NovelToon NovelToon
Golden Hands Arm

Golden Hands Arm

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Mengubah Takdir
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Sarunai

Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

Dengan motor H2 kesayangannya, Han melaju menembus jalanan kota menuju kediaman utama keluarga Subyo. Rumah itu besar dan mewah, khas keluarga terpandang. Namun sebelum masuk ke dalam area gerbang, seorang penjaga berseragam menghentikannya.

“Ada keperluan apa, anak muda?” tanyanya tegas, menatap Han dari atas ke bawah.

“Saya diundang Klara kedalam. Nama saya Han,” jawabnya.

Penjaga itu sempat menilai Han beberapa detik, lalu berkata,

“Tunggu sebentar, saya tanyakan dulu kepada leluhur.”

Dia menatap rekannya untuk mengawasi anak muda itu sebelum pergi masuk kedalam.

Tak lama kemudian, dari balik gerbang, muncullah Klara bersama penjaga tadi. Ia berjalan cepat mendekati Han dengan ekspresi sedikit cemas.

“Maaf, Han... kamu disuruh nunggu dulu. Mereka memang ketat banget kalau soal tamu yang masuk ke rumah utama,” katanya menyesal.

“Tidak apa-apa, mereka hanya menjalankan tugas dengan baik,” jawab Han tenang tidak mempermasalahkan.

Klara tersenyum lega.

“Kalau begitu, ayo masuk. Aku akan memperkenalkan kamu ke keluargaku.”

Dengan penuh semangat, Klara menggandeng Han melewati gerbang menuju mansion mewah milik keluarga Subyo, padahal jarak dari gerbang ke mansion sekitar lima puluh meter.

 

Di dalam mansion…

Suasana hangat menyambut Han. Ruang tamu utama luas dan penuh dengan anggota keluarga besar Subyo yang berdandan rapi, tampak seperti sedang bersiap merayakan sesuatu yang besar. Di tengah ruangan, berdiri seseorang yang paling mencolok—seorang pria tua memiliki rambut putih panjang di ikat kebelakang, namun dengan tubuh yang masih tegap dan aura wibawa yang sangat kuat. Dialah Leluhur Subyo.

Klara melangkah ke tengah ruangan, menggandeng Han ke sampingnya.

“Leluhur, Ayah, Mama, dan semuanya... perkenalkan, inilah Han. Dia adalah penyuplai berlian terbaik kita selama ini.”

Seketika ruangan menjadi hening. Semua orang menatap Han—terkejut. Tak ada yang menyangka bahwa sosok misterius yang menjadi kunci kesuksesan perusahan perhiasan mereka... hanyalah seorang pemuda.

Termasuk Citra, yang berdiri di antara para tamu. Matanya membelalak, terkejut karena ternyata Han yang dimaksud adalah teman sekolahnya sendiri.

Hanya ayah Klara yang tampak tenang—ia memang sudah lebih dulu mengenal Han.

Sementara itu, Han tetap tenang. Ia mengangguk sopan sambil tersenyum tipis. Ia tahu, di tempat ini, ia harus menunjukkan ketenangan dan rasa hormat. Ia belum tahu siapa kawan dan siapa yang bisa jadi lawan.

Tiba-tiba, tawa berat namun hangat terdengar dari tengah ruangan.

“Hahaha... ternyata benar, kau masih sangat muda,” ucap lelaki tua tadi sambil melangkah ke depan.

“Perkenalkan, anak muda. Aku Subyo, leluhur keluarga ini.”

Ia mengulurkan tangannya dan Han pun menyambut dengan hormat.

Leluhur Subyo menatap Han lekat-lekat.

“Aku juga mendengar dari Jaja... kau yang menyembuhkan penyakit jantungnya. Apa itu benar?”

Han mengangguk pelan, lalu menjawab dengan nada kalem:

“Benar. Dan saya juga bisa menyembuhkan luka dalam di daerah rusuk Anda, Leluhur.”

Seketika, ekspresi wajah Leluhur Subyo berubah. Matanya melebar, rahangnya perlahan turun. Bahkan keluarga besar yang mendengar perkataan Han tampak bingung—mereka tak pernah tahu sang Leluhur memiliki luka dalam.

“Ba-bagaimana kau tahu tentang itu... anak muda?” suara Leluhur Subyo gemetar, kali ini bukan karena marah—melainkan karena takjub.

Han menatapnya dalam.

“50 tahun lalu, Anda menerima serangan kuat yang menyebabkan cedera dalam. Awalnya luka itu ringan... tapi Anda abaikan. Seiring waktu, luka itu menjadi lebih serius. Itu sebabnya kadang Anda menahan sakit tanpa bisa menjelaskan pada siapa pun.”

“Bahkan dia tahu kalau lima puluh tahun lalu aku terluka… Awalnya aku memang mengabaikannya. Kupikir itu hanya luka biasa… tapi makin lama, rasanya makin menyakitkan.”

