasir sambil menunduk dalam. Ia membayar tanpa menawar, bahkan sempat menjatuhkan koin saat mengambil kembalian.

Selesai membayar, ia langsung keluar dari toko itu dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang. Tangannya menggenggam erat kantong belanja, sementara Ayla mulai menggeliat dalam stroller karena gerakan yang terburu-buru.

Di luar toko, Syifa menepi sebentar. Mengatur napas. Menahan tangis.

"Ya Allah... jangan biarkan masa lalu mengusik aku dan anak-anakku lagi. Cukup aku yang menanggung aib, jangan mereka."

Dan sekali lagi, Syifa melangkah. Kali ini lebih pelan, lebih tenang, tapi dengan tekad yang menguat ia harus melindungi anak-anaknya dari siapa pun, bahkan dari mereka yang pernah mengisi hidupnya dengan luka paling dalam.

1
Adinda
harta gak dibawa mati nyonya tuan kalau malaikat maut sudah bertindak Langsung keneraka hidupmu karena mendzolimi dan merendahkan orang
Adinda
lebih baik pergi syifa Daripada jadi simpanam suamimu Saja nikah lagi nggak izin kamu
Adinda
Kalau menurutku walau syifa istri pertama Kalau dijadikan simpanan lebih baik pergi untuk apa bertahan
Adinda
kasihan syifa
sunshine wings
🥺🥺🥺🥺🥺
sunshine wings
🤔🤔🤔🤔🤔
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: bagus kan ada pegangan 🤭
total 1 replies
sunshine wings
Pasti ganteng seprrti ayahnya perpaduan mamanya juga.. 😍😍😍😍😍
sunshine wings
Apa bukan anak Cassandra kali yaa.. 🤔🤔🤔🤔🤔
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: entahlah 😂🤭
total 1 replies
sunshine wings
🥺🥺🥺🥺🥺💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
😭😭😭😭😭♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
Ya kan pembantu itu manusia juga bukan binatang.. Cih! yg mementingkan pencitraan.. gak ada yg salah tapikan hidup itu jangan egois dong sampe² mengorbankan kebahagiaan anak sendiri..
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
dan apabila kamu tau kisah yg sebenarnya telah membuahkan hasil pasti papinya Jordan menyesal tak guna.. Jordan hampir gila ditinggalkan isteri sirinya yg dicintai dan disayangi dalam diam..
sunshine wings
Jadi mau diwariskan pada siapa perusahaan dan harta warisan keluargamu goblok!!! 😤😤😤😤😤
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: mungkin sama author 😂🤭
total 1 replies
sunshine wings
🥺🥺🥺🥺🥺
sunshine wings
💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: setuju 😘🥰
total 1 replies
sunshine wings
Coba dulu Syifaaa.. Jangan memutuskan apapa itu sendiri.. Kasi tau tuan muda Jordan dulu..
sunshine wings
Ya Allah Syifa..
sunshine wings
Cobalah ambik tau Jordan kasian anakmu nanti membesar dalam perut tanpa kasih sayang ayahnya.. 🥺🥺🥺🥺🥺
sunshine wings
Alhamdulillah ya Syifa.. 🥹🥹🥹🥹🥹♥️♥️♥️♥️♥️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!