Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Satu tahun telah berlalu sejak kelahiran Pramesh, dan rumah kontrakan kecil di Bumiarjo kini terasa semakin hangat oleh suara tawa dan langkah kaki mungil yang riang berlarian ke sana ke mari.
Pramesh, si kecil dengan mata bening dan rambut ikal halus, kini sudah bisa berjalan dengan lincah.
Setiap sudut rumah menjadi petualangan baginya, dan setiap benda bisa berubah menjadi mainan.
Pagi itu seperti biasa, Grilyanto bersiap berangkat ke kantor. Ia duduk di kursi sambil mengenakan kaus kaki ketika Pramesh dengan riang berlari ke arahnya, memeluk kakinya sambil tertawa.
Sri muncul dari dapur dengan celemek lusuh namun wajah yang berbinar, tangannya masih membawa serbet basah.
“Anakmu, Pa... nggak bisa diam,” ucap Sri sambil tertawa kecil.
Ia lalu duduk di dekat Pramesh, memeluk bocah itu dan mengecup pipinya.
“Baru lima menit ditaruh di lantai, sudah ke sana ke mari kaya truk ekspedisi.”
“Ya ampun... anak perempuan kok energinya kayak anak laki-laki, ya?”
Pramesh terkekeh, seolah mengerti candaan ayahnya, dan mencoba meraih dasi Grilyanto lalu menariknya dengan penuh semangat.
Sri tertawa sambil melepas tangan mungil putrinya dari dasi ayahnya.
“Jangan rusak penampilan Papamu, nanti kena marah bosnya,” katanya lembut.
Hari-hari mereka kini berjalan sederhana, namun penuh syukur.
Tidak ada lagi pencarian terhadap Heri. Setelah kejadian terakhir saat Heri kembali hanya untuk mencuri uang dari dompet Grilyanto.
Mereka sepakat untuk melepaskan, bukan karena membenci, tapi karena mereka menyadari bahwa Heri harus menemukan jalannya sendiri.
“Kadang aku masih kepikiran juga, Mas...” ujar Sri pelan, sambil menatap lantai.
“Apa kabarnya Heri sekarang…”
Grilyanto menghampiri istrinya, meletakkan Pramesh di pangkuannya, lalu menyentuh bahu Sri.
“Kalau dia ditakdirkan untuk kembali ke jalan yang benar, Sri, pasti suatu saat akan kembali. Tapi saat ini, kita harus fokus ke kamu, ke Pramesh, dan hidup kita ke depan. Kamu sudah jadi ibu yang kuat. Jangan biarkan luka masa lalu mengganggu kebahagiaan kita yang sekarang.”
Sri menganggukkan kepalanya dan menahan air matanya tahu.
Ia tahu suaminya tak hanya menyayanginya, tapi juga selalu melindungi hatinya.
Grilyanto kemudian mencium pipi Sri dan Pramesh bergantian, lalu beranjak berdiri.
“Aku berangkat dulu, ya.”
“Jangan lupa nanti pulang bawa susu Pramesh,” ucap Sri sambil melambai.
“Siap, Bu Komandan,” sahut Grilyanto sambil tersenyum.
Setelah suaminya pergi, Sri membawa Pramesh ke ruang tengah.
Ia menaruh anak itu di atas tikar, lalu mulai melipat cucian.
Di tengah kesibukannya, ia sesekali memandangi anaknya yang kini sibuk menumpuk balok warna-warni.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi saat ini, rumah kecil itu telah menjadi dunia yang cukup.
Dunia yang hangat, dengan tawa seorang anak kecil, cinta seorang suami, dan tekad seorang ibu untuk tetap melangkah ke depan.
Siang itu, matahari bersinar terik di atas langit Surabaya.
Sri yang sedang menjemur pakaian tiba-tiba merasa tubuhnya limbung.
Perutnya terasa mual hebat, dan kepalanya berdenyut pelan. Ia buru-buru duduk di kursi bambu dekat jemuran, tangannya memegangi perut dan dadanya yang sesak.
Pramesh yang sedang bermain di tikar kecil di halaman menatap ibunya dengan heran.
Bu Siti, tetangga sebelah yang biasa membantu melihat-lihat Pramesh kalau Sri sedang sibuk, kebetulan sedang menyapu halaman depan rumah.
Begitu melihat Sri menunduk dan terlihat pucat, ia langsung bergegas menghampiri.
“Sri, kenapa kamu? Mukamu pucat sekali,” tanya Bu Siti dengan cemas.
Sri mencoba menjawab, tapi hanya bisa menggeleng pelan.
Tangan kirinya masih menekan perut, dan peluh dingin membasahi pelipisnya.
Bu Siti segera mengambil keputusan. Tanpa membuang waktu, ia memanggil tetangga lain untuk menjaga Pramesh, lalu memanggil becak yang biasa mangkal di ujung gang.
“Pak, ke RKZ cepat ya! Ini darurat!” ujar Bu Siti sambil membantu Sri naik ke becak.
Dalam perjalanan, Bu Siti mencoba menenangkan Sri yang hanya bisa menahan rasa tidak nyaman. Pikirannya berkecamuk.
Ia khawatir sebagai perempuan yang lebih tua, Bu Siti tahu bahwa mual seperti itu bisa berarti banyak hal. Tapi dalam hatinya, ia berharap yang terbaik.
Sementara itu, di sebuah kantor pelayanan telekomunikasi di pusat kota, Grilyanto sedang sibuk memeriksa laporan kerja.
Suasana kantor seperti biasa: penuh dering telepon dan ketukan mesin tik.
Tiba-tiba, seorang tetangga, Pak Mulyo, datang tergesa-gesa ke meja depan dan meminta izin untuk bertemu dengannya.
