Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tidak berani membuka hati.
Sadar semua adalah sebuah kesalahan besar, akun yang sepenuhnya sudah sadar segera menghindar.
Kulihat Jena nampak sakit hati apalagi saat aku beranjak dari tubuhnya. Bukannya marah, Jena malah menahan tanganku meskipun wajahnya kini berderai tangis.
Rasanya tidak tega melihatnya menangis, tapi aku juga tidak boleh menyimpan rasa untuknya. Jena berhak bahagia dan mendapatkan lelaki sempurna.
Dalam hati kecilku akan melepasnya setelah semua persyaratan nikah ini tuntas, yang jelas Jena harus memiliki status hukum yang jelas atas hidupnya.
"Lepas, dek..!!! Jangan begini, kamu bisa celaka." Kataku menghindari Jena.
"Bukankah sudah celaka?" Jawabnya seakan menghantam telak ulu hatiku.
"Lalu apa mau mu sekarang?" Tanyaku sudah kehabisan akal. Aku pun beranjak duduk sembari mengalihkan perhatian dengan sebatang rokok.
"Mau sama Abang."
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Aku tetap akan bertanggung jawab atas segala perbuatan ku meskipun nantinya aku harus melepaskan Jena demi kebahagiaannya.
"Saya mencintai perempuan lain." Aku menjawab bukan tanpa memikirkan perasaannya meskipun jujur rasaku pada Syafa sudah hilang tak berbekas.
"Sama, di hati Jena juga masih ada pria lain. Wajar saja karena kita belum menikah, tapi setiap manusia harus memiliki kesadaran diri.. Jika status telah berganti."
Untuk kesekian kalinya batinku kembali terpukul. Seluas inikah kesabaran seorang Jena di balik seluruh kepolosannya.
Aku menguarkan asap rokok di hadapannya berharap Jena akan membenciku tapi nyatanya dia memeluk dan mencium bibirku. Lama semakin lama dan begitu dalam.
"Menikahlah dengan siapapun yang Abang inginkan, Jena janji tidak akan mengganggu."
Hatiku benar-benar tidak kuat meskipun aku berusaha menahannya. Di antara rasa sadar dan tidak, kubalas peluknya.
'Haruskah aku menyakiti gadis seperti mu?'
POV Flasback Bang Shano off..
"Sakiiiiiiitt.. Aku ingin mati saja..!! Aku tidak tahan lagiii..!!!" Ujar Bang Shano sambil terus mengerang kesakitan.
"Tahan sedikit lagi Baang..!!!"
"Aku kesakitan dan kau memintaku untuk sabar. Lebih baik kau bunuh aku..!!!!!" Bentak Bang Shano, tangan itu dengan cepat menampar pipi Jena dengan kuat.
plaaakk.. plaaakk.. plaaakk..
Tak hanya itu Bang Shano juga menendang Jena tak kalah kuatnya.
duuuggg..
Sepatu PDL yang belum sempat di lepas melayang hingga ke perut Jena.
Jerit tangis Jena begitu pilu, ia berusaha melindungi kandungannya.
Bersamaan dengan itu, Papa Rinto melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana perlakuan putranya pada sang menantu apalagi perut Jena sudah bersimbah darah.
"Shanoooooo..!!!!!!" Papa Rinto menarik pakaian Bang Shano dan kembali menghajar putranya. "Sadaaar Shanoo..!!! Itu istrimu, kenapa kamu jadikan samsac???" Bentak Papa Rinto.
Syok melihat segala peristiwa, Papa Rinto menyeret putranya ke kebun belakang rumah lalu menyiramnya. Lebih dari sepuluh ember air mengguyur tubuh Bang Shano agar segera sadar.
:
Setengah jam berlalu, Bang Shano mulai tersadar. Ia mengamati keadaan sekitar. Dua orang anggotanya sedang melaksanakan sikap tobat dan Papa Rinto sedang berkacak pinggang menatapnya dengan pandangan tajam.
"Dimana istri saya?" Tanya Bang Shano.
"Dimana???? Kamu tanya dimana???? Kamu nyaris membunuh istri dan calon anakmu." Jawab Papa Rinto tak bisa menahan amarahnya.
Sekujur tubuh Bang Shano masih gemetar tapi ia berusaha bangkit untuk mencari Jena. "Istri saya dimana Paaa???"
"Kau masih mencari istrimu setelah berbuat ulah?????"
~
"Maaf dek..!! Abang nggak sengaja, Abang nggak sadar melakukannya." Kata Bang Shano penuh sesal.
"Jena tau. Abang sudah sehat??" Tanya Jena lembut.
"Kenapa kamu sungguh berbeda? Marahlah selayaknya seorang wanita yang sedang merajuk manja. Lembutnya hatimu membuat hati Abang sakit sekali." Kata Bang Shano rasanya tidak sanggup berhadapan dengan sang istri.
"Karena Jena adalah istri Abang, tempat Abang pulang dengan nyaman sampai nanti Abang dapatkan wanita yang Abang cintai sepenuh hati." Jawab Jena.
Hati Bang Shano terasa terpukul, tersayat sembilu. Ia memeluk Jena dengan erat.
'Tidak akan ada wanita yang menggantikan posisimu juga di dalam hatiku. Kamu satu-satunya istriku.'
"Disini ramai sekali. Abang mau ajak kamu ke suatu tempat." Ajak Bang Shano.
.
.
.
.
penyesalan datang belakangan