“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 27
“Sa_witri ….” Farida mundur, tumitnya menekan tanah, persis seperti dulu saat Sawitri hendak dilecehkan oleh Gandi.
“Ku pikir kau lupa denganku, wahai mantan teman yang ternyata menusuk dari belakang, musuh dalam selimut.” Sawitri terkekeh, maju perlahan. Kini sosoknya menyerupai sewaktu dia di rudapaksa oleh ketiga preman suruhan Hardi.
Rambut kusut, sebagian botak. Bibir robek, pipi bengkak, kelopak mata memar, lehernya ada bekas jerat tali, darah segar terus mengalir di kedua betis tak tertutup kain jarik.
“Kau_kau masih hidup?” pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja, wajah Farida sudah pucat pasi, susah payah dia menelan air ludahnya sendiri.
“Tak sesuai harapan mu bukan? Tapi tenang saja, tetap ku kabulkan. Namun, korbannya bukan lagi aku, melainkan dirimu sendiri, wahai Jahanam!” Sawitri menyeringai.
“Ampun, Sawitri! Waktu itu aku hanya bercanda, tak tahunya kau menanggapi dengan serius. Sumpah! Apa yang dilakukan oleh Herman, Gandi, dan juga Pendi, aku sama sekali tidak terlibat.” Dia tidak menyadari, kalimat sangkalannya menjawab semua rencana keji itu.
“Benarkah?” Tangan terdapat luka sayatan membekap mulut, ekspresinya sungguh terkejut.
“Benar, aku betulan hanya bercanda. Tolong lepaskan diriku!” Kedua tangan Farida tertangkup, dia sungguh-sungguh meminta pengampunan.
“Kalau memang seperti itu, pergilah Farida! Cepatlah lari!” Sawitri menggeser posisi berdiri, mempersilahkan.
Tentu saja Farida tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini, susah payah dia mencoba berdiri, lalu berlari. Nyaris terjungkal. Begitu dapat menguasai keseimbangan tubuh, dia berlari kencang seperti hewan dikejar para pemburu.
Saat sudah keluar dan jauh dari area makam, sempat-sempatnya Farida menoleh kebelakang seraya mengumpat.
“Dasar Tolol! Sangat mudah di kelabui. Kau tetap saja gadis desa bodoh, Sawitri … ha ha ha.” Kemudian dia kembali menatap kedepan.
Akh!
Farida tersungkur, wajahnya mencium tanah, bergegas membalik badan menjadi terlentang. Matanya terbelalak melihat wujud mengerikan melayang tepat di atas tubuhnya.
Napas Farida tersengal-sengal, seumur hidup baru kali ini dia melihat hal menyeramkan.
Sosok kuntilanak berpipi busuk dikerumuni belatung, rahang menganga, berdiri tak menginjak tanah, tepat dihadapan Farida yang setengah terduduk.
Argh!
Kunti menggeram, gigi runcingnya meneteskan darah segar, melangkah lambat, mengambang. Jubahnya berlumuran warna merah pekat.
Akhh!
Lagi-lagi Farida memekik dikesunyian malam. Hanya tumbuhan dan binatang malam yang dapat mendengar serta menjadi saksi bisu.
“Anggap saja kali ini aku juga bercanda ya, Farida.” Sawitri datang melangkah tenang, ekspresi nya seperti seorang teman yang memberikan kejutan, lalu menyeringai.
Farida tidak dapat menerka arti seringai sosok berbaju compang-camping, tetapi sedetik kemudian, dia menjerit sekuat-kuatnya.
Gerakan Farida di kunci, dia layaknya patung, tetapi badannya terlihat menggigil.
“Ibu … Ibu!” Ketiga balita itu berubah wujud menjadi besar, perut membusung mengeluarkan nanah campur darah, baunya sungguh busuk, menusuk hidung.
Perut Farida bergejolak, badannya sudah lemas. “Aku mohon, maafkan aku.”
Permohonan lirih bernada menyedihkan itu dianggap angin lalu. Sawitri berdiri di antara Kunti dan para balita yang saat ini menyerupai anak-anak berumur 7 tahun.
Kowak Kowak Kowak
Gagak hitam terbang di atas pohon kayu putih, berputar-putar seraya berbunyi, layaknya lagu kematian.
"Jangan dekati aku! Tolong! Tolong!” Kukunya mencakar tanah, melempari Sawitri, kakinya mendorong badan kebelakang, tanpa dia tahu ….
Bugh! Jleb!
“Akh … Sakit! Sakit!”
Jeritan itu perlahan menjadi rintihan. Farida masuk kedalam lubang jebakan Babi hutan, pahanya menancap di tombak kayu buatan warga.
Setelah kabar menggemparkan si Pendi di serang kawanan Babi hutan, para warga berinisiatif membuat perangkap, menggali lubang dan menutupi dengan ranting kering yang atasnya diberi singkong, ubi jalar, makanan kesukaan hewan itu.
Sawitri melongok ke dalam lubang sedalam setengah meter, tersenyum puas melihat kaki Farida menyangkut, dan sebelah pahanya mengeluarkan darah segar.
Kemudian dia mengeluarkan tiga butir pil, yang kali ini kegunaannya sedikit berbeda dari sebelumnya.
Tanpa ikut masuk, hanya telungkup. Sawitri mencengkram rahang Farida, menjejalinya dengan obat mujarab. Lalu menertawai sosok yang ia buru seperti mengejar hewan berkaki empat.
***
Ayam jago berkokok bersahut-sahutan, satu persatu para ibu-ibu bangun dari peraduan, bersiap membuat sarapan untuk anggota keluarga tercinta.
Sayup-sayup terdengar pengumuman diakhiri kalimat menyiarkan berita kematian.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah ….”
"TAK MUNGKIN!!"
.
.
Bersambung.
Semiga Lastri baik-baik aja ...
Ayam bisa diadu biar menang banyak
mantab Thor lanjutkan makin seru nih tambah lagi
beli dimana?
udh pen triak gtu dah..😆
kasih vote aja biar double up