Leluhur Subyo menatap Han dengan penuh rasa penasaran. “Siapa sebenarnya pemuda ini? Dia jelas bukan orang biasa…” batinnya.

Jaja, yang berdiri tak jauh, memecah keheningan.

“Leluhur… apakah yang dikatakan Nak Han itu benar?”

Semua mata kini tertuju pada Leluhur Subyo, menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah cara mereka memandang Han.

Leluhur Subyo menghela napas dalam.

“Haaah… ya, apa yang dia katakan memang benar.”

Nada suaranya rendah, berat, namun jujur.

“Lima puluh tahun yang lalu… aku bertarung dengan leluhur dari keluarga Mahardika. Saat itu, dia berhasil mendaratkan pukulan pamungkas tepat di rusuk kiriku. Aku memang berhasil membunuhnya. Tapi pukulan itu meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Awalnya hanya nyeri… lalu makin lama. Makin menyiksa…”

Wajah-wajah yang hadir tampak terguncang. Keluarga Subyo selalu menganggap leluhur mereka tak terkalahkan di keluarga tingkat dua mana pun. Kini mereka tahu: kekuatan itu membawa warisan rasa sakit yang disembunyikan selama puluhan tahun.

Haryono Subyo, yaitu Ayah Citra menyela:

“Leluhur Mahardika? Kami bahkan tak pernah mendengar tentang keluarga itu…”

Leluhur Subyo mengangguk. “Kabarnya… setelah mengetahui kematian leluhur mereka, keluarga Mahardika melarikan diri. Mereka menghilang. Padahal aku tak pernah punya urusan dengan keluarga tersebut—aku hanya memiliki masalah dengan leluhur mereka saja. Dan pertarungan itu… sudah selesai.”

Ruangan kembali sunyi. Semua kini menatap Han—pemuda yang tiba-tiba hadir membawa kenyataan tersembunyi yang bahkan tak diketahui oleh darah daging mereka sendiri.

Leluhur Subyo memandang Han dalam-dalam.

“Apakah… kau benar-benar bisa menyembuhkan luka ini. anak muda?”

Han tersenyum tipis.

“Yah… kita bisa mencobanya.”

Nadanya tenang, namun penuh keyakinan.

Setelah itu, Han diajak menuju sebuah kamar besar. Sementara itu, seluruh keluarga Subyo menunggu dengan cemas di luar kamar.

Leluhur Subyo merebahkan tubuhnya di atas kasur, melepaskan jas dan bajunya, mengikuti instruksi Han tanpa banyak tanya.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan padaku, anak muda?" tanyanya tenang namun penasaran.

"Aku hanya akan menancapkan beberapa jarum di tubuhmu, Tuan Leluhur," jawab Han sambil mengeluarkan jarum akupunturnya.

Leluhur Subyo terbelalak.

"A-a-apa kau akan menggunakan metode akupuntur legendaris itu?" tanyanya, suaranya bergetar penuh kekagetan.

Han hanya mengangguk, lalu mulai menancapkan sembilan jarum akupuntur ke titik-titik tertentu di tubuh sang leluhur. Setelah itu, Han menyalurkan tenaga dalamnya untuk memperbaiki sel-sel yang rusak. Terlihat darah hitam pekat mulai berkumpul di sekitar area rusuk—sisa pukulan mematikan yang telah dibiarkan selama puluhan tahun.

Han terus menyalurkan energi selama kurang lebih lima belas menit. Tiba-tiba, Leluhur Subyo memuntahkan tiga tegukan darah hitam ke dalam baskom yang telah disediakan sebelumnya.

Setelah itu, Han mencabut satu per satu jarum yang telah digunakan, lalu menyimpannya kembali ke dalam cincin penyimpan miliknya.

Leluhur Subyo menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia tidak merasakan nyeri atau sesak.

"Ini sungguh luar biasa... Napasku terasa ringan, dan luka dalamku tak lagi sakit seperti biasanya. Rasanya... aku seperti telah dilahirkan kembali," ucap Leluhur Subyo dengan ekspresi tak percaya sambil menatap tubuhnya sendiri.

Ia menatap Han dengan mata berbinar.

"Katakan padaku, anak muda—apa yang kau inginkan? Keluarga Subyo akan menuruti permintaanmu."

"Terima kasih, Tuan Leluhur Subyo. Tapi saya melakukan ini dengan ikhlas. Saya tidak mengharapkan imbalan apa pun," jawab Han tegas.

Leluhur Subyo mengangguk pelan. Kekaguman jelas terpancar dari sorot matanya.

"Baiklah. Tapi jika suatu saat kau membutuhkan sesuatu, katakan saja. Jika kami mampu, kami akan memenuhinya."

Han mengangguk sopan. Mereka pun keluar dari kamar, dan di luar, semua anggota keluarga Subyo segera menghampiri, tak sabar ingin mengetahui hasilnya.

"Leluhur, bagaimana? Apakah benar-benar sudah sembuh?" tanya Haryono dengan wajah khawatir, menatap sang leluhur dengan penuh harap.