“Mas Gril, maaf... ini darurat. Istrimu barusan dibawa Bu Siti ke RKZ. Katanya mendadak lemas dan mual hebat,” kata Pak Mulyo dengan napas terengah.
Grilyanto yang mendengar kabar itu langsung berdiri. Wajahnya berubah tegang.
Ia merapikan map dan meninggalkan semuanya.
“Terima kasih, Pak Mulyo. Saya segera ke sana.”
Tanpa sempat memberi penjelasan lebih kepada atasannya, Grilyanto berlari keluar, menumpang ojek ke rumah sakit.
Di sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi kecemasan. Apa yang terjadi pada Sri? Bagaimana kondisi anaknya? Apa Sri hamil lagi? Ataukah ada penyakit yang tiba-tiba menyerangnya?
Begitu tiba di RKZ, Grilyanto langsung menuju bagian pendaftaran dan menanyakan ruangan tempat Sri dirawat.
Ia menemukan Bu Siti duduk di bangku lorong, masih mengenakan baju daster dan selendang.
“Bu Siti, bagimana keadaan Sri?” tanya Grilyanto cemas.
“Sudah di ruang pemeriksaan, Mas. Barusan masuk. Katanya tadi mual hebat. Saya takut kenapa-kenapa, jadi langsung saya bawa ke sini.”
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memanggil Grilyanto masuk.
Dengan napas tertahan, Grilyanto masuk ke ruangan, melihat Sri berbaring lemah di ranjang, tapi dengan wajah sedikit lebih tenang.
“Pak Grilyanto, istri Bapak kondisinya baik. Tidak perlu terlalu khawatir. Kami sudah periksa dan... selamat ya, Pak. Istri Bapak hamil lagi.”
Grilyanto terpaku sejenak, menatap Sri yang tersenyum lemah kepadanya.
Hatinya seperti dihantam gelombang kehangatan dan Ia menggenggam tangan istrinya dan mengecup keningnya dengan penuh syukur.
“Terima kasih, Pa...” bisik Sri pelan.
Grilyanto menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku yang seharusnya berterima kasih, Ma. Kamu sudah jadi ibu yang luar biasa.”
Hari itu, di tengah kehebohan dan kekhawatiran, sebuah kabar bahagia menyapa keluarga kecil mereka. Pramesh akan segera menjadi kakak, dan cinta mereka kini tumbuh kembali, dalam wujud kehidupan baru yang sedang berkembang dalam rahim Sri.
Setelah hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa kehamilan Sri memerlukan perhatian khusus,
Grilyanto pun membawa istrinya pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, ia bersyukur atas anugerah kehamilan yang kedua, namun di sisi lain, ia diliputi kekhawatiran karena dokter menyarankan Sri untuk istirahat total selama trimester pertama.
Sesampainya di rumah, Bu Siti dan beberapa tetangga yang sempat tahu kabar dari RKZ sudah menunggu di depan rumah.
Mereka membantu Grilyanto menurunkan barang-barang dan menyambut Sri yang tampak lemah tapi berusaha tersenyum.
“Alhamdulillah, Sri sudah pulang. Yang sabar ya, Nak. Ini rejeki, tapi kamu harus jaga diri dan banyak istirahat,” ucap Bu Siti sambil menuntun Sri masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah kontrakan kecil mereka di Bumiarjo, Grilyanto segera membereskan kamar agar Sri bisa langsung berbaring.
Ia menggelar kasur tipis tambahan di samping tempat tidur utama agar bisa berjaga sewaktu-waktu.
“Mulai hari ini, kamu jangan sentuh dapur lagi ya, Sri. Mas yang urus semuanya,” kata Grilyanto tegas tapi lembut, sambil menarik selimut menutupi tubuh istrinya.
“Aku merasa bersalah, Mas... belum bisa bantu apa-apa di rumah.”
Grilyanto duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan istrinya.
“Yang penting kamu dan bayi kita sehat. Mas bisa urus semuanya. Kalau perlu, kita minta Bu Siti bantu masak beberapa hari ke depan.”
Tangisan kecil terdengar dari arah ruang tengah Pramesh terbangun dari tidur siangnya. Grilyanto bergegas ke sana, mengangkat anak perempuannya dan mengayun-ayun perlahan.
“Pramesh, kamu harus jadi kakak yang kuat ya. Mama harus istirahat. Kita bantu jaga Mama sama-sama.”
Hari-hari berikutnya berjalan lebih tenang, tapi juga penuh perjuangan.
Grilyanto yang biasanya hanya sibuk di kantor kini harus membagi waktu antara pekerjaan, mengurus rumah, menjaga Pramesh, dan merawat Sri.
Ia bangun lebih awal untuk memasak nasi, menyiapkan bekal makan siang, dan membersihkan rumah sebisanya sebelum berangkat kerja. Pramesh sesekali rewel, tapi seolah mengerti, ia mulai terbiasa bermain sendiri sambil sesekali memeluk ibunya yang berbaring di tempat tidur.
Sri menjalani hari-harinya dalam keheningan dan kesabaran.
Ia membaca buku-buku doa, sesekali berbicara dengan bayi yang tumbuh di rahimnya, dan menatap Pramesh yang semakin aktif.
Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah karena tidak bisa berperan seperti biasanya, dan rasa syukur atas keluarga kecilnya yang perlahan-lahan membangun kebahagiaan meski dalam kesederhanaan.
Setiap malam, setelah semua tenang, Grilyanto akan duduk di samping tempat tidur, mengelus rambut istrinya yang mulai kusut dan berkata:
“Kita jalani ini pelan-pelan, Ma Semua ini akan indah pada waktunya.”