NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

GAGAL MENCURI

Selama bekerja, Ramli tampak gelisah. Tangannya memang sibuk melayani pelanggan, mencatat pesanan semen dan besi, namun pikirannya mengembara ke tempat lain. Ia menatap laci kasir berkali-kali, memikirkan cara—bagaimana bisa mengambil uang sebelum Rukayah datang ke toko untuk mengambil dan langsung memindahkannya ke rekening toko yang ia kelola sendiri.

Jam dinding bergerak lambat, tapi setiap detiknya terasa seperti beban. Ia tahu, setiap pukul dua siang, Rukayah biasanya datang, duduk di meja kasir, memeriksa pembukuan, lalu mengosongkan laci. Semua uang langsung masuk ke rekening atas nama toko, yang tentu saja dikendalikan penuh olehnya.

Sementara itu, ponselnya bergetar terus-menerus di saku celana. Sudah belasan pesan masuk dari ibunya, dengan nada makin menyayat.

"Ramli, kamu anak durhaka kalau gak bantu ibu!" "Keluargamu sendiri kamu abaikan demi perempuan itu?" "Ibu gak akan diam aja, Ramli!"

Ramli menelan ludah. Tekanan dari ibunya dan desakan dari istrinya, Wulan, membuat kepalanya semakin berat.

Ia sempat melihat salah satu karyawan keluar ke belakang untuk istirahat. Toko agak sepi. Peluang seperti ini jarang datang.

Ramli melangkah perlahan ke arah laci kasir. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada siapa pun. Tangannya sudah menyentuh gagang laci ketika suara dari arah pintu membuatnya tersentak.

“Ramli!”

Suara yang tak asing, tajam, penuh wibawa.

Ramli langsung menarik tangannya, pura-pura membetulkan meja kasir. Ia berbalik dengan senyum dipaksakan.

“Eh, Ibu… sudah datang, ya?”

Rukayah berjalan masuk sambil menatapnya tajam. Di tangannya sudah ada tas besar tempat biasa ia menyimpan hasil penjualan harian.

“Aku datang lebih awal hari ini. Perasaanku nggak enak dari pagi,” katanya dingin sambil membuka laci. Mata Rukayah langsung menyisir isi laci lalu menghitung cepat uang yang ada di dalam.

“Masih lengkap,” gumamnya. “Tapi kenapa kamu terlihat gugup, Ramli?”

Ramli hanya bisa tertawa hambar, menunduk.

“Bapak cuma... banyak pikiran saja, Bu.” jawabnya, pelan.

Rukayah tidak membalas. Ia hanya menatap Ramli lama, seolah bisa membaca seluruh isi kepalanya.

“Kalau kamu macam-macam, jangan salahkan aku kalau aku tarik kamu dari sini dan tak kuberi sepeser pun,” katanya tegas.

Ramli menghela napas panjang, lalu memberanikan diri membuka suara, meski suaranya nyaris tak terdengar.

“Bu… bapak butuh uang sedikit.”

Rukayah menghentikan gerakannya yang tengah menghitung lembar demi lembar uang di meja kasir. Tatapannya langsung mengarah pada Ramli.

“Untuk apa lagi, Ramli?” tanyanya datar.

“Ini… ibu menelepon, katanya butuh uang buat kebutuhan sehari-hari . Sudah beberapa bulan ini bapak belum bisa bantu apa-apa. Tolonglah, kasih sedikit aja…”

Rukayah tertawa pendek, getir.

“Kebutuhan sehari-hari atau buat dikirim ke saudara-saudaramu yang hidupnya nggak jelas itu?”

“Enggak, Rukayah… ini buat ibu,” ucap Ramli, suaranya nyaris memohon. “Kasihan dia, dari tadi nelpon terus. Bapak bingung…”

Rukayah menutup laci kasir dengan suara keras lalu berdiri, menatap suaminya yang sudah lusuh.

“Dengar, ya. Aku nggak peduli sama keluargamu. Dulu, waktu kita susah, mana mereka? Mana ibumu? Mana saudara-saudaramu yang sekarang merengek minta uang? Semua hilang!”

Ramli terdiam. Ia tahu semua yang diucapkan Rukayah benar. Tapi tetap saja, hatinya remuk saat harus memilih antara ibunya dan kenyataan yang mencengkram lehernya sekarang.

“Aku kumpulin uang ini buat anak-anak kita,” lanjut Rukayah. “Sebentar lagi mereka lulus kuliah, mereka butuh biaya. Masa depan mereka lebih penting daripada keluargamu yang nggak pernah ada saat kamu susah dulu!”