"Ya," jawab Leluhur Subyo sambil tersenyum hangat. "Bahkan aku merasa seperti hidup kembali. Ini semua berkat Nak Han."

Semua mata tertuju pada Han, tatapan mereka berubah menjadi kagum dan penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih, Nak Han, telah menyelamatkan keluarga kami. Jika suatu saat kau membutuhkan bantuan, katakan saja. Keluarga Subyo pasti akan mengabulkannya," kata Jaja, mengatakan sama persis seperti leluhurnya.

"Tidak perlu, Tuan. Saya ikhlas membantu," jawab Han.

Leluhur Subyo terkekeh kecil. "Nak Han, kau tidak perlu memanggil kami dengan sebutan 'Tuan' atau 'Nyonya'. Panggil saja paman, om, atau tante. Anggap saja kita semua adalah keluarga sekarang."

"Benar itu, Nak Han. Kita sekarang satu keluarga," sambung Haryono, ayah Citra, ikut tersenyum.

Suasana pun menjadi hangat dan akrab, berbeda dari sebelumnya yang penuh dengan formalitas.

Acara makan malam yang sempat tertunda pun digelar dengan penuh kegembiraan. Setelah semuanya selesai, Han memilih duduk sendirian di gazebo belakang mansion. Malam itu tenang, dan angin berhembus lembut.

Tiba-tiba, Citra datang menghampiri dan duduk di sampingnya.

"Han, terima kasih ya... sudah menyembuhkan Leluhur Subyo. Aku benar-benar tidak menyangka kamu ternyata hebat juga dalam ilmu medis," ucap Citra sambil tersenyum manis.

Citra malam itu mengenakan gaun berwarna hitam elegan yang sangat cocok dengannya, menambah kesan anggun dan dewasa.

"Iya, kebetulan aku memiliki kemampuan itu. Jadi, sudah seharusnya aku membantu orang yang membutuhkan," jawab Han tenang, memandang ke arah langit.

Tanpa disadari, percakapan mereka terasa lebih dekat dan hangat. Tidak ada lagi panggilan "lo" atau "gue" seperti dulu. Hubungan mereka telah berubah. Suasana menjadi lebih dewasa.

"Aku nggak nyangka... Ternyata Han nggak ngeselin seperti dulu. Dia malah jauh lebih mengagumkan," batin Citra sambil melirik sekilas ke arah Han.

"Oh iya, kok kamu bisa kerja sama sama Kak Klara?" tanya Citra dengan nada penasaran.

"Waktu itu aku jual emas dan berlian ke Klara. Karena laku keras, akhirnya dia ngajak aku kerja sama," jawab Han santai.

"Oh gitu..." gumam Citra, lalu menatap Han sekilas. "Kamu kelihatan deket banget ya sama Kak Klara."

Nada bicaranya berbeda, tak semanis sebelumnya. Han sedikit bingung dengan perubahan nada itu.

"Aku juga deket sama kamu, kan?" sahut Han sambil tersenyum ramah, mencoba mencairkan suasana.

Perkataan Han membuat Citra spontan menunduk. Pipi putihnya bersemu merah, matanya melirik ke samping untuk menyembunyikan senyum kecilnya.

"Dasar lelaki," ucapnya pelan, pura-pura kesal sambil memalingkan wajah.

Tiba-tiba, suara dari belakang mengejutkan mereka.

"Han? Eh, ada Citra juga... Kok kalian di sini?"

Mereka berdua menoleh kebelakang. Ternyata Klara datang menghampiri dengan langkah ringan.

"Oh, iya, Kak Klara. Tadi aku lihat Han duduk sendirian, jadi aku temenin," jawab Citra cepat, tersenyum ramah.

"Oh, iya, mereka berdua kan satu sekolah, mungkin juga satu kelas. Pasti sudah saling kenal," batin Klara sambil menatap mereka.

"Gitu ya... Aku boleh duduk di sini juga nggak?" tanya Klara sambil menatap Han.

"Tentu saja. Ini kan rumah keluargamu, aku cuma numpang duduk sebentar," jawab Han.

Perkataan Han terdengar biasa saja, tapi cukup membuat Citra cemberut dalam diam.

Kebersamaannya yang baru saja hangat, kini harus berbagi dengan kehadiran Klara.

1
Iwan Brando
kenapa sdh selesai outhor ceitanya
Sarunai: lanjutannya nanti malam ya☺
total 1 replies
Chaidir Palmer1608
thor tawaran terakhir kan 2T kok turun jadi 1T sih lupa ya thor apa dah ngantuk ya, kopi mana kopi
Sarunai: wah.. baru sadar😅
total 1 replies
Kama
Nggak cuma ceritanya saja yang menghibur, karakternya juga sangat asik. Aku jadi terbawa-bawa suasana. Ciyeee haha
Gato MianMian
Kayaknya harus kasih bintang lima deh buat cerita ini!
Sarunai: terimakasih ☺
tunggu kelanjutannya 😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!