Ramli menunduk. Tidak bisa membantah.

“Kalau kamu masih punya niat buat nyalurin uang ke sana, aku tarik kamu dari toko ini. Dan mulai besok, kamu nggak bakal pegang satu rupiah pun dari hasil toko ini. Paham?”

Ramli mengangguk pelan.

“Paham, Bu…”

Rukayah mendekat, suaranya sedikit melembut tapi tetap tegas.

“Uang ini bukan buat dibagi-bagi. Kamu sudah beruntung masih bisa kerja di toko ini. Kalau kamu pilih keluargamu, silakan keluar dari sini. Dan kita bercerai, tapi ingat harta ini akan jadi milik anak kamu, jangan pernah harap kamu bisa hidup nyaman lagi.”

Ramli menggigit bibirnya. Ia tahu, ia tak punya pilihan. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa sesak itu menumpuk. Antara harga diri yang terkikis, dan penyesalan yang mulai mencekik.

Ramli terduduk lemas di kursi belakang toko, tepat setelah Rukayah pergi membawa seluruh uang dari laci dan memasukkannya ke tas hitam kecil yang selalu ia bawa. Laci itu sekarang kosong. Kosong seperti isi dompet Ramli, kosong seperti pikirannya yang penuh tekanan.

Ponselnya kembali bergetar. Dari Wulan.

Ia mendesah berat sebelum menjawab.

"Mas, gimana? Uangnya mana? Anak-anakku butuh uang, kontrakan juga belum dibayar, gas habis, dan aku belum makan dari pagi!" suara Wulan terdengar tajam di telinga.

Ramli menahan napas. “Belum bisa, Lan… Rukayah keburu datang. Uangnya langsung diambil semua. Laci kosong.”

Terdengar suara Wulan menggerutu kesal dari seberang.

"Jadi Mas ke sana cuma duduk doang? Gimana sih? Janji dari semalam, tapi hasilnya nol! Udah gitu aku makin malu sama tetangga, mereka terus saja menjulukiku pelakor, dan berandai ingin menjadi nyonya di rumahmu. Tapi faktanya aku nikah sama laki-laki tua miskin, malah lebih miskin dari mantan suamiku!"

Ramli memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang sudah porak-poranda.

"Lan, Mas lagi pusing. Ibu juga tadi nelpon, marah-marah. Saudara-saudara juga minta uang. Mas udah nggak tahu harus gimana."

Wulan tertawa sinis.

"Jadi sekarang aku disamakan sama saudara-saudaramu yang ngemis uang itu? Dengar ya, Mas! Aku ini istri kamu! Aku butuh uang! Bukan janji-janji kosong!"

Tiba-tiba suara Ramli meninggi, sesuatu yang jarang ia lakukan.

“Semua orang minta uang! Kamu, ibuku, adikku! Tapi nggak ada yang tahu posisi bapak sekarang kayak apa! Semua harta sudah bukan milikku lagi! Kalian pikir aku ini mesin uang?!”

Wulan terdiam beberapa detik, lalu suara tangisannya mulai terdengar.

“Jadi, sekarang Mas marahin aku? Habis manis sepah dibuang ya? Udah tua, nggak punya apa-apa, sekarang berani bentak-bentak aku juga? Mas, sadar! Aku ini nikah sama Mas karena Mas janjiin aku hidup enak! Bukan hidup di kontrakan sempit kayak gini!”

Ramli meremas kepalanya sendiri, keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Dunia seperti menindihnya dari segala arah.

Ia berbisik lemah, hampir tak terdengar.

“Aku cuma pengen tenang, Lan… Tapi kayaknya nggak ada tempat lagi buat bapak tenang…”

Ia mematikan ponselnya. Tak sanggup dengar apapun lagi. Di luar toko, suara kendaraan lalu lalang, suara karyawan memanggilnya, tapi semuanya terdengar seperti gema yang hampa.

Kepalanya penuh. Dadanya sesak.

Dan untuk pertama kalinya… Ramli sadar, mungkin inilah harga dari semua pengkhianatan yang pernah ia lakukan.

1
Ninik
Thor kenapa tokoh rukhayah dibikin jd pendendam gitu kayak dah dikuasai iblis jadi manusia tak berhati aku JD g suka
Ninik
tp rukhayah kebablasan hidupnya jd dikuasai dendam kalau kata org Jawa tego warase Ra tego ro larane tego larane ratego ro ngelihe tego ngelihe Ra tego ro patine
Ninik
aku suka perempuan kaya rukayah sepemikiran dgn ku ini
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!